27 Desember 2014

Di Sebuah Bandara yang Menyimpan Punggung Kita

punggung kita, waktu yang lurus dilupakan berjarak-jarak pintu
di mana sepasang sepatu tak lagi menjadi lantai
bagi kedua mata kita untuk saling menuntaskan rindu
melumasi kabar hantu yang menghilangkan aku
ke dalam sibuk dunia kantor hingga bertangga-tangga lamanya
aku berkeras menahan diri dari hal-hal berbau air mata

ponselmu memberitahuku perihal pesan apa yang mesti kukirim kepadamu,
cinta yang berkali-kali jatuh menimpa pikiran aku yang landai
sebab kerap dijejaki kehilangan yang terus memanjang serupa bayang-bayang
berisi perkiraan-perkiraan sunyi seperti apa yang sedang menyamar jadi tubuhmu
tubuh yang ingin sekali aku genggam sebagai rembulan di langit-langit kamar
bulat terang persis ribuan, bahkan jutaan kunang-kunang

di sebuah bandara, aku berdiri dengan dilingkupi kecemasan
sebuah pesawat terbang yang bersiap hendak mendarat
pada penanda musim hujan yang licin, sementara kau kini adalah matahari habis
ditelan muram langit pukul lima sore--gagal menyisakan sinar kecil
meski sebatas menembus celah-celah mata jendela kaca

kau datang dan lama-lama berubah jadi hujan
aku membeku sebab jarum tubuhmu tak lekas ingin melepaskan diri dari tubuhku
semakin keras kakiku ingin berlari, semakin aku merasakan
ada yang berderap di belakang punggung
menyamar menjadi seekor burung pembawa nasib sepucuk surat
yang belum sampai kepada seseorang

ia--seseorang itu adalah aku yang nelayan, penunggu jala didekati ikan-ikan
yang terkadang tak sabar menebarkan umpan--bukan perihal waktu
melainkan sebab cinta tak semestinya menumbuhkan pohon-pohon
dengan ranting yang peragu

Kendal, November 2014

29 Oktober 2014

Sepasang Sepatu


Sumber Gambar









: Majenis Panggar Besi

waktu seringkali memecah bermacam-macam makanan darat  laut, dan udara. milik segala rasa manis, pahit, asam, dan asin yang saling berebut lidah merahmu yang kerap diperam amarah. timbul-tenggelam bagai musim panen tak sengaja mengupayakan badai hujan, kemarau dan banjir. membujuk kau agar berulangkali kalah oleh pendakian yang singgah

namun rupanya semesta melahirkan kaki sepatumu yang sanggup berlari mengejar bayangan sejauh engkau tak mampu menjangkau di mana dalam dan lautnya sebuah perumpamaan hadir bagai sepasang kekasih tak sanggup menyerahkan diri pada nasib simpul tali yang terlilit lubang bernama kenyataan

di lain waktu barangkali kau bosan berdiri sebab luka binatang kecil pengurai menembus daging telapak kaki seliat cacing pita yang hidup di dalam perut seekor babi. membusuk hingga tanganmu tak hendak menyentuh apapun di luar punggung yang salah menafsir di mana letak gang yang mesti kau kayuh, sebab yang bernama kepulangan seringkali adalah sesuatu yang enggan kau cari sebagai kata tempuh.

Oktober 2014

3 September 2014

Cerpen Majalah Femina, Ed. 23-29 Agustus 2014


Majalah Femina Ed. 23-29 Agustus 2014
 
Kertas Terbang
Oleh: Fina Lanahdiana


Perempuan itu bernama Anggun: memiliki wajah bulat telur dan sepasang mata sipit, hidung mancung, dan bibir mungil. Rambutnya hitam, lurus sebatas bahu. Siapa laki-laki yang tidak menginginkan perempuan sepertinya? Tetapi sungguh, ia tidak sedang ingin memilih satu pun di antara mereka.

31 Juli 2014

Resensi Buku Hoppipolla (Koran Jakarta, 23 Juli 2014)

Resensi versi Koran Jakarta (setelah melalui proses editing) bisa dibaca di Perada Koran Jakarta, sementara yang saya tampilkan di bawah ini merupakan versi asli sebelum mengalami proses penyuntingan oleh editor.

Sensasi Magis yang Mengawang
 

Gambar: Unsapress

Data Buku:
 
Judul: Hoppipolla
Penulis: Dedek Fidelis Sinabuntar, dkk.
Penerbit: Deka Publishing
Tahun Terbit : 2014
Tebal: vii + 133 halaman
ISBN : 976-602-7195-43-5  
Harga: Rp. 30.000, 00
 
Barangkali terkadang hal-hal ajaib terjadi di dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita menyadarinya. Demikian juga dengan Hoppipolla yang merupakan buku kumpulan cerita pendek terpilih sebuah komunitas kepenulisan UNSA di jejaring sosial facebook yang terdiri atas 12 judul cerita pendek dengan 12 penulis yang mengisahkan cerita-cerita yang dipenuhi keajaiban karena saat membacanya, saya seperti ditarik ke sebuah dimensi fantasi yang meskipun mengada-ada tetapi tetap bisa dinikmati dengan perasaan bahagia.

30 Juli 2014

Penidur

Oleh Fina Lanahdiana

Aroma busuk tercium dari tubuhnya sebab pada tengah malam bulan ramadan sebelum orang-orang bangun untuk sahur, seorang pria terperosok pada sebuah kandang ayam milik Pak Lebe.

Tidak hanya bulu-bulu putih yang berhamburan, menempel pada tubuhnya, rambutnya, tetapi juga kotoran-kotoran ayam bercampur lumpur pekat turut serta melengkapi nasib sialnya.

Pukul tiga dini hari, Arman hendak ke musala untuk membangunkan warga kampung, namun di dekat rumah Pak Lebe, Arman melihat sesosok tubuh tergeletak di kandang ayam begitu saja.

"Mayat?" Arman menggumam disertai keragu-raguan.

Ia bergidik ngeri, merinding. Tetapi tidak terlalu lama, tangan orang yang diduga mayat itu menggapai-gapai ke udara, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pijakan untuk bangun. Kali ini tangannya menggenggam sebatang bambu yang menjadi tiang kandang ayam yang hanya diselimuti kawat dengan diameter lubang yang kecil, hingga binatang yang ada di dalamnya tidak bisa meloloskan diri.

Gerakannya pelan, namun sedikit demi sedikit tubuhnya mulai agak tegak. Arman tampak lebih panik dari sebelumnya, ketika pria yang semula tumbang itu menoleh ke arahnya.

Wajah Arman tampak pucat, setelah dipandangnya wajah pria tadi dipenuhi kotoran dan tatapan matanya hanya menampakkan warna putih tanpa bola mata berwarna hitam.

Pria yang terseok-seok itu berkali-kali bangun, namun berkali-kali jatuh juga. Ia mengamuk, berteriak marah, hingga mengoyak ayam-ayam yang ada di sekitarnya.

Arman buru-buru berlari ke musala, memukul kentongan, dan segera mengambil pengeras suara di dalam musala.

"Maling, maling, maling!"

Maryamah kaget. Ia membangunkan suaminya dengan heran.

"Pak, sejak kapan orang di musala itu membangunkan sahur dengan seruan maling?"

Jenggelek, suaminya bangun tanpa menjawab pertanyaan istrinya.

"Maling? Ibu tadi bilang ada suara maling?"

"Iya, Pak. Sebentar, tidak lama lagi suara itu pasti akan terulang."

"Maling, maling, maling!"

Kali ini suara tidak lagi berasal dari pengeras suara di musala, tetapi ada beberapa orang yang berseru dan terdengar langkah orang berlarian.

"Tuh kan, Pak. Ada maling."

Suaminya segera melupakan menu sahur yang sudah disiapkan istrinya. Ia bangun, mengenakan sarung dengan menggulung beberapa bagian atas di perutnya lantas keluar rumah untuk memastikan keadaan kampungnya.

Beberapa pemuda dan pria dewasa termasuk Pak Lebe berkumpul di dekat kandang ayam peliharaannya.

Pria yang masih tampak misterius itu kembali rubuh setelah mengamuk hingga menerbangkan ayam-ayam yang ada dalam kandang.

Tidak ingin gegabah, mereka tidak langsung menghakimi pria yang diduga maling itu, namun mereka sudah siap menggiringnya dan meminta pertanggungjawaban.

"Bawa ke rumah saya saja." tukas Pak Lebe.

"Tapi kan, Pak ..."

"Sudah, tidak apa-apa. Kita tanyai dia baik-baik."

Digiringlah pria tadi yang masih dalam keadaan setengah sadar ke dalam rumah Pak Lebe.

Istri Pak Lebe mengambilkan segelas air untuk membangunkan kesadarannya dengan dengan penuh.

Mereka melingkar di ruang tamu milik Pak Lebe. Pria itu mulai sadar. Matanya merah dan tampak seperti orang linglung.

Ia merasa terancam dan ketakutan, hingga terbesit niat dalam hatinya untuk melarikan diri. Tapi suami Maryamah segera mencengkeram lengannya hingga ia kembali terduduk.

Pria itu bernama Soim, ia mengaku berasal dari kampung sebelah.

"Kenapa kau tidur di kandang, Le?" tanya Pak Lebe bijak.

"Kandang? Maksud Bapak apa?"

"Pura-pura goblok. Hajar saja, Pak!" seru Arman.

Pak Lebe meminta semuanya agar tetap tenang. "Kalian pulang saja, lanjutkan sahur bersama keluarga kalian. Dia biarlah menjadi urusan saya."

Meskipun ada perasaan tidak puas, orang-orang segera membubarkan diri untuk kembali ke rumah masing-masing.

"Pak Lebe payah. Sudah jelas-jelas orang itu maling. Eh ..."

"Hush."

Pak Lebe meminta istrinya menyiapkan makan sahur untuk Soim. Ia akan bercakap-cakap untuk memperjelas duduk perkaranya.

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud ..."

“Tidak apa-apa. Makanlah, sebelum imsak."

Setelah keduanya menghabiskan santap sahur, terjawablah bahwa Soim tidak bermaksud untuk mencuri atau dengan sengaja tidur di dalam kandang ayam.

"Mungkin saya terlalu memuja keinginan bersenang-senang."

Tidak paham dengan yang dimaksud Soim, Pak Lebe segera menanyakannya. Ternyata ia baru saja merayakan kemenangan calon presiden pilihannya di rumah Dayat, bersama empat orang lain kawannya.

"Kami terlalu banyak minum bir murahan yang dijual di warung-warung."

Soim terlihat canggung mengakui perbuatannya. Pak Lebe menepuk pundak Soim dengan pelan.

"Beruntung, tadi para warga tidak langsung menghajarmu, Le."

Soim merasa lega karena Pak Lebe tidak mencaci, memukul, atau melaporkannya ke polisi.

Selepas subuh, Soim diperkenankan untuk pergi.

Di dalam pikiran Soim berkecamuk hal yang sampai kini tetap menjadi rahasia, bahwa sesungguhnya ia tidak hanya sekadar merayakan pesta bir, tetapi juga menghabiskan malam di kasur milik seorang perempuan gila sebab ulahnya dan kawan-kawannya beberapa bulan yang lalu.



Juli, 2014

22 Juli 2014

Melawan Kesedihan

Sumber Gambar
aku mengucapkan terima kasih kepada telinga
penangkal suara kesedihan yang gelisah
pada tiap-tiap remuk redam sambil menghitung
seberapa racun diriku salah menelan obat-obatan

dosis menciptakan bayangan tubuh masa lalu di depan
berdiri menghadapi kemungkinan apakah ia akan tetap hidup
atau habis dilibas biru laut segar harapan berisi ikan tidur
tanpa mesti memejamkan mata

aku sering bertanya-tanya bagaimana tidur dengan cara seperti itu
--dengan mata terbuka--sementara di antaranya air hidup membawa mikroba
yang jauh lebih raksasa daripada ular-ular pemangsa hama

jika alat pernapasan manusia terbuat dari ingsang,
barangkali tidak ada lagi yang bernama kesedihan
sebab luka yang timbul dipenuhi udara,
tenggelam oleh arus yang menggenangi diri
dari gemuruh ombak yang gamang

Kalirandu, Juli 2014

12 Juli 2014

Meja Makan

Sumber Gambar
meja makan menyimpan rasa sakit
tangan-tangan para pemimpi, menyeret hidangan mahal
sebuah makan malam di acara keluarga
setelah seharian ia habiskan kelaparan
untuk membaca buku resep agar tak mudah dilupakan kehilangan

foto-foto bahagia menjadi bahan perbincangan utama
di sebuah jejaring sosial untuk menyelamatkan diri
dari kesepian yang panjangnya melebihi
pelukan tangan paling rentang

tak ada yang tahu di mana sesungguhnya ia menyembunyikan suara
bagi setiap sudut yang disebut bahagia
sementara berpuluh-puluh pesan di ponselnya
dibalas oleh kata tunggu yang tak habis membelah diri melahirkan semesta

setiap malam ia tak bisa tidur
sebab membayangkan mimpinya dicuri
oleh nenek sihir jahat yang menebarkan mimpi buruk
seperti menebarkan pupuk kandang pada sebidang lahan
tanpa pernah disertai musim tanam

Kalirandu, 2014

8 Juli 2014

Mencintai dengan Selambat-lambatnya

Sumber Gambar
aku benci mengatakan--aku cinta kamu--keras serupa air
yang berhari-hari disimpan dalam freezer pendingin
dan kau tak pernah berpikir untuk segera memindahkannya
ke dalam adonan es buah atau es cendol atau es lain yang lebih cair
daripada perasaanku yang susah sekali berpindah
membusuk jadi kenangan yang susah payah
hendak melupakan ingatan mabuk

langit muram berwarna sederhana menjadi saksi atas kesedihanku
mata yang mati-matian mempertahankan diri untuk tidak berkedip
agar tak melulu menjadi hulu yang menampung hantu bayangan kau
yang mengetuk-ngutuk kelopak mata agar tidak luruh menjatuhkan luh

jalanan ramai dipenuhi orang-orang, tetapi tidak dengan aku
yang hanya dibanjiri ruang hampa udara bercampur warna merah kekesalan
yang ingin segera tumpah menjadi bah

kelak di goa kepala paling belakang, aku tidak ingin membangunkanmu
sebagai mimpi yang mengenakan piyama sebab di sini malam tidak ingin cepat bergulir
dan aku ingin kita bertukar jam dinding agar kau tahu bagaimana rasanya
aku menakar dengkur tanpa memerlukan ritual tidur

aku ingin mencintaimu selambat-lambatnya, sekuat-kuatnya
agar kau tahu betapa jam pasir milikku telah lama menyimpanmu
sebagai pengakuan atas kekalahan tanpa mesti bertarung

Kalirandu, 2014

14 April 2014

Lomba Menulis Novela Bersama Gramedia DL Akhir April 2014

Hadiahnya:

Juara 1 Tablet Adroid Asus, voucher belanja 500.000, paket buku senilai 500.000 dan tiket penulisan narasi.
Juara 2 Tablet Axioo, voucher belanja 350.000, paket buku senilai 350.000 dan tiket penulisan narasi.
Juara 3 Tabled Android Cyrus, voucher belanja 250.000, paket buku seilai 250.000 dan tiket penulisan narasi.

* Selebihnya lihat di Poster Lomba Menulis Novela Gramedia.
Ketentuan Lomba Menulis Novela:

1. Sign up terlebih dulu di gramediana.com dan memiliki akun di sana.
1. Tulis karyamu melalui self pubslishing gramediana
3. Pastikan tulisanmu adalah karya hasil sendiri, tidak mengandung sara dan pornografi.
4. bentuk tulisan adalah novela (novel pendek) tema bebas, minimal 30 halaman.
5. Kirimkan karyamu ke selfpublishing@gramediana.com dengan subjek email Lomba Novela
6. Deadline lomba novela ini sampai 30 April 2014.
7. Pemenang akan diumumkan pada 20 Meii 2014.
Pemenang akan dinilai berdasarkan penilaian dari dewan juri
9. Karya peserta akan diterbitkan sebagai ebook melalui self pubslishing gramediana
10. Pemenang akan dihubungi melalui email oleh admin gramediana.

22 Maret 2014

Selepas Pertunjukan

selepas pertunjukan, ia mendandani diri
dengan ingatan lagu-lagu di sebuah ponsel
berharap kepalanya lekas membawa kardus-kardus di tangan
berisi kelingking yang gagal saling memeluk jam dinding
usai pagi dilipat matahari

kertas-kertas remuk dilahap kaca mata baca
yang lebih besar dari tebal cahaya
huruf-huruf  jatuh di atas meja

kursi-kursi diam, tidak meminjam suara siapa pun
sebab tak ada yang lebih penting berperan
sebagai riuh panggung yang dipenuhi memar cahaya lampu-lampu

kamera berjalan menandai tanjakan kalimat-kalimat
berubah menjadi getar suara seseorang
hendak belajar cara membenci kebodohan
yang bertahun-tahun ia rawat sebagai masa depan

di sebuah sudut, telinganya berdengung
mengantar kepada bagaimana cara melupakan
tanpa pelajaran bernama air mata
sebab di punggungnya yang keras
kesedihan terus menerus menguras hal-hal indah

Maret 2014

18 Maret 2014

Mencatat Suara

Oleh: Fina Lanahdiana

aku mencatat, dan kata-kata yang paling kuingat adalah suara
segala perihal dari dalam pikiran dan tak ingin putus asa menjadi semoga
di depan, mata telah menjadi sebuah kamera
--menangkap gambar-gambar yang memar oleh sebuah perencanaan.

telapak kakiku yang lambat berlari akan terus belajar mengejar
menumbangkan bayang-bayang pepohonan berupa angan-angan
yang kuku-kukunya semakin tajam hendak menerkam mangsa paling cuaca

di dalam diriku ada peta yang berlayar menyeberangi telapak tangan
--lautan bagi bahasa dan perumpamaan.

2014

16 Maret 2014

Seseorang yang Tidak Ingin Ada yang Lain Kecuali Dirinya

Oleh: Fina Lanahdiana

panas yang mendidih di sekujur tubuh
mengalir menjadi macam-macam sungai
berisi suara kemarahan yang merah
angin membuka pintu
seseorang memesan kota di dalam kepalanya

ia ingin sekali menyeberangi pantai
yang penuh cangkang aroma garam
berisi warna matahari
tidak ingin ada perahu lain kecuali tubuhnya yang rakus
terdampar di pulau-pulau kecil milik kenangan

udara terbuat dari mata angin para nelayan
menelusup diam-diam ke dalam kata-kata
kemudian bahasa menjadi hal paling diam di dalam mata
berwarna kuning kebencian
tanpa pohon-pohon yang tangkainya membungkuk mencium tanah

kalimat menggantung seperti akar-akar beringin
kosong dipenuhi lubang berisi hampa
serupa telur yang gagal menanam benih
mengalirkan aroma tak ingin mengulurkan lengan
kepada apapun di luar dirinya

langit berwarna jingga
gelembung-gelembung pecah
menjadi hal-hal tak pernah sudah

telinga berdengung seolah lalat-lalat pencari
yang hendak mencuri bahagia paling rahasia

Maret 2014

16 Februari 2014

Memelihara Kesedihan

http://wallpoper.com/images/00/33/23/90/cats-sad_00332390.jpg            Menurutmu apakah semua mahluk hidup mempunyai kesedihan? Menurutku iya. Begini, aku ingin bercerita. Lima hari yang lalu, salah satu kucingku mati dengan caranya sendiri. Tidak, dia tidak bunuh diri. Tapi dia mati karena kesalahannya sendiri. Apakah dia salah? Entahlah.
Aku menyebutnya salah satu karena memang kucingku ada empat. Hanya satu yang benar-benar peranakan dari kucingku yang sebelumnya—sudah mati—yang lain adalah hasil memungut dan mengadopsi dari tetangga. Yang pertama adalah Ancil, kucingku yang berwarna oranye, dia sangat galak, namun manja. Yang ke-dua kucing betina berwarna abu-kehitaman—yang kutemukan di belakang rumah saat bulan puasa. Kucing itu tiba-tiba mendekatiku dan terus menggersekkan tubuhnya ke kakiku. Aku merasa haru dan tiba-tiba saja ingin merawatnya. Seisi rumah tidak ada yang menyukainya karena ia kucing betina. Aku tetap bersikeras merawatnya. Kucing itu sangat menggemaskan, berlari, mengguling, menggigit benda-benda, dan lain-lain. Akhirnya lambat laun orang rumah luluh juga. Kami memberi nama Awu.
Kucing yang ke-tiga berwarna oranye, masih kecil. Namanya puyi. Dan kucing yang ke-empat bernama piyu, berwarna putih bercampur dengan abu-kehitaman. Kedua kucing itu didapat  Ibu dari meminta anak kucing tetangga dengan maksud agar Awu memiliki teman bermain. Seiring berjalannya waktu, mereka bertiga tampak akrab. Aku terkejut ketika Awu dengan sikap keibuannya mau menyusui kedua kucing yang masih kecil tersebut. Kami tertawa setiap menyaksikan itu. Bagaimana tidak, mereka bahkan bukan saudara kandung.
Aku mulai merasa sedih ketika pada suatu pagi, Bapak berteriak—memanggil namaku—karena telah menemukan Awu dalam keadaan mati. Cukup kasihan jika melihatnya. Dia keracunan tikus yang sudah mati karena keracunan juga. Kemungkinan ada yang sengaja meracuni tikus tersebut agar tidak mengganggu. Awu kucing betina yang menyukai tikus—aku juga heran. Sebelum kematian Awu, kami seisi rumah sempat tertawa-tawa karena Ancil mengejar-ngejar Awu—sepertinya mereka saling jatuh cinta—hari sudah malam, berisik sekali rasanya mendengar suara kucing yang berkali-kali mengeong. Akhirnya aku berpikir untuk mengeluarkan Ancil. Namun seperti yang kubilang sebelumnya, sepertinya mereka saling jatuh cinta, Awu berlari memutar melewati dapur, mencari jalan agar bisa keluar rumah untuk mengejar Ancil. Rasanya belum juga bisa percaya, itu adalah hari terakhirnya. Rasanya ingin menangis.
Sore hari setelah kematian Awu, aku mendapati kedua kucing kecilku seperti sedang memelihara kesedihan. Aku bingung karena keduanya tidak ingin makan, meskipun aku memberinya ikan. Aku jadi berpikir, apakah ini yang dinamakan sebuah ikatan? Sampai sekarang kemurungan itu masih ada. Ancil masih sering berputar mengelilingi rumah, masuk ke kamarku—mungkin mencari Awu—aku tidak tahu. Oh ya, aku lupa. Sebelum kehadiran dua kucing kecil kami, salah satu kucing kami juga mati. Itulah sebab yang lain kenapa Ibu ingin memelihara kucing tetangga.
Kembali bercerita mengenai memelihara kesedihan, saat kucing kami yang bernama Putih mati, Awu adalah salah satu kucing yang terlihat linglung. Dia tidak banyak bergerak, juga tidak ingin makan. Rasanya butuh waktu cukup lama untuk bisa menyaksikan Awu kembali seperti semula. Jadi, ini kebetulankah? Apakah menurutmu kucing juga memelihara kesedihan?

Februari 2014

14 Februari 2014

Tidak Ada Kata-kata

: seorang teman

lama sekali rasanya tidak membiarkan kata-kata
menjalari diri sendiri
juga engkau yang satu-satunya perihal setelah yang lain
memilih untuk berhadapan dengan hidup mereka masing-masing
pergi mengabdikan diri menjadi perantau

aku yang berkali-kali gagal memaksa diri
untuk berpindah kaki yang berisi keinginan-keinginan membela diri
dari sebuah lantai dasar yang gusar

dan engkau bisa saja mengataiku kepala
takut dianggap batu yang demikian keras
sebab seringkali menuduh diri sebagai pendusta
serupa payung yang pernah berkata tak mencintai hujan

kepalaku penuh berisi mahluk ciptaan masa lalu
yang berebut mengenai siapa-siapa yang meminta
untuk diperhatikan lebih dulu

kita barangkali telah dirajam perasaan
yang maha renggang
kemudian pelan-pelan merekam
apa-apa yang pernah dilupakan

Desember 2013

Sebutir Telur

pagi-pagi sebelum ibu memasak
rupanya perut terburu-buru menagih kelaparan
aku memberanikan diri untuk menyalakan kompor yang lumpur
oleh cipratan air dan kotoran minyak

kusiapkan sebutir telur dengan hati-hati
barangkali tiba-tiba sebentar lagi terdengar suara ayam
yang mendesak ingin memecah cangkang

lalu larilah suara itu sampai pada telinga yang gatal
kita masih saja telur ceplok yang mencintai minyak goreng
di atas teflon panas yang dijilati api
yang meletup demikian riang hingga matang dan siap hidang

Februari 2013

Mengirim Rindu

aku mengirim rindu pada sebuah pintu
tapi kau bilang kau lupa cara membuka pintu
kemudian aku mengirimkan melalui sebuah surat
tapi kau lupa memberikan sebuah alamat

aha!

aku mengirimkannya pada sebuah dering ponsel

“halo, aku rindu dari si anu”


2014

Malam pada Secangkir Kopi

aku tidak suka kopi, katamu
namun aku begitu keras kepala
dan tak pernah ingin menjadi lupa
menyediakan secangkir kopi pada malam
tiap-tiap kau datang bertandang

aku tidak suka kopi, katamu lagi
dan aku tetap menyeduh secangkir kopi
untuk menemani percakapan kita yang dihantui sunyi

aku tidak suka kopi, katamu berkali-kali
dan aku tetap ingin menjadi tuli

2014

Puisi-puisi Ilusi

Oleh: Fina Lanahdiana

ILUSI

siapa yang sedang duduk menunggu
di bawah pohon mangga setiap sore menjelang nyala lampu-lampu
ia sendiri dan kesepian
seperti seorang perempuan yang rapuh
sebab jam dinding tiba-tiba menjadi gaduh

rikuh sebab tak ada yang bernama kepastian

yang mesti dipelihara di dalam dadanya
o, angin ...
janganlah datang ketika hujan malam-malam
nanti kau habis ditelan kegelapan

ia masih berdiri dan menepi
wajahnya sendu
menyanyikan lagu-lagu kesedihan yang syahdu

kini ia tak lagi menyepi sebab telah dilahap sebuah ilusi


2014


ILUSI II



aku sedang duduk menjatuhkan kepalaku di atas meja
ketika tiba-tiba seseorang datang tanpa mesti kukirim surat undangan
ia lahir dari selembar foto di tanganku
rupanya yang bernama ajaib tidak melulu harus keluar dari sebuah lampu aladin

pertama-tama kepalanya, lehernya, tangannya, tubuhnya, kemudian kakinya
kini ia telah sempurna menyerupai manusia
matanya menyala-nyala, mulutnya membunyikan suara

“kamu siapa?”
“aku tidak punya nama.”
“siapa?”
“kenangan.”

2014



ILUSI III


seorang bocah sedang berkejaran dengan angin
matanya menyala serupa lampu
pada malam-malam yang piatu

pada suatu hari ia bermimpi
didatangi seekor kupu-kupu
ia terbangun pada keesokan hari
menjelang subuh


ibu, ibu, ibu
aku menjadi seekor kupu-kupu


2014 

 

ILUSI IV

aku berjalan mendekati pintu
di luar gelap sebab ini malam pukul tujuh
tiba-tiba ibu mendekatiku

aku tidak tahu
bagaimana harus memutar alasan pada lidahku yang batu
agar bisa bermain dengan temanku
kata ibu malam adalah waktu yang tepat untuk membaca buku

“ibu?”
“apa?”
“ada hantu.”

2014

13 Februari 2014

Lomba Menulis Puisi Kampanye Sastra ITB 2014 DL 9 Maret 2014

Lingkar Sastra bekerja sama dengan Keluarga Mahasiswa ITB mengadakan LMP (Lomba Menulis Puisi) tingkat Nasional dalam rangka Kampanye Sastra 2014: mengkampanyekan kata-kata sebagai medan juang pemikiran. Gratis, tidak memungut biaya apa pun.

Syarat dan Ketentuan
  • Peserta adalah Warga Negara Indonesia
  • Tergabung dalam grup facebook Kampanye Sastra ITB 2014 
  • Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  • Naskah original ’bukan jiplakan atau saduran’ dan belum pernah dipublikasikan di media cetak maupun elektronik serta tidak sedang diikutkan pada lomba lain.
  • Puisi bertemakan Pena Bicara Soal Pemimpin.
  • Tidak mengandung unsur SARA.
  • Naskah diketik dengan komputer di atas kertas A4 dengan jarak spasi 1,5. Font TNR (Times New Roman) 12pt. Margin normal. Panjang naskah bebas.
  • Terdapat satu halaman yang berisi poin-poin biodata berisikan nama lengkap, tempat tanggal lahir, alamat lengkap beserta kode pos, nomor kontak aktif, akun facebook, alamat email, dan narasi singkat.
  • Kirim naskah anda ke email: kampanyesastra2014@gmail.com, dengan dilampirkan (attachment), tidak ditulis di badan email.
  • Format pengiriman naskah untuk judul file dan judul email adalah PUISI[underscore]Judul Naskah[underscore]Nama Pengarang
  • Contoh: PUISI_Presidenku_ Faizah Nurma
  • Setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu naskah terbaiknya.
  • Naskah dikumpulkan dalam bentuk soft file bertipe dokumen (.docx) atau (.doc)
  • Batas akhir pengumpulan naskah 9 Maret 2014 pukul 23.59 WIB.
  • Memiliki akun facebook dan memposting info lomba ini di catatan facebook masing-masing dengan tag minimal 25 orang teman.
  • Peserta WAJIB tergabung dalam grup yang telah dijelaskan di syarat nomor dua.
  • Peserta berhak bertanya seputar perlombaan di dalam grup facebook.
  • Lima belas karya terbaik akan ditampilkan di karsamaya.tumblr.com (Lingkar Sastra di dunia maya).
  • Pengumuman Pemenang dan Penganugerahan Hadiah akan diselenggarakan di puncak acara Kampanye Sastra ITB 2014 pada tanggal 12 April 2014 pukul 09.00 s.d. selesai.
Reward untuk pemenang:
  • Juara 1 : Literature Campaign Award + Piagam Penghargaan + Uang senilai Rp 500.000,-
  • Juara 2 : Piagam Penghargaan + Uang senilai Rp 300. 000, -
  • Juara 3 : Piagam Penghargaan + Uang senilai Rp 200. 000, -
Keputusan juri dengan persetujuan panitia bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Contact Person: 
Kartini (087820333408)
Sumber: Absurditas Malka

Lomba Cerpen/ Cerber Femina DL 30 November 2014

Sumber: Femina

Sebuah Cerita yang Mendaur Ulang Dirinya

wajahmu yang lebih leleh air mata daripada tayangan televisi itu
menjadikanmu sebagai perumpamaan ulat bulu
yang merubah dirinya sebagai kupu-kupu

ia yang menjeratmu dengan ucapan selamat berbahagia
dengan rindu yang kelaparan setiap engkau ingin lupakan--
barangkali tak terlalu paham bagaimana cara
mengikat tali sepatu agar tak terburu-buru saling meruntuh-jatuhkan
percaya yang mudah sekali diserang rasa curiga

barangkali melupakan adalah cara paling jitu
agar tetap mengingat-dekat ikatan tali sebuah hubungan

maka engkau simpan pesakitan itu
sebagai cerita yang mendaur ulang dirinya
yang niscaya akan lebur oleh lebar kenangan yang dibagikan setiap kalinya

Maret 2013

Membangun Pesawat Terbang

setiap malam, tidur menjadi alarm yang melupakan ingatan
jam dinding berputar seperti halnya ban sepeda;
mengayuh harapan pada tiap-tiap kakimu yang lengang

di tanganmu, botol minuman menjadi mainan anak-anak
yang meraut tawa kecil bagi halaman rumah
juga pohon-pohon yang rindangnya kau umpamakan sebagai masa depan

setiap orang yang lewat di hadapanmu
kau suarakan dengan berbagai alasan kebersihan lingkungan
agar kelak di rambutmu yang putih berkilauan,
tidak ada lagi matahari yang kehabisan hujan

Maret 2013

Bayang Pertanyaan

orang-orang begitu haus;
perasaan yang begitu saja bertandang
seperti halnya mimpi panjang
yang dikejar-kejar pertanyaan
pada masing-masing buku pelajaran

ia menulis catatan-catatan;
di tangan kanannya menggenggam sebuah pensil yang ajaib
sementara di tangan kirinya begitu saja tumbuh penghapus

mesin foto kopi berterbangan di kepala
kamu, dia, yang mana?

Januari 2013

Mengingat Sesuatu yang Kau Sebut Lupa

Kepada:
Imam Apriansyah

-- kau melupakan bibirmu bercerita kepada telinga juga mataku yang mudah dihapus lelehan air hujan, luruh di jendela kaca. lalu cuaca seperti kesedihan yang menanggung air mata sendirian.

-- Im, aku tidak sedang meluangkan hari rabu yang bahagia. ini seperti surat yang mendarat tanpa sebuah alamat disalah satu sisinya. di kepalaku sayap kupu-kupu terbang, buku-buku berserakan.

-- kau tak perlu menghafal kalender serupa jadwal belajar setiap malam. cukuplah kita saling merayakan percakapan di dalam buku harian yang menceritakan selamat berkenalan kepada masa depan.

umpamakanlah diri kita sebagai sebuah lensa kamera. ia yang jujur menangkap wajah kita yang payah menghindari diri dari ceriwis orang-orang yang menjual pertemuan. bukankah ia tak pernah menentang yang bernama kenangan?

-- kau cukup berdiri. kelak di punggungmu itu akan ditumbuhi bayang-bayang yang kau impikan sebagai ruas-ruas yang pernah tenggelam oleh arus kehilangan. bukankah tidak ada ketiadaan yang benar-benar habis ditelanjangi matahari malam?

April 2013

Puisi-puisi Majenis Panggar Besi

Oleh Majenis Panggar Besi

Catatan Kecil Sang Presiden

emak,
emak,
emak,
bapak,

perpanjangan lengan Tuhan di dunia
tanpamu, aku bukanlah apa-apa

Oktober 2013

Bingkai yang Lain (Ayah)

berat lara yang rupa-rupanya harus kita panggul sampai mati, yah
kau berkeras mengikhlaskanku untuk sebuah pengharapan
bahwa aku harus mendapatkan yang lebih dibanding pondok bambu rumah kita
pakaian yang hanya bekas pakai saudara yang lebih tua
tetes kecap yang manis mengurap nasi

engkau lupa yah
engkau lupa rupanya bahwa ada yang luput dari senja matamu
tentang cinta mengenai kasih sayang
yang puas menghauskanku di rumah baruku
bahwa ada perihal yang selalu tak sesuai dengan kira jumlah perkalian
bahwa ada yang tak melulu mampu mencukupkan hasil bagi

aku memang tumbuh Yah
aku berjanji, demi kita
aku akan tumbuh

meski di istana ini-- kerajaan saudara sedarahmu-- aku diperlakukan serupa babu
dipandang hina seperti babi
aku akan tumbuh Yah
menjadi yang kau mau
aku berjanji akan memenuhi mimpimu-mimpi kita
aku harus memakai toga.

Oktober 2013

Di manakah Surgamu?
Disinilah aku kini bersembunyi, Christ
tempat dimana siang adalah lebih lama dibanding malam
jauh dari nafasmu
jauh dari kenangan kita yang semakin menipis dianiaya usia
sebab kita lebih memilih membagi kasih sayang melalui rentang jarak
hingga kita selalu merindukan kata halo dan segala yang mengikuti sesudahnya

"Inilah nasibku, di tinggal olehmu.
Aku ini lelaki, kewajiban utamaku adalah Ibuku. Surgaku di telapak kaki Ibuku."
berulang kali kubisikkan dengan perlahan kepada matamu yang semakin rentan
sebab telah begitu sering matamu kubocorkan

dan aku hanya ingin kau juga tak pernah melupakanku
tak peduli rintik hujan mampu melapukkan batu
perih yang kau berikan padaku akan tetap menyala
menghangatkan dan mengingatkan pertemuan itu betapa sayatnya

dan bisikmu turut gemerisik
"aku pergi dan tak kan kembali. Aku ini seorang istri, hidupku adalah suamiku. Karena surga seorang istri hanyalah menumpang kepada sang suami."


Biodata: 
Majenis Panggar Besi adalah nama pena dari Muhammad Sholeh, lahir di Banyuwangi pada 23 oktober 1986. Salah satu puisinya diterbitkan dalam antologi Amarah bersama para penulis LPPLB. sekarang berdomisili di Bengkulu, Bisa dihubungi via facebook (Bojan Jaya) dan nomor hp 085336013610.

Keinginan Bersenang-senang

ia menyebut dirinya sebagai jalan ibu kota
yang penuh sesak dengan antrian aspal yang berlubang
kemudian di sebuah toko, ia begitu disengat rasa penasaran
untuk mengepas baju dan asesoris; yang ia jadikan alasan melupakan kemacetan

kampus yang begitu payah
menyisakan kebiasaan memburu meja makan
yang dilengkapi aneka fasilitas hotspot area
kemudian terang-terangan menunjuk siapa lebih milenium dari siapa

di sebuah kos, yang tersisa hanyalah
mimpi yang kelelahan diajak jalan-jalan
yang semakin kurus dikuras keinginan bersenang-senang

2013

Buah yang Jatuh di Kepala Kami

i.
di kepala kami tumbuh buah-buahan
yang setiap kali ingin kami petik
sebagai pepatah yang patuh pada petuah
barangkali semacam teduh payung yang bersedia menampung hujan
bagi lengan sesiapa saja yang bertandang

ii.
di luar orang-orang berebut televisi
yang merah jambu oleh ucapan dan janji-janji pemilu yang kemarau
dimana di dalamnya kami semakin dipeluk oleh gedung-gedung tinggi
yang melebihi daftar panjang pesakitan di musim hujan
yang membuat kami kehilangan perigi

iii
maka kemudian hutan di kepala kami menjadi tebing curam
yang sewaktu-waktu bisa menjadi kesia-siaan yang panjang
bagi kepala yang mestinya bisa menampung
banyak tumpangan persoalan pesawat terbang

2013

Perihal Layang-layang

ada yang datang menarik perasaan-perasaan sebagai pesan untuk saling mengingatkan. di dunia ini yang kecil sebab kita adalah satu tangan yang menggenggam perjuangan yang dibesarkan oleh angin; oleh musim yang datang dan berpindah ke lain arah

di halaman, kita tak ubahnya tanah lapang yang menahan perih pijakan-pijakan, akar pohon, serta berbagai macam keinginan yang kerap kita umpamakan sebagai cita-cita. seperti pertanyaan yang terus diulang di jam sekolah dan tak pernah bosan untuk kita angankan—kita renungkan

kamu yang hendak menjadi apa, barangkali di pikiranmu muncul sebuah bentuk menyerupai layang-layang. yang diulur ke puncak oleh seorang anak yang melarikan kakinya di lapangan sambil tertawa riang. ia kemudian berkata bahwa layang-layangnya tak akan terbang jika angin tak menyerang udara yang hampa.

di lengannya muncul sebuah harapan yang memanjang ke atas, ke arah langit. Ibunya yang mengajarkan dongeng setiap malam, agar ia mempunyai mimpi yang indah; yang bisa ia simpan di telapak kakinya kelak, saat ia tak tahu mesti meminjam jari siapa yang bisa menggenggam tangannya yang sendirian.

2013

9 Februari 2014

Monster

 
 
Unsplash - Tomasz Sroka

Aku melihat monster yang bergerak-gerak di matanya. Suaranya pecah di udara serupa irama yang gagal menemu nada. Nyaris saja mulutnya menerkamku mentah-mentah. Terkadang aku heran, lalu berpikir mahluk apa ia hingga begitu berani membuka mulutnya lebar-lebar dengan deretan gigi yang sewaktu-waktu bisa saja memotong lidahnya sendiri.

Sudah berulang kali ia melakukan itu, bahkan sejak pertama kali aku datang menemuinya. Penampilannya aneh, rambutnya dibiarkan awut-awutan dengan pakaian yang tidak terlalu rapi.

Aku tak berani bicara banyak, meski ia kerap sekali memukul dadaku dengan suaranya yang melengking. Jika sudah begitu, aku tiba-tiba saja berubah menjadi sangat pendek. Bahkan mungkin lebih pendek dari batas mata kaki. Aku ingin berlari untuk menghindari matanya, juga suaranya. Tapi nyatanya tak bisa, aku masih saja mesti berada di dekatnya, bersamanya.

Ia kerap membuat lelucon garing yang sama sekali tak bisa menjadikanku kembali ke ukuran normal.
Ia pernah mengalami kecelakaan, kepalanya bocor dan mungkin itu yang membuatnya gila. Itu menurutku saja. Ia begitu manis menceritakan kebaikan-kebaikannya. Setiap pagi, saat aku datang aku dipaksa untuk mencium tangannya. Ah, sungguh ini bukan ide yang baik.

Aku membenci matanya yang seperti mata kucing yang menemukan mangsa. Aku membenci mulut manisnya yang begitu lihai meramu cerita. Aku membenci suaranya yang seperti lolongan anjing liar. Kau percaya tidak? Orang-orang di sekitarnya bahkan sangat setia menjadi pendengarnya. Memang itu bukan masalahku, tapi sungguh aku merasa sangat terganggu. Kalau saja aku punya suara yang melebihi suaranya aku tidak akan segan untuk menyumpal mulutnya rapat-rapat, lalu membuat matanya terbakar sehingga tak akan ada lagi monster yang bergerak-gerak di matanya.

***

Malam ini aku tak bisa tidur, Aku marah! Aku muak! Aku menemui salah seorang sahabatku.

“Apakah menurutmu aku sudah gila?”

“Tidak, kau hanya sedang berada di titik yang lebih rendah.Tapi baiknya tak usah kau hiraukan.”

“Membiarkan telingaku pura-pura tidak mendengarnya?”

“Ya,”

“Lalu?”

“Hanya itu.”

***

Ia adalah penjaga buku dan kesunyian. Namun ia sama sekali tak sunyi! Aku mencari-cari di mana sunyi berada, namun tak ada. Turun-naik, keluar-masuk ruangan aku habiskan dengan begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Aku mencari sunyi.

Aku duduk di sebuah ruang yang senyap; di pojok ruangan, dengan beberapa gelintir manusia di dalamnya. Aku menemui buku-buku yang berdiri tegak pada masing-masing barisannya. Tidak begitu rapi. Aku memandangnya, kemudian memaksa tanganku untuk meraihnya. Satu buku, dua buku ... kurasa cukup. Aku menemukan buku-buku, tapi aku belum bisa menemukan sunyi. Aku masih mancarinya.

Seseorang menghampiriku, seorang lelaki muda. Usianya delapan belas tahun. Aku tak bisa membantah, sunyi memang tak perlu dicari. Aku hanya butuh sesuatu yang bisa mengembalikan ukuran tubuhku seperti semula. Ia begitu bersemangat. Aku sedikit melengkungkan bibirku di hadapannya. Ia tak berkata apa-apa. Aku berdiri, kemudian duduk di sebuah kursi. Kami saling berhadapan. Ia memulai percakapan. Mungkin ini yang mestinya aku cari, bukan sunyi. Sunyi hanya diam yang beraturan.

Kembali lagi suara yang menakutkan itu kudengar. Matanya menyala penuh api.

“Ha ha ha ...”

Aku ketakutan. Berjalan mendekatinya, lalu diam. Aku tak berani memandang matanya, aku takut jika ...

Satu buku, dua buku ... aku menyelesaikannya. Ia sedang bisa menjaga mata dan suaranya. Aku mulai tenang. Kini ukuran tubuhku masih pendek, tapi hampir sepertiga dari ukuran semula. Pekerjaanku hampir beres.

***

Keesokan harinya aku datang menemuinya. Ia sedang duduk dengan gaya dimanis-maniskan. Kembali aku dipaksa untuk mencium tangannya. Ia masih diam untuk beberapa menit, lalu ia memulai ceritanya. Seperti biasa aku hanya berlagak menganggukkan kepala. Maka ia tak akan memanjangkan suaranya. Tubuhku sudah kembali seperti semula. Aku berharap ia tak lagi membuat tubuhku kecil dan pendek lagi seukuran batas mata kaki. Karena itu akan membuatku ingin sekali meninju mulutnya yang jarum itu.

Terkadang hari berjalan begitu mulus tanpa suaranya yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Ah, aku begitu muak jika mengingat apapun tentangnya.

Di jam istirahat, aku tak lagi memikirkan sunyi. Ia datang sendiri. Aku pun bercakap dengan diriku sendiri, tersenyum sendiri, dan tertawa sendiri. Aku sudah gila? Tidak. Aku tidak pernah merasa seperti itu. Aku baik-baik saja. Aku senang tidak ada yang menggangguku lagi. Aku telah membunuhnya, monster yang ada di matanya. Sebab aku khawatir suatu saat ia kembali menggangguku, membuat tubuhku menjadi kerdil, dan juga kehilangan suaraku. Aku tak mau lagi dipaksa mencium tangannya. Dan sekarang monster yang bergerak-gerak di matanya berpindah ke mataku. Aku mengikuti semua keinginannya.

2012

Menyeduh Kopi di Kepala

Cerpen Fina Lanahdiana

 
Pixabay - S. Hermann dan F. Ritcher

Wajahnya, wajah wanita itu, selalu hadir lebih pagi daripada bunyi jam weker yang selalu bising dan membuat kepalaku sedikit pening, hingga aku segera beranjak dari tempat tidurku.

“Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”

Begitulah yang kurasakan setiap pagi tepat setelah aku bangun dari jam tidur yang tak pernah genap. Ah, tidak. Bahkan itu hanya bagian dari halusinasi seperti yang orang-orang katakan pada diriku.

“Kau gila, Roney!” Begitulah mereka sering mengumpatku.

Aku sering melihat mereka saling mendekatkan mulut ke telinga satu sama lain saat mereka tengah bersantai di salah satu meja pada sebuah kafĂ© yang aku ada di dalamnya untuk sekedar menghangatkan diri dengan secangkir kopi atau sekedar berbincang-bincang—setiap pagi. Ya, tentu saja mereka mengenalku. Karena sebagian dari mereka adalah teman lama yang sering mengejekku saat aku masih duduk di bangku sekolah. Bukan karena aku tolol, tapi kupikir karena penampilanku yang saat itu masih cupu dan kutu buku—dengan kacamata tebal, kerah baju yang selalu terkancing, dan…emm, sudahlah. Itu saja sudah cukup, bukan?

“Hati-hati dengan orang itu!”

Mereka sering meneriakiku dengan jari telunjuk yang diarahkan ke wajahku. Ya, aku ingat betul itu. Kau pikir aku panik atau khawatir mengenai apa yang mereka lakukan padaku? Tidak, aku sama sekali tidak merasa keberatan. Dan ketika kuangkat wajahku, kemudian mulai membulatkan sepasang mata dengan kacamata minus yang selalu kusimpan di dalam saku baju, aku melihat kepala mereka yang tiba-tiba tertunduk tanpa kuperintahkan sedikitpun. Mungkin saja mereka merasa malu saat mereka mengetahui keberadaanku yang tengah asik mereka jadikan bahan perbincangan mereka. Entah sebagai lelucon, atau sengaja ingin mengejekku. Atau itu hanya perasaanku saja. Entahlah.

“Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”

Ah, kata-kata itu selalu muncul di kepala, setiap hari setelah aku bangun tidur. Tapi sekali lagi, aku tidak sedang satu atap dengan wanita itu, wanita yang tiba-tiba menyembul dari kepulan asap kopi atau dari cuaca yang mendadak lebih dingin dari hujan bulan Juni*. “Oh, derajat celcius ini bahkan terlampau banyak berhutang pada panas matahari, sayang.” Begitulah yang sering kuucapkan selanjutnya tanpa kau tahu--wanita yang gemar berjalan-jalan di gubuk-gubuk di dadaku--tentang apa yang kusaksikan setiap hari tentangmu, Aleya. Mungkin butuh beberapa waktu lamanya untukku belajar mencintai hal-hal yang kau suka. Seperti berjalan menggunakan tangan, mungkin. Ataupun hal-hal gila yang lain, aku rela. Dan demikian pula aku butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menghilangkan kenangan kita. Atau mungkin hanya kenanganku saja.

***

Beberapa hari belakangan ini aku sering mengingat kenangan kita, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah. Ah, dulu kau masih terlampau acuh tentang urusan cinta. Andai saja kau tahu, bahwa aku tak pernah hanya menganggapmu sekedar teman ngobrol atau sekedar teman bersenang-senang menghabiskan liburan, saat kita benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Saat ada waktu luang begitu, kau akan lebih senang mengajakku bertanding main game di rumahku. Lalu kau akan pulang dengan wajah yang dilipat-lipat, saat kau tahu bahwa kau harus menerima kekalahan dariku. Tapi tidak, sebelum kau pulang aku sering memberimu beberapa bungkus permen dari toples di meja kerja ayahku untuk mengembalikan senyum di bibir merahmu. Aku merasa geli jika harus mengingat hal itu, dan tak urung membuatku tertawa terbahak-bahak.

Namun rupanya kini aku justru harus menyimpan kenangan itu ke dalam koper di kepalaku rapat-rapat. Bahkan mungkin dibutuhkan beberapa kali lilitan borgol agar aku tidak kembali membukanya. Ah, bagaimana tidak jika aku masih mengahafal kalimat saat kau menemuiku beberapa waktu yang lalu, “Perkenalkan, Roney. Dia Leonel, kekasihku. Sebagai teman dekatku, kau tentu harus juga mengenalnya.”

Kau tahu, Aleya saat kau mengatakan kalimat itu dengan segenap kejujuranmu padaku mengenai lelaki yang menjadi kekasihmu itu, kepalaku mendadak panas dan benar-benar ingin meledak. Melebihi ledakan bom di Hiroshima, mungkin. Betapa dada ini mendebum terlampau keras, ingin sekali rasanya berteriak sekuat-kuatnya. Semata-mata agar kau tahu, Aleya. Betapa aku menunggu apa yang kau katakan tentang Leonel kekasihmu itu. Ya, tentu saja aku ingin menjadi kekasihmu, Aleya.

Aleya, betapa aku harus merelakan diriku pada kutipan omong kosong, “Cinta tak harus memiliki”. Aku benar-benar merasa bodoh sekaligus gila jika harus mempercayainya. Namun demikianlah adanya, aku memang harus mempercayainya. Sudah pasti sesal itu ada, kenapa dulu aku tak berterus terang kepadamu tentang segala perasaanku padamu meskipun pahit yang harus kuterima?. Dan kenapa kau harus bertemu Leonel? Bukankah kita telah sama-sama saling mengenal sebelum Leonel mengenalmu? Ah, memang tak ada gunanya aku menyalahkan sesal yang selalu datang belakangan. Namun aku benar-benar menyesal, mungkin kau harus tahu tentang ini.

Tanpa pernah diduga sebelumnya, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Aku berdiri persis di dekat jendela. Kutuliskan namamu pada kaca yang berembun akibat cipratan air hujan—Aleya. Wajahmu yang teduh, senyum yang mengembang dengan lesung di pipi yang begitu manis, serta perwatakanmu yang selalu ceria. Ah, betapa kau memang sangat susah untuk dihapus begitu saja. Aku bahkan tak mengerti, meski bagaimana lagi untuk bisa melupakanmu. Entah, apakah kemudian aku mampu membuka hati untuk wanita lain, atau aku akan terus mempertahankan rasa ini padamu. Namun rasanya sangat gila, bukan? Perlahan mataku mulai basah oleh genang air mata. Lagi-lagi aku menyesali perasaan ini. Aku menyesal mengenalmu? Rasanya tidak. Aku hanya menyesal kenapa mesti mencintaimu. Tapi jangan kau pikir aku lelaki yang lemah. Yang kualami ini bisa saja menimpa siapapun. Kau dengar? Siapapun. Termasuk juga lelaki sepertiku.

Perlahan kubuka lilitan borgol koper yang tersimpan rapi di kepalaku. Kukatakan, aku memang rindu! Betapa aku sangat kaget saat itu, satu per satu isi di dalamnya mengeluarkan diri dengan sendirinya, tanpa kuperintahkan sedikitpun. Lembaran album, buku harian, bermacam bungkusan kado, serta berbagai perangkat lainnya. Lalu mereka berjalan di depanku, mengelilingi tubuhku, menari-nari dengan indahnya, dan membawaku pada kenangan kesekian. Ah, lagi-lagi bersamamu, Aleya. Butuh beberapa waktu untuk mengingat semuanya. Namun tiba-tiba aku terbangun. Semua isi dari dalam koper itu terburai, lalu menghilang begitu saja. Ini masih pukul 02.35 dini hari, di kamarku yang kurancang sedemikian rupa agar aku merasa nyaman berada di dalamnya. Mengingat beberapa waktu belakangan ini aku sering merasa asing di dalam rumahku sendiri. Kata mereka yang sering menganggapku gila itu, aku sering melamun sendiri, berjalan sendiri, bercakap, tertawa, bakan menangis sendiri. Ya, itu benar. Namun itu kulakukan semata-mata agar aku mampu mengenal diriku yang dulu, setelah diriku terlalu banyak dimasuki wanita itu. Maka aku memang sedang ingin sendiri.

Di luar sana masih hujan. Aku sendirian di rumahku sendiri. Kau pasti bertanya di mana keluargaku, kakak, atau mungkin saja adikku? Baiklah, mereka baik-baik saja di rumah mereka sendiri. Kau berpikir aku egois karena membiarkan mereka tetap menempati rumah mereka sendiri? Kau salah, aku sudah membujuk mereka untuk ikut serta bersamaku. Menempati rumah yang kini kutempati sendiri ini. Namun rupanya mereka tak mudah dibujuk begitu saja, dengan alasan mereka tak mau merepotkanku. Kau dengar, mereka sangat peduli padaku. Oke, itu tak masalah. Aku tetap menyempatkan waktu untuk mengunjungi mereka, karena memang tak ada yang lebih menyenangkan daripada berkumpul bersama keluarga.

***

Someone Like You berulangkali mengalun dengan lembut. Lagu itu memang yang semestinya aku putar berulang kali dengan jarak yang tak terpaut jauh dari gendang telingaku. Memasangnya di ponsel saat ada yang tiba-tiba menelepon, mengatur sebagai nada alarm, atau mungkin sekedar lagu yang kustel saat aku tengah merampungkan pekerjaanku. Dengan begitu hatiku akan kembali menempatkan diri ke tempat yang semestinya.

Aku melihatmu, Aleya. Emm, bukan. Maksudku, aku melihat seseorang yang hampir sama sepertimu. Cara dia berjalan, senyum, makan, dan berbicara sangat mirip denganmu. Bahkan kalau aku tak salah ingat, dia begitu hafal makanan kesukaanku, jam tidurku, jam kerjaku, kebiasaanku setiap pagi, bahkan dia tahu betul tentang sesuatu yang belum pernah kutahu sebelumnya. Nanti kau pasti akan kaget bila kuceritakan siapa orang itu, orang yang mirip denganmu. Nanti dulu, hampir setiap hari ia menemaniku, kemanapun. Namun aku tak yakin kau kan menyukainya, bukan karena kau tak suka ada yang menyamaimu, tapi karena ternyata dia adalah kau yang kuciptakan dari diriku sendiri, lalu setiap pagi aku akan lebih gemar mengatakan pada diriku sendiri “Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”.

*Judul puisi Sapardi Djoko Damono