6 Desember 2013

Di Luar Jendela (Suara Merdeka, 1 Desember 2013)

Cerpen Fina Lanahdiana (Suara Merdeka, 1 Desember 2013)


Epaper - Suara Merdeka

Aku terdampar. Kepalaku terjepit--terbenam ke dalam sebuah benda. Benda ini tipis, keras dan memiliki daya hisap yang sangat kuat. Bagaimana tidak, kepala saja bisa terperangkap dengan mudahnya. Sial! Mulutku mengumpat.
Aku jadi mengingat mesin penghisap debu yang biasa digunakan pembantuku untuk membersihkan rumah. Ya, tentu saja aku mempunyai pembantu. Anak-anakku ada tiga, sementara istriku sibuk dengan jamnya sendiri.
Dulu sekali , sekitar lima belas tahun yang lalu aku menikah dengan seorang perempuan penyuka aroma kopi. Aku tak tahu benar apa yang membuatnya tergila-gila dengan kopi. Tapi dia pernah sedikit bercerita kepadaku, bahwa harum kopi yang asapnya masih mengepul itu bisa membawanya ringan, melayang-layang, terbang bebas seperti kapas yang diterbangkan angin. Bebas. Begitulah mungkin yang menyebabkannya lebvih suka menikmati dunianya sendiri.
Tidak lama, tiga bulan kemudian istriku hamil dan melahirkan anak pertama. Berjarak dua tahun saja kami kembali dianugerahi dua anak sekaligus yang juga kembar. Lalu kami kebingungan, istriku menyarankan untuk mencari pembantu.
“Kita hanya perlu membayar mereka, Pa. semuanya akan beres,” katanya di sela percakapan kami.
“Tapi …”
“Aku sudah membeli alat penghisap debu yang mahal dan berkualitas baik. Tenang, semua akan baik-baik saja. Rumah kita akan selalu bersih.”
Kembali lagi ke cerita awal. Pelan-pelan seluruh tubuhku terhisap, bergerak dengan cepat seperti meteor yang melintasi bumi.
Kautahu debu, kan? Ia hanya sekumpulan partikel kecil yang mengganggu. Memang sudah sepantasnya dituntaskan. Tapi aku? Ah, entahlah tapi aku bukan debu. Aku terhisap ke dalam sebuah buku.
***
Aku berjalan di sebuah jam dinding. Hei, aku berada di sebuah ruangan yang dipenuhi cahaya. Disana ada sepasang meja kursi yang tampak begitu sibuk. Seseorang sedang serius memegangi kepalanya dengan tangan kiri. Tangan kanannya menjepit pulpen diantara jari-jari. Aku terkesiap.
Aku melihatnya. Dia yang pernah aku kenal, dia yang ada di beberapa koleksi perpustakaan pribadiku. Aku masih berdiri dan terus memandanginya, sementara pria itu belum juga menyadari kehadiranku yang tiba-tiba.
“Permisi, Pak.”
“Hei, Mario. Masuklah! Kau akan banyak menghabiskan energimu jika tetap berdiri disana.”
Kau dengar, kan. Pria itu mengetahui namaku. Ah, mungkin saja telingaku salah.
“Bolehkah aku bertanya?”
“Tentu saja, bertanyalah!”
“Ini tempat apa? Aku dimana?”
Pria yang tampak sudah tidak lagi berusia muda itu malah tertawa, aku semakin bingung.
“Kau kenapa? Apa yang terjadi?”
Aku merasa bodoh dan lucu mendengar pertanyaannya.
“Tentu saja aku ada di … mana?” aku mengulanginya sekali lagi dengan tergesa.
“Kau benar-benar lupa?”
“Ya, mungkin. Dan kau, aku seperti pernah mengenalmu, tapi tidak disini.”
Pria itu tertawa sekali lagi.
“Tentu saja kau mengenalku, Mario,” Ia menyebut namaku sekali lagi, “duduklah dulu!” ia masih saja mencoret-coret kertas yang ada di hadapannya. Lumayan menumpuk.
Aku menyeret kakiku ke arahnya, kemudian duduk di salah satu kursi kosong yang ada di hadapannya. Pria itu berulang membetulkan dasi kupu-kupunya.
“Sudah ingat?” aku hanya menggelengkan kepala.
“Kau Thomas Alva Edison. Aku mengoleksi banyak buku tentangmu. Tapi bagaimana kau bisa tahu namaku? Dan bukankah Anda sudah …”
“Bagaimana hasil ujianmu?” ia tidak menjawab pertanyaanku.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini konyol sekali. Aku yakin ini pasti mimpi. Kutampar pipiku, dan ini sakit. Tidak seperti mimpi.  Aku seperti orang gila yang belum sembuh dari amnesia dipenuhi dengan tanda tanya besar melebihi ukuran kepalaku.
Suasana hening. Mataku berputar mengelilingi ruangan. Ini terlihat seperti sebuah laboratorium kimia dengan segala perlengkapannya.
“Tiga hari berada di perpustakaan membuatmu melupakan banyak hal. Ajaib, betapa buku-buku itu penuh dngan kekuatan magis,” timpalnya.
“Pak …” ia sedikit meluruskan pandangannya ke arahku. Matanya tampak seperti tengah menyelidik, “bagaimana mungkin aku ada di perpustakaan? Sebelum ini aku ada di rumah, dan tiba-tiba aku sudah ada di tempat ini. Aku terhisap ke dalam buku.”
“Kau mendapat hukuman untuk mencari referensi di perpustakaan karena kau tertangkap sedang menyontek saat ujian bersama beberapa temanmu.”
Aku tidak terlalu yakin menyimpulkan bahwa diriku adalah muridnya. Bahkan aku tak pernah tahu ia pernah menjadi guru, dosen, ataupun tenaga pengajar lain di buku sejarah biografi tentangnya. Atau mungkin aku yang lupa. Ah!.
“Lalu istri dan anak-anakku?”
 Pria itu menghentikan tangannya menulis pada helai-helai kertas di atas meja kerjanya.
“Kau pemimpi.”
“Mimpi apa?”
“Memiliki istri dan anak.”
“Tidak, aku sungguh-sungguh. Tadi aku di rumah, menyaksikan istriku berangkat kerja, juga anak-anakku pergi ke sekolah.”
“Kau penghayal yang baik,” pria itu tergelak sekali lagi.
“Aku tidak bohong!”
“Ah, sudahlah. Kerjakan tugasmu. Sampaikan juga pada teman-temanmu. Aku tunggu sampai besok,”
“Baiklah. Sekarang aku sudah boleh keluar?”
“Silakan.”
***
            Aku berjalan ke arah pintu masih dalam keadaan bingung. Seseorang hampir saja menabrakku. Ia seorang wanita bertubuh tinggi dan kurus. Matanya agak sipit, rambutnya cokelat sebahu dengan belahan sebelah kiri. Dari gaya dia bicara, kami seperti sudah akrab.
            “Bagaimana, Mario?”
            “Apa?”
            “Tugas.”
           “Membaca dan merangkumnya. Setelah itu kau diminta merancang sesuatu untuk sebuah percobaan.”
            “Hanya itu?”
            “Kau bilang hanya?”
        “Haha. Aku tidak sungguh-sungguh. Itu bahkan tugas yang rumit untuk mahasiswa tahun pertama seperti kita.”
            “Sudah?”
            “Mau kemana?”
            “Entahlah.”
            “Kau bodoh sekali.”
            Wanita itu tertawa seperti yang dilakukan pria yang kukira mirip ilmuwan dalam beberapa buku koleksiku, Thomas Alva Edison.
            “June …”
            Wanita itu memanjangkan lehernya ke depan—ke arahku. Matanya bulat, hanya beberapa inci dari wajahku. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menyebut kata itu. Nama wanita itu June.
            “Kau mencintaiku?” June seperti sedang meledekku.
            “Tidak. Aku sudah punya anak dan istri,”
            “Kau gila.”
            Aku hanya mengedikkan bahu kemudian berlalu meninggalkan wanita—yang mulutku memanggilnya June— tiba-tiba suaranya kencang sekali memekikkan telingaku.
            “Nanti kita bertemu di kereta!”
            Aku masih memacu langkah tanpa benar-benar tahu apa yang dikatakan June. Hei, kereta? Untuk apa?
***
            Setengah jam berlalu, aku berjalan menyusuri lorong-lorong gedung ini. Gedung yang tampak raksasa jika dibandingkan dengan rumahku yang biasa-biasa saja; hanya memiliki halaman seluas 144 meter persegi dengan sedikit pepohonan dan bangku hingga berbentuk menyerupai taman. Tidak ada siapa-siapa di koridor panjang gedung ini. Suara sepatu seperti melayang-layang di belakang telinga.
            Tiba di stasiun, mataku berjalan ke segala arah. Aku menunggu seseorang. Ya, seorang wanita yang kupanggil June.
            Di depan pintu sebuah kereta, aku melihat June melambaikan tangannya. Kepalanya menyembul, tangannya yang lain menggantung di langit-langit gerbong.
            Aku telah berada di atas kereta yang kini sedang berjalan dari Port Huron ke Detroit, duduk berhadapan dengan June.
            “Untuk apa kau membawaku kesini?”
            “Nanti kau akan tahu,”
“Kau tidak sedang ingin memaksaku untuk menikah, kan?” aku meledek June.
            June memukul kepalaku menggunakan gulungan kertas tugasnya. Kemudian ia menyerahkan tumpukan surat kabar Week Herald ke tanganku.
            “Kita akan menjual ini,”
            “Di kereta?”
            “Iya.”
       Tiba-tiba terdengar suara ledakan sangat keras. Jantungku seperti hendak melompat keluar dari tubuhku.
            “Kau dengar itu, June?”
            “Ya, sesuatu pasti sedang terjadi.”
          Kami menelusuri gerbong, mencari arah suara ledakan yang mengerikan itu. Kami bertemu dengan seorang kondektur, ia mengabarkan ada seorang pria yang terlempar dari kereta, tepat di Smiths Creek, Michigan ini karena gagal melakukan percobaan kimianya. Kondektur itu juga menambahkan, pria itu tidak boleh lagi melakukan eksperimen dalam kereta. Dan kukira pria yang malang itu pasti sudah mati.
***
            Sepersekian detik berikutnya aku terjatuh begitu saja di ruang tengah—menerobos sebuah jendela. Istriku kaget dan segera menghampiriku. Hebatnya tubuhku tidak terluka sedikitpun, padahal kaca jendela berserakan di lantai.
            “Darimana saja tiga hari ini, Pa?”
            “Kau bercanda, sayang. Aku tidak kemana-mana.”
            Aku bangkit dari posisi tubuh yang tersungkur, kemudian bergabung bersama istri dan anak-anakku menyantap sarapan di meja makan dengan menu omelet bertabur keju, roti tawar dengan olesan selai kacang, dan segelas susu segar hangat yang disiapkan oleh pembantuku—tanpa mandi terlebih dahulu.
            Terdengar ketukan pintu, istriku berjalan keluar untuk mengetahui tamu yang berkunjung sepagi ini. Pembantuku masih sibuk.
            “Saya ingin bertemu Mario.”
            Suara serak seorang pria tua menyapa dengan sopan. Ia melongokkan kepala dari seberang sebuah jendela tanpa kaca.
            Istriku segera membuka pintu dan menyuruhku untuk menemuinya.
            “Seperti yang kubilang, kau penghayal yang baik, Mario.”
        Mulutku membentuk lingkaran menyerupai huruf ’o’—pria yang kukira sudah mati itu kini sedang berkunjung ke rumahku.


Oktober, 2013