27 Desember 2014
Di Sebuah Bandara yang Menyimpan Punggung Kita
29 Oktober 2014
Sepasang Sepatu
Sumber Gambar |
: Majenis Panggar Besi
waktu seringkali memecah bermacam-macam makanan darat laut, dan udara. milik segala rasa manis, pahit, asam, dan asin yang saling berebut lidah merahmu yang kerap diperam amarah. timbul-tenggelam bagai musim panen tak sengaja mengupayakan badai hujan, kemarau dan banjir. membujuk kau agar berulangkali kalah oleh pendakian yang singgah
namun rupanya semesta melahirkan kaki sepatumu yang sanggup berlari mengejar bayangan sejauh engkau tak mampu menjangkau di mana dalam dan lautnya sebuah perumpamaan hadir bagai sepasang kekasih tak sanggup menyerahkan diri pada nasib simpul tali yang terlilit lubang bernama kenyataan
di lain waktu barangkali kau bosan berdiri sebab luka binatang kecil pengurai menembus daging telapak kaki seliat cacing pita yang hidup di dalam perut seekor babi. membusuk hingga tanganmu tak hendak menyentuh apapun di luar punggung yang salah menafsir di mana letak gang yang mesti kau kayuh, sebab yang bernama kepulangan seringkali adalah sesuatu yang enggan kau cari sebagai kata tempuh.
Oktober 2014
3 September 2014
Cerpen Majalah Femina, Ed. 23-29 Agustus 2014
Majalah Femina Ed. 23-29 Agustus 2014 |
Oleh: Fina Lanahdiana
31 Juli 2014
Resensi Buku Hoppipolla (Koran Jakarta, 23 Juli 2014)
Gambar: Unsapress |
Penulis: Dedek Fidelis Sinabuntar, dkk.
Penerbit: Deka Publishing
Tahun Terbit : 2014
Tebal: vii + 133 halaman
ISBN : 976-602-7195-43-5
Harga: Rp. 30.000, 00
30 Juli 2014
Penidur
Tidak hanya bulu-bulu putih yang berhamburan, menempel pada tubuhnya, rambutnya, tetapi juga kotoran-kotoran ayam bercampur lumpur pekat turut serta melengkapi nasib sialnya.
Pukul tiga dini hari, Arman hendak ke musala untuk membangunkan warga kampung, namun di dekat rumah Pak Lebe, Arman melihat sesosok tubuh tergeletak di kandang ayam begitu saja.
"Mayat?" Arman menggumam disertai keragu-raguan.
Ia bergidik ngeri, merinding. Tetapi tidak terlalu lama, tangan orang yang diduga mayat itu menggapai-gapai ke udara, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pijakan untuk bangun. Kali ini tangannya menggenggam sebatang bambu yang menjadi tiang kandang ayam yang hanya diselimuti kawat dengan diameter lubang yang kecil, hingga binatang yang ada di dalamnya tidak bisa meloloskan diri.
Gerakannya pelan, namun sedikit demi sedikit tubuhnya mulai agak tegak. Arman tampak lebih panik dari sebelumnya, ketika pria yang semula tumbang itu menoleh ke arahnya.
Wajah Arman tampak pucat, setelah dipandangnya wajah pria tadi dipenuhi kotoran dan tatapan matanya hanya menampakkan warna putih tanpa bola mata berwarna hitam.
Pria yang terseok-seok itu berkali-kali bangun, namun berkali-kali jatuh juga. Ia mengamuk, berteriak marah, hingga mengoyak ayam-ayam yang ada di sekitarnya.
Arman buru-buru berlari ke musala, memukul kentongan, dan segera mengambil pengeras suara di dalam musala.
"Maling, maling, maling!"
Maryamah kaget. Ia membangunkan suaminya dengan heran.
"Pak, sejak kapan orang di musala itu membangunkan sahur dengan seruan maling?"
Jenggelek, suaminya bangun tanpa menjawab pertanyaan istrinya.
"Maling? Ibu tadi bilang ada suara maling?"
"Iya, Pak. Sebentar, tidak lama lagi suara itu pasti akan terulang."
"Maling, maling, maling!"
Kali ini suara tidak lagi berasal dari pengeras suara di musala, tetapi ada beberapa orang yang berseru dan terdengar langkah orang berlarian.
"Tuh kan, Pak. Ada maling."
Suaminya segera melupakan menu sahur yang sudah disiapkan istrinya. Ia bangun, mengenakan sarung dengan menggulung beberapa bagian atas di perutnya lantas keluar rumah untuk memastikan keadaan kampungnya.
Beberapa pemuda dan pria dewasa termasuk Pak Lebe berkumpul di dekat kandang ayam peliharaannya.
Pria yang masih tampak misterius itu kembali rubuh setelah mengamuk hingga menerbangkan ayam-ayam yang ada dalam kandang.
Tidak ingin gegabah, mereka tidak langsung menghakimi pria yang diduga maling itu, namun mereka sudah siap menggiringnya dan meminta pertanggungjawaban.
"Bawa ke rumah saya saja." tukas Pak Lebe.
"Tapi kan, Pak ..."
"Sudah, tidak apa-apa. Kita tanyai dia baik-baik."
Digiringlah pria tadi yang masih dalam keadaan setengah sadar ke dalam rumah Pak Lebe.
Istri Pak Lebe mengambilkan segelas air untuk membangunkan kesadarannya dengan dengan penuh.
Mereka melingkar di ruang tamu milik Pak Lebe. Pria itu mulai sadar. Matanya merah dan tampak seperti orang linglung.
Ia merasa terancam dan ketakutan, hingga terbesit niat dalam hatinya untuk melarikan diri. Tapi suami Maryamah segera mencengkeram lengannya hingga ia kembali terduduk.
Pria itu bernama Soim, ia mengaku berasal dari kampung sebelah.
"Kenapa kau tidur di kandang, Le?" tanya Pak Lebe bijak.
"Kandang? Maksud Bapak apa?"
"Pura-pura goblok. Hajar saja, Pak!" seru Arman.
Pak Lebe meminta semuanya agar tetap tenang. "Kalian pulang saja, lanjutkan sahur bersama keluarga kalian. Dia biarlah menjadi urusan saya."
Meskipun ada perasaan tidak puas, orang-orang segera membubarkan diri untuk kembali ke rumah masing-masing.
"Pak Lebe payah. Sudah jelas-jelas orang itu maling. Eh ..."
"Hush."
Pak Lebe meminta istrinya menyiapkan makan sahur untuk Soim. Ia akan bercakap-cakap untuk memperjelas duduk perkaranya.
"Maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud ..."
“Tidak apa-apa. Makanlah, sebelum imsak."
Setelah keduanya menghabiskan santap sahur, terjawablah bahwa Soim tidak bermaksud untuk mencuri atau dengan sengaja tidur di dalam kandang ayam.
"Mungkin saya terlalu memuja keinginan bersenang-senang."
Tidak paham dengan yang dimaksud Soim, Pak Lebe segera menanyakannya. Ternyata ia baru saja merayakan kemenangan calon presiden pilihannya di rumah Dayat, bersama empat orang lain kawannya.
"Kami terlalu banyak minum bir murahan yang dijual di warung-warung."
Soim terlihat canggung mengakui perbuatannya. Pak Lebe menepuk pundak Soim dengan pelan.
"Beruntung, tadi para warga tidak langsung menghajarmu, Le."
Soim merasa lega karena Pak Lebe tidak mencaci, memukul, atau melaporkannya ke polisi.
Selepas subuh, Soim diperkenankan untuk pergi.
Di dalam pikiran Soim berkecamuk hal yang sampai kini tetap menjadi rahasia, bahwa sesungguhnya ia tidak hanya sekadar merayakan pesta bir, tetapi juga menghabiskan malam di kasur milik seorang perempuan gila sebab ulahnya dan kawan-kawannya beberapa bulan yang lalu.
Juli, 2014
22 Juli 2014
Melawan Kesedihan
Sumber Gambar |
penangkal suara kesedihan yang gelisah
pada tiap-tiap remuk redam sambil menghitung
seberapa racun diriku salah menelan obat-obatan
dosis menciptakan bayangan tubuh masa lalu di depan
berdiri menghadapi kemungkinan apakah ia akan tetap hidup
atau habis dilibas biru laut segar harapan berisi ikan tidur
tanpa mesti memejamkan mata
aku sering bertanya-tanya bagaimana tidur dengan cara seperti itu
--dengan mata terbuka--sementara di antaranya air hidup membawa mikroba
yang jauh lebih raksasa daripada ular-ular pemangsa hama
jika alat pernapasan manusia terbuat dari ingsang,
barangkali tidak ada lagi yang bernama kesedihan
sebab luka yang timbul dipenuhi udara,
tenggelam oleh arus yang menggenangi diri
dari gemuruh ombak yang gamang
Kalirandu, Juli 2014
12 Juli 2014
Meja Makan
Sumber Gambar |
tangan-tangan para pemimpi, menyeret hidangan mahal
sebuah makan malam di acara keluarga
setelah seharian ia habiskan kelaparan
untuk membaca buku resep agar tak mudah dilupakan kehilangan
foto-foto bahagia menjadi bahan perbincangan utama
di sebuah jejaring sosial untuk menyelamatkan diri
dari kesepian yang panjangnya melebihi
pelukan tangan paling rentang
tak ada yang tahu di mana sesungguhnya ia menyembunyikan suara
bagi setiap sudut yang disebut bahagia
sementara berpuluh-puluh pesan di ponselnya
dibalas oleh kata tunggu yang tak habis membelah diri melahirkan semesta
setiap malam ia tak bisa tidur
sebab membayangkan mimpinya dicuri
oleh nenek sihir jahat yang menebarkan mimpi buruk
seperti menebarkan pupuk kandang pada sebidang lahan
tanpa pernah disertai musim tanam
Kalirandu, 2014
8 Juli 2014
Mencintai dengan Selambat-lambatnya
Sumber Gambar |
14 April 2014
Lomba Menulis Novela Bersama Gramedia DL Akhir April 2014
Juara 1 Tablet Adroid Asus, voucher belanja 500.000, paket buku senilai 500.000 dan tiket penulisan narasi.
Juara 2 Tablet Axioo, voucher belanja 350.000, paket buku senilai 350.000 dan tiket penulisan narasi.
Juara 3 Tabled Android Cyrus, voucher belanja 250.000, paket buku seilai 250.000 dan tiket penulisan narasi.
* Selebihnya lihat di Poster Lomba Menulis Novela Gramedia.
1. Sign up terlebih dulu di gramediana.com dan memiliki akun di sana.
1. Tulis karyamu melalui self pubslishing gramediana
3. Pastikan tulisanmu adalah karya hasil sendiri, tidak mengandung sara dan pornografi.
4. bentuk tulisan adalah novela (novel pendek) tema bebas, minimal 30 halaman.
5. Kirimkan karyamu ke selfpublishing@gramediana.com dengan subjek email Lomba Novela
6. Deadline lomba novela ini sampai 30 April 2014.
7. Pemenang akan diumumkan pada 20 Meii 2014.
Pemenang akan dinilai berdasarkan penilaian dari dewan juri
9. Karya peserta akan diterbitkan sebagai ebook melalui self pubslishing gramediana
10. Pemenang akan dihubungi melalui email oleh admin gramediana.
22 Maret 2014
Selepas Pertunjukan
18 Maret 2014
Mencatat Suara
16 Maret 2014
Seseorang yang Tidak Ingin Ada yang Lain Kecuali Dirinya
16 Februari 2014
Memelihara Kesedihan
14 Februari 2014
Tidak Ada Kata-kata
lama sekali rasanya tidak membiarkan kata-kata
Sebutir Telur
rupanya perut terburu-buru menagih kelaparan
aku memberanikan diri untuk menyalakan kompor yang lumpur
oleh cipratan air dan kotoran minyak
kusiapkan sebutir telur dengan hati-hati
barangkali tiba-tiba sebentar lagi terdengar suara ayam
yang mendesak ingin memecah cangkang
lalu larilah suara itu sampai pada telinga yang gatal
kita masih saja telur ceplok yang mencintai minyak goreng
di atas teflon panas yang dijilati api
yang meletup demikian riang hingga matang dan siap hidang
Februari 2013
Mengirim Rindu
tapi kau bilang kau lupa cara membuka pintu
kemudian aku mengirimkan melalui sebuah surat
tapi kau lupa memberikan sebuah alamat
aha!
aku mengirimkannya pada sebuah dering ponsel
“halo, aku rindu dari si anu”
2014
Malam pada Secangkir Kopi
namun aku begitu keras kepala
dan tak pernah ingin menjadi lupa
menyediakan secangkir kopi pada malam
tiap-tiap kau datang bertandang
aku tidak suka kopi, katamu lagi
dan aku tetap menyeduh secangkir kopi
untuk menemani percakapan kita yang dihantui sunyi
aku tidak suka kopi, katamu berkali-kali
dan aku tetap ingin menjadi tuli
2014
Puisi-puisi Ilusi
Oleh: Fina Lanahdiana
ILUSI
siapa yang sedang duduk menunggu
di bawah pohon mangga setiap sore menjelang nyala lampu-lampu
ia sendiri dan kesepian
seperti seorang perempuan yang rapuh
sebab jam dinding tiba-tiba menjadi gaduh
rikuh sebab tak ada yang bernama kepastian
yang mesti dipelihara di dalam dadanya
o, angin ...
janganlah datang ketika hujan malam-malam
nanti kau habis ditelan kegelapan
ia masih berdiri dan menepi
wajahnya sendu
menyanyikan lagu-lagu kesedihan yang syahdu
kini ia tak lagi menyepi sebab telah dilahap sebuah ilusi
2014
ILUSI II
aku sedang duduk menjatuhkan kepalaku di atas meja
ketika tiba-tiba seseorang datang tanpa mesti kukirim surat undangan
ia lahir dari selembar foto di tanganku
rupanya yang bernama ajaib tidak melulu harus keluar dari sebuah lampu aladin
pertama-tama kepalanya, lehernya, tangannya, tubuhnya, kemudian kakinya
kini ia telah sempurna menyerupai manusia
matanya menyala-nyala, mulutnya membunyikan suara
“kamu siapa?”
“aku tidak punya nama.”
“siapa?”
“kenangan.”
2014
ILUSI III
seorang bocah sedang berkejaran dengan angin
matanya menyala serupa lampu
pada malam-malam yang piatu
pada suatu hari ia bermimpi
didatangi seekor kupu-kupu
ia terbangun pada keesokan hari
menjelang subuh
ibu, ibu, ibu
aku menjadi seekor kupu-kupu
2014
ILUSI IV
aku berjalan mendekati pintu
di luar gelap sebab ini malam pukul tujuh
tiba-tiba ibu mendekatiku
aku tidak tahu
bagaimana harus memutar alasan pada lidahku yang batu
agar bisa bermain dengan temanku
kata ibu malam adalah waktu yang tepat untuk membaca buku
“ibu?”
“apa?”
“ada hantu.”
2014
13 Februari 2014
Lomba Menulis Puisi Kampanye Sastra ITB 2014 DL 9 Maret 2014
Syarat dan Ketentuan
- Peserta adalah Warga Negara Indonesia
- Tergabung dalam grup facebook Kampanye Sastra ITB 2014
- Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
- Naskah original ’bukan jiplakan atau saduran’ dan belum pernah dipublikasikan di media cetak maupun elektronik serta tidak sedang diikutkan pada lomba lain.
- Puisi bertemakan Pena Bicara Soal Pemimpin.
- Tidak mengandung unsur SARA.
- Naskah diketik dengan komputer di atas kertas A4 dengan jarak spasi 1,5. Font TNR (Times New Roman) 12pt. Margin normal. Panjang naskah bebas.
- Terdapat satu halaman yang berisi poin-poin biodata berisikan nama lengkap, tempat tanggal lahir, alamat lengkap beserta kode pos, nomor kontak aktif, akun facebook, alamat email, dan narasi singkat.
- Kirim naskah anda ke email: kampanyesastra2014@gmail.com, dengan dilampirkan (attachment), tidak ditulis di badan email.
- Format pengiriman naskah untuk judul file dan judul email adalah PUISI[underscore]Judul Naskah[underscore]Nama Pengarang
- Contoh: PUISI_Presidenku_ Faizah Nurma
- Setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu naskah terbaiknya.
- Naskah dikumpulkan dalam bentuk soft file bertipe dokumen (.docx) atau (.doc)
- Batas akhir pengumpulan naskah 9 Maret 2014 pukul 23.59 WIB.
- Memiliki akun facebook dan memposting info lomba ini di catatan facebook masing-masing dengan tag minimal 25 orang teman.
- Peserta WAJIB tergabung dalam grup yang telah dijelaskan di syarat nomor dua.
- Peserta berhak bertanya seputar perlombaan di dalam grup facebook.
- Lima belas karya terbaik akan ditampilkan di karsamaya.tumblr.com (Lingkar Sastra di dunia maya).
- Pengumuman Pemenang dan Penganugerahan Hadiah akan diselenggarakan di puncak acara Kampanye Sastra ITB 2014 pada tanggal 12 April 2014 pukul 09.00 s.d. selesai.
- Juara 1 : Literature Campaign Award + Piagam Penghargaan + Uang senilai Rp 500.000,-
- Juara 2 : Piagam Penghargaan + Uang senilai Rp 300. 000, -
- Juara 3 : Piagam Penghargaan + Uang senilai Rp 200. 000, -
Sebuah Cerita yang Mendaur Ulang Dirinya
menjadikanmu sebagai perumpamaan ulat bulu
yang merubah dirinya sebagai kupu-kupu
Membangun Pesawat Terbang
jam dinding berputar seperti halnya ban sepeda;
mengayuh harapan pada tiap-tiap kakimu yang lengang
di tanganmu, botol minuman menjadi mainan anak-anak
yang meraut tawa kecil bagi halaman rumah
juga pohon-pohon yang rindangnya kau umpamakan sebagai masa depan
setiap orang yang lewat di hadapanmu
kau suarakan dengan berbagai alasan kebersihan lingkungan
agar kelak di rambutmu yang putih berkilauan,
tidak ada lagi matahari yang kehabisan hujan
Maret 2013
Bayang Pertanyaan
Mengingat Sesuatu yang Kau Sebut Lupa
Puisi-puisi Majenis Panggar Besi
Catatan Kecil Sang Presiden
emak,
emak,
emak,
bapak,
Di manakah Surgamu?
Disinilah aku kini bersembunyi, Christ
tempat dimana siang adalah lebih lama dibanding malam
jauh dari nafasmu
jauh dari kenangan kita yang semakin menipis dianiaya usia
sebab kita lebih memilih membagi kasih sayang melalui rentang jarak
hingga kita selalu merindukan kata halo dan segala yang mengikuti sesudahnya
"Inilah nasibku, di tinggal olehmu.
Aku ini lelaki, kewajiban utamaku adalah Ibuku. Surgaku di telapak kaki Ibuku."
berulang kali kubisikkan dengan perlahan kepada matamu yang semakin rentan
sebab telah begitu sering matamu kubocorkan
dan aku hanya ingin kau juga tak pernah melupakanku
tak peduli rintik hujan mampu melapukkan batu
perih yang kau berikan padaku akan tetap menyala
menghangatkan dan mengingatkan pertemuan itu betapa sayatnya
dan bisikmu turut gemerisik
"aku pergi dan tak kan kembali. Aku ini seorang istri, hidupku adalah suamiku. Karena surga seorang istri hanyalah menumpang kepada sang suami."
Biodata:
Keinginan Bersenang-senang
yang penuh sesak dengan antrian aspal yang berlubang
kemudian di sebuah toko, ia begitu disengat rasa penasaran
untuk mengepas baju dan asesoris; yang ia jadikan alasan melupakan kemacetan
kampus yang begitu payah
menyisakan kebiasaan memburu meja makan
yang dilengkapi aneka fasilitas hotspot area
kemudian terang-terangan menunjuk siapa lebih milenium dari siapa
di sebuah kos, yang tersisa hanyalah
mimpi yang kelelahan diajak jalan-jalan
yang semakin kurus dikuras keinginan bersenang-senang
2013
Buah yang Jatuh di Kepala Kami
i.
di kepala kami tumbuh buah-buahan
yang setiap kali ingin kami petik
sebagai pepatah yang patuh pada petuah
barangkali semacam teduh payung yang bersedia menampung hujan
bagi lengan sesiapa saja yang bertandang
ii.
di luar orang-orang berebut televisi
yang merah jambu oleh ucapan dan janji-janji pemilu yang kemarau
dimana di dalamnya kami semakin dipeluk oleh gedung-gedung tinggi
yang melebihi daftar panjang pesakitan di musim hujan
yang membuat kami kehilangan perigi
iii
maka kemudian hutan di kepala kami menjadi tebing curam
yang sewaktu-waktu bisa menjadi kesia-siaan yang panjang
bagi kepala yang mestinya bisa menampung
banyak tumpangan persoalan pesawat terbang
2013
Perihal Layang-layang
di halaman, kita tak ubahnya tanah lapang yang menahan perih pijakan-pijakan, akar pohon, serta berbagai macam keinginan yang kerap kita umpamakan sebagai cita-cita. seperti pertanyaan yang terus diulang di jam sekolah dan tak pernah bosan untuk kita angankan—kita renungkan
kamu yang hendak menjadi apa, barangkali di pikiranmu muncul sebuah bentuk menyerupai layang-layang. yang diulur ke puncak oleh seorang anak yang melarikan kakinya di lapangan sambil tertawa riang. ia kemudian berkata bahwa layang-layangnya tak akan terbang jika angin tak menyerang udara yang hampa.
di lengannya muncul sebuah harapan yang memanjang ke atas, ke arah langit. Ibunya yang mengajarkan dongeng setiap malam, agar ia mempunyai mimpi yang indah; yang bisa ia simpan di telapak kakinya kelak, saat ia tak tahu mesti meminjam jari siapa yang bisa menggenggam tangannya yang sendirian.
2013
9 Februari 2014
Monster
Unsplash - Tomasz Sroka |
Aku tak berani bicara banyak, meski ia kerap sekali memukul dadaku dengan suaranya yang melengking. Jika sudah begitu, aku tiba-tiba saja berubah menjadi sangat pendek. Bahkan mungkin lebih pendek dari batas mata kaki. Aku ingin berlari untuk menghindari matanya, juga suaranya. Tapi nyatanya tak bisa, aku masih saja mesti berada di dekatnya, bersamanya.
Ia kerap membuat lelucon garing yang sama sekali tak bisa menjadikanku kembali ke ukuran normal.
Ia pernah mengalami kecelakaan, kepalanya bocor dan mungkin itu yang membuatnya gila. Itu menurutku saja. Ia begitu manis menceritakan kebaikan-kebaikannya. Setiap pagi, saat aku datang aku dipaksa untuk mencium tangannya. Ah, sungguh ini bukan ide yang baik.
Aku membenci matanya yang seperti mata kucing yang menemukan mangsa. Aku membenci mulut manisnya yang begitu lihai meramu cerita. Aku membenci suaranya yang seperti lolongan anjing liar. Kau percaya tidak? Orang-orang di sekitarnya bahkan sangat setia menjadi pendengarnya. Memang itu bukan masalahku, tapi sungguh aku merasa sangat terganggu. Kalau saja aku punya suara yang melebihi suaranya aku tidak akan segan untuk menyumpal mulutnya rapat-rapat, lalu membuat matanya terbakar sehingga tak akan ada lagi monster yang bergerak-gerak di matanya.
***
“Apakah menurutmu aku sudah gila?”
“Tidak, kau hanya sedang berada di titik yang lebih rendah.Tapi baiknya tak usah kau hiraukan.”
“Membiarkan telingaku pura-pura tidak mendengarnya?”
“Ya,”
“Lalu?”
“Hanya itu.”
***
Ia adalah penjaga buku dan kesunyian. Namun ia sama sekali tak sunyi! Aku mencari-cari di mana sunyi berada, namun tak ada. Turun-naik, keluar-masuk ruangan aku habiskan dengan begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Aku mencari sunyi.
Aku duduk di sebuah ruang yang senyap; di pojok ruangan, dengan beberapa gelintir manusia di dalamnya. Aku menemui buku-buku yang berdiri tegak pada masing-masing barisannya. Tidak begitu rapi. Aku memandangnya, kemudian memaksa tanganku untuk meraihnya. Satu buku, dua buku ... kurasa cukup. Aku menemukan buku-buku, tapi aku belum bisa menemukan sunyi. Aku masih mancarinya.
Seseorang menghampiriku, seorang lelaki muda. Usianya delapan belas tahun. Aku tak bisa membantah, sunyi memang tak perlu dicari. Aku hanya butuh sesuatu yang bisa mengembalikan ukuran tubuhku seperti semula. Ia begitu bersemangat. Aku sedikit melengkungkan bibirku di hadapannya. Ia tak berkata apa-apa. Aku berdiri, kemudian duduk di sebuah kursi. Kami saling berhadapan. Ia memulai percakapan. Mungkin ini yang mestinya aku cari, bukan sunyi. Sunyi hanya diam yang beraturan.
Kembali lagi suara yang menakutkan itu kudengar. Matanya menyala penuh api.
“Ha ha ha ...”
Aku ketakutan. Berjalan mendekatinya, lalu diam. Aku tak berani memandang matanya, aku takut jika ...
Satu buku, dua buku ... aku menyelesaikannya. Ia sedang bisa menjaga mata dan suaranya. Aku mulai tenang. Kini ukuran tubuhku masih pendek, tapi hampir sepertiga dari ukuran semula. Pekerjaanku hampir beres.
***
Keesokan harinya aku datang menemuinya. Ia sedang duduk dengan gaya dimanis-maniskan. Kembali aku dipaksa untuk mencium tangannya. Ia masih diam untuk beberapa menit, lalu ia memulai ceritanya. Seperti biasa aku hanya berlagak menganggukkan kepala. Maka ia tak akan memanjangkan suaranya. Tubuhku sudah kembali seperti semula. Aku berharap ia tak lagi membuat tubuhku kecil dan pendek lagi seukuran batas mata kaki. Karena itu akan membuatku ingin sekali meninju mulutnya yang jarum itu.
Terkadang hari berjalan begitu mulus tanpa suaranya yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Ah, aku begitu muak jika mengingat apapun tentangnya.
Di jam istirahat, aku tak lagi memikirkan sunyi. Ia datang sendiri. Aku pun bercakap dengan diriku sendiri, tersenyum sendiri, dan tertawa sendiri. Aku sudah gila? Tidak. Aku tidak pernah merasa seperti itu. Aku baik-baik saja. Aku senang tidak ada yang menggangguku lagi. Aku telah membunuhnya, monster yang ada di matanya. Sebab aku khawatir suatu saat ia kembali menggangguku, membuat tubuhku menjadi kerdil, dan juga kehilangan suaraku. Aku tak mau lagi dipaksa mencium tangannya. Dan sekarang monster yang bergerak-gerak di matanya berpindah ke mataku. Aku mengikuti semua keinginannya.
2012
Menyeduh Kopi di Kepala
“Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”
Begitulah yang kurasakan setiap pagi tepat setelah aku bangun dari jam tidur yang tak pernah genap. Ah, tidak. Bahkan itu hanya bagian dari halusinasi seperti yang orang-orang katakan pada diriku.
“Kau gila, Roney!” Begitulah mereka sering mengumpatku.
Aku sering melihat mereka saling mendekatkan mulut ke telinga satu sama lain saat mereka tengah bersantai di salah satu meja pada sebuah kafĂ© yang aku ada di dalamnya untuk sekedar menghangatkan diri dengan secangkir kopi atau sekedar berbincang-bincang—setiap pagi. Ya, tentu saja mereka mengenalku. Karena sebagian dari mereka adalah teman lama yang sering mengejekku saat aku masih duduk di bangku sekolah. Bukan karena aku tolol, tapi kupikir karena penampilanku yang saat itu masih cupu dan kutu buku—dengan kacamata tebal, kerah baju yang selalu terkancing, dan…emm, sudahlah. Itu saja sudah cukup, bukan?
“Hati-hati dengan orang itu!”
Mereka sering meneriakiku dengan jari telunjuk yang diarahkan ke wajahku. Ya, aku ingat betul itu. Kau pikir aku panik atau khawatir mengenai apa yang mereka lakukan padaku? Tidak, aku sama sekali tidak merasa keberatan. Dan ketika kuangkat wajahku, kemudian mulai membulatkan sepasang mata dengan kacamata minus yang selalu kusimpan di dalam saku baju, aku melihat kepala mereka yang tiba-tiba tertunduk tanpa kuperintahkan sedikitpun. Mungkin saja mereka merasa malu saat mereka mengetahui keberadaanku yang tengah asik mereka jadikan bahan perbincangan mereka. Entah sebagai lelucon, atau sengaja ingin mengejekku. Atau itu hanya perasaanku saja. Entahlah.
“Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”
Ah, kata-kata itu selalu muncul di kepala, setiap hari setelah aku bangun tidur. Tapi sekali lagi, aku tidak sedang satu atap dengan wanita itu, wanita yang tiba-tiba menyembul dari kepulan asap kopi atau dari cuaca yang mendadak lebih dingin dari hujan bulan Juni*. “Oh, derajat celcius ini bahkan terlampau banyak berhutang pada panas matahari, sayang.” Begitulah yang sering kuucapkan selanjutnya tanpa kau tahu--wanita yang gemar berjalan-jalan di gubuk-gubuk di dadaku--tentang apa yang kusaksikan setiap hari tentangmu, Aleya. Mungkin butuh beberapa waktu lamanya untukku belajar mencintai hal-hal yang kau suka. Seperti berjalan menggunakan tangan, mungkin. Ataupun hal-hal gila yang lain, aku rela. Dan demikian pula aku butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menghilangkan kenangan kita. Atau mungkin hanya kenanganku saja.
Beberapa hari belakangan ini aku sering mengingat kenangan kita, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah. Ah, dulu kau masih terlampau acuh tentang urusan cinta. Andai saja kau tahu, bahwa aku tak pernah hanya menganggapmu sekedar teman ngobrol atau sekedar teman bersenang-senang menghabiskan liburan, saat kita benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Saat ada waktu luang begitu, kau akan lebih senang mengajakku bertanding main game di rumahku. Lalu kau akan pulang dengan wajah yang dilipat-lipat, saat kau tahu bahwa kau harus menerima kekalahan dariku. Tapi tidak, sebelum kau pulang aku sering memberimu beberapa bungkus permen dari toples di meja kerja ayahku untuk mengembalikan senyum di bibir merahmu. Aku merasa geli jika harus mengingat hal itu, dan tak urung membuatku tertawa terbahak-bahak.
Namun rupanya kini aku justru harus menyimpan kenangan itu ke dalam koper di kepalaku rapat-rapat. Bahkan mungkin dibutuhkan beberapa kali lilitan borgol agar aku tidak kembali membukanya. Ah, bagaimana tidak jika aku masih mengahafal kalimat saat kau menemuiku beberapa waktu yang lalu, “Perkenalkan, Roney. Dia Leonel, kekasihku. Sebagai teman dekatku, kau tentu harus juga mengenalnya.”
Kau tahu, Aleya saat kau mengatakan kalimat itu dengan segenap kejujuranmu padaku mengenai lelaki yang menjadi kekasihmu itu, kepalaku mendadak panas dan benar-benar ingin meledak. Melebihi ledakan bom di Hiroshima, mungkin. Betapa dada ini mendebum terlampau keras, ingin sekali rasanya berteriak sekuat-kuatnya. Semata-mata agar kau tahu, Aleya. Betapa aku menunggu apa yang kau katakan tentang Leonel kekasihmu itu. Ya, tentu saja aku ingin menjadi kekasihmu, Aleya.
Aleya, betapa aku harus merelakan diriku pada kutipan omong kosong, “Cinta tak harus memiliki”. Aku benar-benar merasa bodoh sekaligus gila jika harus mempercayainya. Namun demikianlah adanya, aku memang harus mempercayainya. Sudah pasti sesal itu ada, kenapa dulu aku tak berterus terang kepadamu tentang segala perasaanku padamu meskipun pahit yang harus kuterima?. Dan kenapa kau harus bertemu Leonel? Bukankah kita telah sama-sama saling mengenal sebelum Leonel mengenalmu? Ah, memang tak ada gunanya aku menyalahkan sesal yang selalu datang belakangan. Namun aku benar-benar menyesal, mungkin kau harus tahu tentang ini.
Tanpa pernah diduga sebelumnya, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Aku berdiri persis di dekat jendela. Kutuliskan namamu pada kaca yang berembun akibat cipratan air hujan—Aleya. Wajahmu yang teduh, senyum yang mengembang dengan lesung di pipi yang begitu manis, serta perwatakanmu yang selalu ceria. Ah, betapa kau memang sangat susah untuk dihapus begitu saja. Aku bahkan tak mengerti, meski bagaimana lagi untuk bisa melupakanmu. Entah, apakah kemudian aku mampu membuka hati untuk wanita lain, atau aku akan terus mempertahankan rasa ini padamu. Namun rasanya sangat gila, bukan? Perlahan mataku mulai basah oleh genang air mata. Lagi-lagi aku menyesali perasaan ini. Aku menyesal mengenalmu? Rasanya tidak. Aku hanya menyesal kenapa mesti mencintaimu. Tapi jangan kau pikir aku lelaki yang lemah. Yang kualami ini bisa saja menimpa siapapun. Kau dengar? Siapapun. Termasuk juga lelaki sepertiku.
Perlahan kubuka lilitan borgol koper yang tersimpan rapi di kepalaku. Kukatakan, aku memang rindu! Betapa aku sangat kaget saat itu, satu per satu isi di dalamnya mengeluarkan diri dengan sendirinya, tanpa kuperintahkan sedikitpun. Lembaran album, buku harian, bermacam bungkusan kado, serta berbagai perangkat lainnya. Lalu mereka berjalan di depanku, mengelilingi tubuhku, menari-nari dengan indahnya, dan membawaku pada kenangan kesekian. Ah, lagi-lagi bersamamu, Aleya. Butuh beberapa waktu untuk mengingat semuanya. Namun tiba-tiba aku terbangun. Semua isi dari dalam koper itu terburai, lalu menghilang begitu saja. Ini masih pukul 02.35 dini hari, di kamarku yang kurancang sedemikian rupa agar aku merasa nyaman berada di dalamnya. Mengingat beberapa waktu belakangan ini aku sering merasa asing di dalam rumahku sendiri. Kata mereka yang sering menganggapku gila itu, aku sering melamun sendiri, berjalan sendiri, bercakap, tertawa, bakan menangis sendiri. Ya, itu benar. Namun itu kulakukan semata-mata agar aku mampu mengenal diriku yang dulu, setelah diriku terlalu banyak dimasuki wanita itu. Maka aku memang sedang ingin sendiri.
Di luar sana masih hujan. Aku sendirian di rumahku sendiri. Kau pasti bertanya di mana keluargaku, kakak, atau mungkin saja adikku? Baiklah, mereka baik-baik saja di rumah mereka sendiri. Kau berpikir aku egois karena membiarkan mereka tetap menempati rumah mereka sendiri? Kau salah, aku sudah membujuk mereka untuk ikut serta bersamaku. Menempati rumah yang kini kutempati sendiri ini. Namun rupanya mereka tak mudah dibujuk begitu saja, dengan alasan mereka tak mau merepotkanku. Kau dengar, mereka sangat peduli padaku. Oke, itu tak masalah. Aku tetap menyempatkan waktu untuk mengunjungi mereka, karena memang tak ada yang lebih menyenangkan daripada berkumpul bersama keluarga.
Someone Like You berulangkali mengalun dengan lembut. Lagu itu memang yang semestinya aku putar berulang kali dengan jarak yang tak terpaut jauh dari gendang telingaku. Memasangnya di ponsel saat ada yang tiba-tiba menelepon, mengatur sebagai nada alarm, atau mungkin sekedar lagu yang kustel saat aku tengah merampungkan pekerjaanku. Dengan begitu hatiku akan kembali menempatkan diri ke tempat yang semestinya.
Aku melihatmu, Aleya. Emm, bukan. Maksudku, aku melihat seseorang yang hampir sama sepertimu. Cara dia berjalan, senyum, makan, dan berbicara sangat mirip denganmu. Bahkan kalau aku tak salah ingat, dia begitu hafal makanan kesukaanku, jam tidurku, jam kerjaku, kebiasaanku setiap pagi, bahkan dia tahu betul tentang sesuatu yang belum pernah kutahu sebelumnya. Nanti kau pasti akan kaget bila kuceritakan siapa orang itu, orang yang mirip denganmu. Nanti dulu, hampir setiap hari ia menemaniku, kemanapun. Namun aku tak yakin kau kan menyukainya, bukan karena kau tak suka ada yang menyamaimu, tapi karena ternyata dia adalah kau yang kuciptakan dari diriku sendiri, lalu setiap pagi aku akan lebih gemar mengatakan pada diriku sendiri “Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”.
*Judul puisi Sapardi Djoko Damono