Cerpen Fina Lanahdiana (Suara Merdeka, 1 Desember 2013)
Epaper - Suara Merdeka |
Aku terdampar. Kepalaku terjepit--terbenam ke dalam sebuah
benda. Benda ini tipis, keras dan memiliki daya hisap yang sangat kuat.
Bagaimana tidak, kepala saja bisa terperangkap dengan mudahnya. Sial! Mulutku mengumpat.
Aku jadi mengingat mesin penghisap debu yang biasa
digunakan pembantuku untuk membersihkan rumah. Ya, tentu saja aku mempunyai
pembantu. Anak-anakku ada tiga, sementara istriku sibuk dengan jamnya sendiri.
Dulu sekali , sekitar lima belas tahun yang lalu aku
menikah dengan seorang perempuan penyuka aroma kopi. Aku tak tahu benar apa
yang membuatnya tergila-gila dengan kopi. Tapi dia pernah sedikit bercerita
kepadaku, bahwa harum kopi yang asapnya masih mengepul itu bisa membawanya
ringan, melayang-layang, terbang bebas seperti kapas yang diterbangkan angin. Bebas.
Begitulah mungkin yang menyebabkannya lebvih suka menikmati dunianya sendiri.
Tidak lama, tiga bulan kemudian istriku hamil dan
melahirkan anak pertama. Berjarak dua tahun saja kami kembali dianugerahi dua
anak sekaligus yang juga kembar. Lalu kami kebingungan, istriku menyarankan
untuk mencari pembantu.
“Kita hanya perlu membayar mereka, Pa. semuanya akan
beres,” katanya di sela percakapan kami.
“Tapi …”
“Aku sudah membeli alat penghisap debu yang mahal dan
berkualitas baik. Tenang, semua akan baik-baik saja. Rumah kita akan selalu
bersih.”
Kembali lagi ke cerita awal. Pelan-pelan seluruh
tubuhku terhisap, bergerak dengan cepat seperti meteor yang melintasi bumi.
Kautahu debu, kan? Ia hanya sekumpulan partikel kecil
yang mengganggu. Memang sudah sepantasnya dituntaskan. Tapi aku? Ah, entahlah
tapi aku bukan debu. Aku terhisap ke dalam sebuah buku.
***
Aku berjalan di sebuah jam dinding. Hei, aku berada di
sebuah ruangan yang dipenuhi cahaya. Disana ada sepasang meja kursi yang tampak
begitu sibuk. Seseorang sedang serius memegangi kepalanya dengan tangan kiri.
Tangan kanannya menjepit pulpen diantara jari-jari. Aku terkesiap.
Aku melihatnya. Dia yang pernah aku kenal, dia yang
ada di beberapa koleksi perpustakaan pribadiku. Aku masih berdiri dan terus
memandanginya, sementara pria itu belum juga menyadari kehadiranku yang
tiba-tiba.
“Permisi, Pak.”
“Hei, Mario. Masuklah! Kau akan banyak menghabiskan
energimu jika tetap berdiri disana.”
Kau dengar, kan. Pria itu mengetahui namaku. Ah, mungkin saja
telingaku salah.
“Bolehkah aku bertanya?”
“Tentu saja, bertanyalah!”
“Ini tempat apa? Aku dimana?”
Pria yang tampak sudah tidak lagi berusia muda itu
malah tertawa, aku semakin bingung.
“Kau kenapa? Apa yang terjadi?”
Aku merasa bodoh dan lucu mendengar pertanyaannya.
“Tentu saja aku ada di … mana?” aku mengulanginya
sekali lagi dengan tergesa.
“Kau benar-benar lupa?”
“Ya, mungkin. Dan kau, aku seperti pernah mengenalmu,
tapi tidak disini.”
Pria itu tertawa sekali lagi.
“Tentu saja kau mengenalku, Mario,” Ia menyebut namaku
sekali lagi, “duduklah dulu!” ia masih saja mencoret-coret kertas yang ada di
hadapannya. Lumayan menumpuk.
Aku menyeret kakiku ke arahnya, kemudian duduk di
salah satu kursi kosong yang ada di hadapannya. Pria itu berulang membetulkan
dasi kupu-kupunya.
“Sudah ingat?” aku hanya menggelengkan kepala.
“Kau Thomas Alva Edison. Aku mengoleksi banyak buku
tentangmu. Tapi bagaimana kau bisa tahu namaku? Dan bukankah Anda sudah …”
“Bagaimana hasil ujianmu?” ia tidak menjawab
pertanyaanku.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini konyol sekali.
Aku yakin ini pasti mimpi. Kutampar pipiku, dan ini sakit. Tidak seperti
mimpi. Aku seperti orang gila yang belum
sembuh dari amnesia dipenuhi dengan tanda tanya besar melebihi ukuran kepalaku.
Suasana hening. Mataku berputar mengelilingi ruangan.
Ini terlihat seperti sebuah laboratorium kimia dengan segala perlengkapannya.
“Tiga hari berada di perpustakaan membuatmu melupakan
banyak hal. Ajaib, betapa buku-buku itu penuh dngan kekuatan magis,” timpalnya.
“Pak …” ia sedikit meluruskan pandangannya ke arahku.
Matanya tampak seperti tengah menyelidik, “bagaimana mungkin aku ada di
perpustakaan? Sebelum ini aku ada di rumah, dan tiba-tiba aku sudah ada di
tempat ini. Aku terhisap ke dalam buku.”
“Kau mendapat hukuman untuk mencari referensi di
perpustakaan karena kau tertangkap sedang menyontek saat ujian bersama beberapa
temanmu.”
Aku tidak terlalu yakin menyimpulkan bahwa diriku
adalah muridnya. Bahkan aku tak pernah tahu ia pernah menjadi guru, dosen,
ataupun tenaga pengajar lain di buku sejarah biografi tentangnya. Atau mungkin
aku yang lupa. Ah!.
“Lalu istri dan anak-anakku?”
Pria itu menghentikan tangannya menulis pada
helai-helai kertas di atas meja kerjanya.
“Kau pemimpi.”
“Mimpi apa?”
“Memiliki istri dan anak.”
“Tidak, aku sungguh-sungguh. Tadi aku di rumah,
menyaksikan istriku berangkat kerja, juga anak-anakku pergi ke sekolah.”
“Kau penghayal yang baik,” pria itu tergelak sekali
lagi.
“Aku tidak bohong!”
“Ah, sudahlah. Kerjakan tugasmu. Sampaikan juga pada
teman-temanmu. Aku tunggu sampai besok,”
“Baiklah. Sekarang aku sudah boleh keluar?”
“Silakan.”
***
Aku berjalan
ke arah pintu masih dalam keadaan bingung. Seseorang hampir saja menabrakku. Ia
seorang wanita bertubuh tinggi dan kurus. Matanya agak sipit, rambutnya cokelat
sebahu dengan belahan sebelah kiri. Dari gaya dia bicara, kami seperti sudah
akrab.
“Bagaimana,
Mario?”
“Apa?”
“Tugas.”
“Membaca dan
merangkumnya. Setelah itu kau diminta merancang sesuatu untuk sebuah percobaan.”
“Hanya itu?”
“Kau bilang
hanya?”
“Haha. Aku tidak
sungguh-sungguh. Itu bahkan tugas yang rumit untuk mahasiswa tahun pertama
seperti kita.”
“Sudah?”
“Mau
kemana?”
“Entahlah.”
“Kau bodoh
sekali.”
Wanita itu
tertawa seperti yang dilakukan pria yang kukira mirip ilmuwan dalam beberapa
buku koleksiku, Thomas Alva Edison.
“June …”
Wanita itu memanjangkan
lehernya ke depan—ke arahku. Matanya bulat, hanya beberapa inci dari wajahku.
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menyebut kata itu. Nama wanita itu June.
“Kau
mencintaiku?” June seperti sedang meledekku.
“Tidak. Aku
sudah punya anak dan istri,”
“Kau gila.”
Aku hanya
mengedikkan bahu kemudian berlalu meninggalkan wanita—yang mulutku memanggilnya
June— tiba-tiba suaranya kencang sekali memekikkan telingaku.
“Nanti kita
bertemu di kereta!”
Aku masih
memacu langkah tanpa benar-benar tahu apa yang dikatakan June. Hei, kereta?
Untuk apa?
***
Setengah jam
berlalu, aku berjalan menyusuri lorong-lorong gedung ini. Gedung yang tampak
raksasa jika dibandingkan dengan rumahku yang biasa-biasa saja; hanya memiliki
halaman seluas 144 meter persegi dengan sedikit pepohonan dan bangku hingga
berbentuk menyerupai taman. Tidak ada siapa-siapa di koridor panjang gedung ini.
Suara sepatu seperti melayang-layang di belakang telinga.
Tiba di
stasiun, mataku berjalan ke segala arah. Aku menunggu seseorang. Ya, seorang
wanita yang kupanggil June.
Di depan
pintu sebuah kereta, aku melihat June melambaikan tangannya. Kepalanya menyembul,
tangannya yang lain menggantung di langit-langit gerbong.
Aku telah
berada di atas kereta yang kini sedang berjalan dari Port Huron ke Detroit,
duduk berhadapan dengan June.
“Untuk apa
kau membawaku kesini?”
“Nanti kau
akan tahu,”
“Kau tidak sedang ingin memaksaku untuk menikah, kan?”
aku meledek June.
June memukul
kepalaku menggunakan gulungan kertas tugasnya. Kemudian ia menyerahkan tumpukan
surat kabar Week Herald ke tanganku.
“Kita akan
menjual ini,”
“Di kereta?”
“Iya.”
Tiba-tiba
terdengar suara ledakan sangat keras. Jantungku seperti hendak melompat keluar
dari tubuhku.
“Kau dengar
itu, June?”
“Ya, sesuatu
pasti sedang terjadi.”
Kami
menelusuri gerbong, mencari arah suara ledakan yang mengerikan itu. Kami bertemu
dengan seorang kondektur, ia mengabarkan ada seorang pria yang terlempar dari
kereta, tepat di Smiths Creek, Michigan ini karena gagal melakukan percobaan
kimianya. Kondektur itu juga menambahkan, pria itu tidak boleh lagi melakukan
eksperimen dalam kereta. Dan kukira pria yang malang itu pasti sudah mati.
***
Sepersekian
detik berikutnya aku terjatuh begitu saja di ruang tengah—menerobos sebuah
jendela. Istriku kaget dan segera menghampiriku. Hebatnya tubuhku tidak terluka
sedikitpun, padahal kaca jendela berserakan di lantai.
“Darimana saja
tiga hari ini, Pa?”
“Kau
bercanda, sayang. Aku tidak kemana-mana.”
Aku bangkit
dari posisi tubuh yang tersungkur, kemudian bergabung bersama istri dan
anak-anakku menyantap sarapan di meja makan dengan menu omelet bertabur keju,
roti tawar dengan olesan selai kacang, dan segelas susu segar hangat yang
disiapkan oleh pembantuku—tanpa mandi terlebih dahulu.
Terdengar
ketukan pintu, istriku berjalan keluar untuk mengetahui tamu yang berkunjung
sepagi ini. Pembantuku masih sibuk.
“Saya ingin
bertemu Mario.”
Suara serak
seorang pria tua menyapa dengan sopan. Ia melongokkan kepala dari seberang
sebuah jendela tanpa kaca.
Istriku
segera membuka pintu dan menyuruhku untuk menemuinya.
“Seperti
yang kubilang, kau penghayal yang baik, Mario.”
Mulutku
membentuk lingkaran menyerupai huruf ’o’—pria yang kukira sudah mati itu kini
sedang berkunjung ke rumahku.
Oktober, 2013