25 Februari 2015

Cerpen Republika (22 Februari 2015)

Daun Pintu
Fina Lanahdiana

Pintu itu adalah sebuah batas yang hanya segaris kabut tipis tak berdinding. Siapa pun yang menyentuhnya bisa melampaui, meskipun ia sebatas melangkahkan satu kaki atau pun sentuhan sebuah jari telunjuk.
            Cahaya mengerucut biru, memanjang dan terhampar memantulkan bayang-bayang sebuah pintu berukuran raksasa yang berdiri tegak, teramat pongah bagai seorang raja yang gemar menepuk dan membusungkan dada di hadapan rakyat-rakyatnya yang jelata.
            Zaid bermuka masam. Langkahnya ling-lung dan gusar. Perangainya seolah bocah yang tersesat di dalam belantara hutan tanpa ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Matanya menyisir keadaan sekitar, gelap dan senyap, kecuali cahaya di hadapannya yang menyerupai lorong menuju entah.
            “Apakah aku bermimpi?”
            “Tidak, Zaid. Kau tidak sedang bermimpi.”
            “Siapa kau?”
            “Pintu.”
            Kaki Zaid melangkah mundur. Telapak tangannya bereaksi spontan hendak menutup mulut dan wajahnya, dan kembali cemas. Tubuhnya berkeliling, mencari sesuatu yang barangkali adalah jalan keluar menuju rumah atau kantornya.
            “Aku ... aku harus mengajar murid-muridku. Ini jam berapa?”
            “Kau tak butuh mengajar, dan juga tak butuh jam. Diamlah bersamaku di sini.”
            “Tapi untuk apa?”
            “Bersabarlah sebentar.”
            “Kumohon, jangan permainkan aku.”
            “Tak ada permainan di sini. Segalanya berlangsung dengan serius dan sungguh-sungguh.”
            Kabut itu, yang terkena sorotan cahaya biru, segera menghilang. Wajah Zaid berwarna cerah. Cemasnya segera berganti air muka yang berseri-seri.
            Di hadapannya yang jauh tapi masih terjangkau, pepohonan hijau, bukit-bukit, serta bunga-bunga menghampar—berwarna-warni—melambangkan bahagia yang abadi. Seketika ia ingin lari menyerupai kuda pacu yang mengenakan kaca mata kuda hingga tak bisa ia lihat pemandangan di sebelah kanan dan kirinya.
            “Tunggu!”
            Kaget. Kakinya berhenti. Pintu yang hanya berjarak sejengkal itu terasa sangat jauh dalam upaya-upaya yang ia lakukan. Tangannya seolah menjadi pendek, sangat pendek hingga ia hanya bisa menggapai-gapai udara kosong.
            Tak ingin hirau, kakinya dipaksa dengan seretan yang berat hingga menghasilkan suara sruk-sruk. Namun yang terjadi bahwa kakinya tak beranjak dari tempatnya semula. Lantas terasa kaku, mengeras seperti patung yang tak henti dipahat pengrajinnya. Tubuhnya semakin berat dan berat. Kadang-kadang ia membayangkan dirinya sebuah pion catur yang sedang dilakonkan seseorang.
            Zaid merasakan sebuah sengatan. Tidak terlalu dahsyat, namun cukup membuat dadanya terlonjak dan tubuhnya terpental. Herannya semakin menjadi. Ia ingin memaksa langkah, lagi dan lagi.
            “Apa ini?”
***
            “Ustaz, apakah surga itu ada? Seperti apa rupanya?” tanya salah seorang murid Zaid di kelasnya pada saat jam pelajaran Agama.
            “Tentu, tentu. Allah telah menjanjikannya bagi siapa saja yang mengamalkan kebaikan serta menjauhi larangannya.”
            Murid tersebut—yang merupakan salah satu murid yang diperhitungkan kepandaiannya—mengangguk lantas menggoreskan sesuatu di permukaan buku catatannya. Terlihat sangat serius bagi seorang bocah kelas 4 Sekolah Dasar.
            “Kalau begitu aku ingin menjadi seperti Ustaz saja. Biar bisa bermanfaat bagi banyak orang. Ayah dan ibuku pasti sangat bahagia.”
            “Bagus, Nak. Cita-cita yang mulia.”
            Jam pelajaran habis, dan keduanya terpisah.
            Aktivitas harian Zaid begitu padat. Ia tak cukup mengajar pada satu sekolah, belum lagi mengajar mengaji di rumah—setiap hari pada malam hari selepas magrib—belum lagi diundang sebagai penceramah pada acara keagamaan semisal peringatan Isra' Mi'raj, Maulid Nabi, atau acara-acara lain yang sejenis. Terkadang ia sendiri lupa makan, lupa minum, lupa tidur, dan lupa menjaga kesehatannya sendiri. Pokoknya ia rela melakukan apa saja demi berbagi ilmu kepada orang lain.
            Begitu banyak yang mengelu-elukan kehadirannya menguraikan barang satu atau dua potong ayat Al-Quran atau Hadits yang kata orang-orang begitu menentramkan. Kadang-kadang di sela ceramahnya ia menyelipkan senandung atau shalawat yang begitu merdu, begitu sejuk di dalam dada orang-orang serupa tetesan embun yang turun, membasahi rumput dan daun-daun—luruh.
            Oleh sebab karakternya yang berkharisma itulah, para jamaahnya begitu segan saat berhadapan dengannya. Di antara mereka tak jarang yang mencium tangan: sungkem, bahkan berjalan membungkuk yang kadang-kadang mengesankan sikap patuh yang berlebihan.
            Namun ia begitu nyaman menikmati segala puji dan puja yang ditimpakan kepadanya sebagai kebahagiaan—bahkan kebanggaan—meskipun dengan alasan mengajarkan amar ma'ruf nahi mungkar.
            Ia memiliki dua orang anak yang masih berusia tiga dan lima tahun, yang begitu ia sayangi, ia cintai, dan ia beri perhatian penuh. Demikian pula ia perlakukan istrinya sebagai perhiasan yang akan dengan sangat hati-hati ia sentuh agar tak mudah terurai dan patah.
            Siapa saja yang menyaksikan keharmonisan keluarganya akan merasa takjub dan penasaran, bagaimana cara-cara yang tepat untuk menjaga hubungan agar selalu berisi tawa dan bahagia.
***
            “Senang sekali ya sepertinya jika menjadi istri Ustaz Zaid. Ia begitu hati-hati menjaga diri dari perempuan lain. Dan anak-anaknya pun ia turuti segala keinginan dan kebutuhannya. Mereka beruntung sekali ya.”
            “Kamu benar. Beruntung sekali mereka.”
            “Kalau kamu dipinang jadi istrinya mau?”
            “Hussy. Ngomong apa sih kamu. Nggak baik bilang begitu.”
            “Kan hanya misal saja. Tanggapanmu serius sekali. Atau jangan-jangan ...” Surti menggoda Ida, temannya di perkumpulan ibu-ibu PKK.
***
            Demikianlah cara orang-orang mengenang kebaikan Zaid. Ia yang hidup dan dikenal sebagai ustaz. Terlalu banyak di antara mereka yang merasa beruntung telah mendengarkan tausiyahnya, bahkan menyimpan video rekaman dan mengunggahnya ke situs you tube atau hanya sekadar dokumentasi pribadi. Sama-sama melahirkan kesan mendalam.
            Tak ada seorang pun yang tidak terkejut ketika speaker masjid menggaungkan kabar duka. Menyebut-nyebut nama Zaid sebanyak tiga kali. Suara yang demikian runcing dan ganjil dan hening. Sebab beberapa jam sebelumnya, ia masih begitu sehat dan sempat menghadiri sebuah pengajian menyambut tahun baru Hijriyah.
            Jantung. Penyakit itulah yang tersiar sebagai penyebab meninggalnya Zaid yang tiba-tiba hingga memunculkan spekulasi yang beragam tapi seragam. Rata-rata di antara mereka menyebut Zaid sebagai penghuni surga seolah ia hidup tanpa memiliki celah keburukan. Orang-orang menangisi rasa kehilangan mereka. Menyesali tubuh Zaid yang direnggut serangan jantung.
***
            Masih dengan napas payah, Zaid bangkit dan menguasai diri.
            “Ada apa gerangan? Kenapa tubuhku selalu gagal melintasi garis tipis yang serupa kabut itu? Serupa aku adalah barang najis yang sepantasnya dibuang. Tidakkah kau tahu amalan-amalan baikku? Tidakkah kau tahu betapa banyak pengikutku?"
            “Benar. Kamu telah melalukan amalan-amalan baik dan kamu luruskan mereka yang tersesat kembali ke jalan yang diridhoi Allah.”
            “Lantas?”
            Diam.
            Zaid kembali merasa dipermainkan.
            Tiba-tiba Zaid mengenali seorang perempuan yang berjalan dengan sangat ringan. Bagai tiada beban yang memberatkan langkahnya. Padahal Zaid tahu perempuan itu melakukan dosa yang besar: menyiksa dan mencoba membunuh anak-anaknya.
Zaid mengetahui itu ketika pada sebuah siang yang terik, perempuan itu datang menghadap ke rumahnya. Ia meminta cara-cara agar terbebas dari dosa, sebab telah menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak akan pernah mengembalikan suaminya yang telah meninggal. Demikianlah, alasan perempuan itu selalu berupaya untuk membunuh anak-anaknya karena keadaan ekonomi keluarganya yang semakin payah, sebab pekerjaannya hanyalah seorang buruh cuci langganan tetangga-tetangganya. Namun jika ditanya alasannya menganiaya anak-anaknya, ia selalu menjawab bahwa di dalam mimpinya ada seseorang yang meminta agar ia membunuh anak-anaknya. Tentu saja itu alasan yang dibuat-buat. Lalu saat itulah ia berjanji hendak menata diri dan memilih menitipkan anak-anaknya pada eyangnya. Itu barangkali cara yang lebih baik. Maka pada saat ia membuat pengakuan, ia meminta agar tidak dilaporkan kepada siapa pun, termasuk Pak RT atau pihak kepolisian.
            Mata Zaid membola bagai hendak jatuh dari kelopaknya.
            “Kau mengenal perempuan itu?”
            “Aku mengenalnya.”
          “Ia bertobat,  mendengarkan segala ajaranmu dan mengamalkannya. Memohon ampun hingga ajalnya. Sementara kau terlalu sibuk menuding orang lain sebagai penghuni neraka, menyalahkan apa saja yang berseberangan dengan ajaranmu, dan kau sendiri lupa dengan segala hal yang keluar dari ucapan-ucapanmu.”
            Lemas, sesak. Zaid kehilangan daya, kehilangan tenaga, kehilangan segalanya.

Kendal, Desember 2014

Cerpen Buletin Mantra KSI (Ed. V, Januari 2015)

Somniloquy*  
Fina Lanahdiana

Saat menulis cerita ini aku sedang tidur. Kepalaku berhasil menulis kalimat-kalimat yang mungkin tidak terpikirkan ketika aku sedang tidak tidur. Kau mungkin akan bertanya-tanya bagaimana aku bisa melakukannya. Pertama-tama, aku memerlukan setidaknya secangkir kopi, kemudian mengumpulkan banyak sekali buku-buku yang harus kubaca setiap malam menjelang tidur. Aku mendapatkan saran seperti itu dari seorang teman yang tidak akan kusebut namanya—lebih tepatnya pikiranku tidak menyisakan ingatan tentangnya.


Kau bisa membuktikannya ketika kau bangun dari tidurmu. Kau hanya perlu menunggu keajaiban saja.


Selanjutnya aku hanya perlu mengulang bacaanku setiap malam menjelang tidur. Itu saja. Sebelum ini aku baru saja menyelesaikan sebuah cerita pendek yang sebenarnya rahasia.

***
Apakah kau pernah jatuh cinta? Aku yakin pasti jawabanmu ya. Bagaimana jika seorang nenek merasakan jatuh cinta?

Namanya Darmijah, ia perempuan berusia lebih tujuh puluh tahun. Setiap hari ia duduk di teras rumah untuk menunggu kekasihnya.


“Apakah ia sudah pulang? Kekasihku, apakah sudah kembali?”


Ia terus bercakap-cakap dengan dirinya sendiri, karena memang tidak ada seorang pun yang peduli. Ia tinggal bersama Andang, cucunya yang berusia dua puluh tujuh. Belasan tahun yang lalu anaknya merantau ke Jakarta, tetapi sampai saat ini ia tidak pernah kembali. Tidak ada kabar, tidak ada surat, tidak ada telepon, dan tidak pernah ada kunjungan barang sekali dalam setahun. Ia merasakan kesunyian yang teramat kekal.


Terkadang Nenek Darmijah merasa sangat sedih karena cucunya tidak terlalu peduli dengan keinginannya bertemu kekasihnya. Barangkali cucunya hanya menganggap ocehannya omong kosong belaka.


Andang sibuk bekerja di pabrik mebel. Berangkat pagi dan baru pulang ketika Nenek Darmijah sudah lelap di dalam kamarnya.


Ia tidak ingin neneknya kesepian, tetapi apa boleh buat, toh ia bekerja untuk membiayai hidup mereka berdua. Tidak jarang Andang ingin lekas menikah agar kelak ada yang merawat neneknya: mengajak bicara, sekadar tertawa-tawa, atau apa pun yang bisa membuat neneknya bahagia. Namun lagi-lagi ia belum menemukan pujaan hati yang pantas ia jadikan istri.


“Nenek makan, ya. Sebentar lagi magrib, nanti nenek sakit. Nenek menunggu siapa? Apakah hari ini akan ada tamu?”


Begitulah yang sering diucapkan Andang ketika ia sedang libur kerja.


Nenek Darmijah hanya menggelengkan kepala, kemudian tubuh bungkuknya susah payah bangkit dari dudukan dan masuk ke dalam rumah. Rambutnya yang putih berkilau seperti senar layangan, tampak lusuh dan banyak menyimpan jalan-jalan ingatan yang sudah melewati berbagai macam kelokan. Begitu juga kulit wajahnya, tipis dan tampak gembur seperti tanah becek yang berulangkali didera hujan deras dipenuhi garis-garis seperti galengan di tengah sawah. Janggutnya menggelambir dan hampir menyatu dengan leher, tangan dan kakinya menyisakan tulang berbalut kulit dan selalu bergetar dimakan usia.


“Di mana kekasihku, apakah ia sudah pulang?”


Ia terus menggumam seperti seorang bocah yang tengah dilanda demam empat puluh derajat celsius, hanya saja mata lamurnya terbuka dan sepenuhnya sadar. Ia berjalan menyusuri halaman rumah, memetik daun sirih yang sengaja ditanamnya bertahun lampau. Meskipun tulang belakangnya sudah bengkok, ia belum membutuhkan bantuan tongkat untuk berjalan.


“Mbah Darmijah sedang apa?”


Begitulah pertanyaan basa-basi dilontarkan ketika salah seorang tetangganya lewat di depan rumahnya. Nenek Darmijah akan menoleh ke arah suara, ia akan melebarkan bibirnya. Bibirnya merah sebab mulutnya telah melumat gulungan daun sirih yang berisi gambir, injet, dan cuilan tembakau yang orang-orang biasa menyebutnya dengan istilah nginang. Konon dengan mengunyah daun sirih dipercaya dapat membersihkan dan menguatkan gigi.


Setelah tetangganya pergi, ia akan kembali duduk, menikmati kunyahan demi kunyahan sirih di mulutnya. Lalu ketika sore menjelang, biasanya ia akan membersihkan daun-daun di halaman menggunakan ujung runcing besi seukuran setengah jari dengan gagang terbuat dari bambu seukuran lingkar jari—Andang sengaja membuatkan untuknya.


Suatu ketika di sebuah siang yang mengecup ubun-ubun, Nenek Darmijah menemukan sebuah surat di depan pintu, surat berwarna biru keungu-unguan dengan hiasan oranye menyerupai senja di salah satu sisinya. Ia menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang rumahnya. Tidak ada siapa-siapa.

***
Di hari setelah ia mendapatkan surat biru dengan hiasan senja, saat pagi belum genap menggelincirkan waktu subuh, ia membangunkan Andang dan meminta untuk membacanya keras-keras.

“Bacakan yang keras untukku, Le. Tapi jangan sampai berteriak-teriak, nanti tetangga kita bisa marah-marah.”


Andang meraih surat berwarna biru dengan hiasan senja di salah satu sisinya itu.


“Tidak ada nama pengirimnya, Mbah.”


“Apakah surat itu dari bapakmu, atau ibumu?”


“Bukan. Simbah kan tahu, bapak merantau ke Jakarta dan lupa jalan ke kampung sendiri, ke rumah ini.” geram Andang.


“Hush! Tidak boleh bicara seperti itu. Biar bagaimanapun juga mereka orang tuamu.”


“Tapi ia bahkan tidak mengingat aku, anak satu-satunya.”


“Sudah, sudah. Ayo bacakan surat itu, Le.”


Andang segera membacakan dengan suara lantang, terkadang lebih tepat disebut teriakan. Pendengaran neneknya memang sudah tidak terlalu baik.


“Aku yakin itu surat dari kekasihku, Le. Katakan kapan ia akan kembali? Kamu harus membantu menuliskan balasannya. Tulis kalau aku benar-benar merindukannya.”


“Tapi, Mbah …”


Mata Nenek Darmijah menerawang ke entah, bibirnya ditarik ke pipi menampakkan deretan gigi tidak rata yang berwarna merah sebab terlampau sering mengunyah sirih. Andang beranjak sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, diletakkan surat itu ke tangan Nenek Darmijah. Suasana hening, hening sekali.


“Nanti kamu buatkan balasan surat untuknya ya, Le. Surat untuk kekasihku.”


Andang tidak pernah tahu kapan neneknya mulai jatuh cinta di usianya yang renta.

***
Nenek Darmijah menunggui pintu rumahnya, sesekali mengunyah sirih untuk membunuh rasa jenuh. Barangkali saja ada surat lain dari kekasihnya. Mungkin berwarna hijau daun, atau mungkin merah jambu, ia tidak sabar menanti.

Waktu sudah berjalan lebih lima belas hari sejak ia mendapatkan kiriman surat berwarna biru keungu-unguan dengan hiasan senja di salah satu sisinya. Ia ingat betul bahwa kekasihnya hafal ia sangat menyukai senja pukul lima yang menyembul di cakrawala. Ia ingat ketika kekasihnya mengajak ke pantai untuk melihat senja, kemudian mereka duduk bersisian sambil tertawa-tawa bahagia, saling berangkulan membayangkan mereka akan hidup bersama di masa depan. Memiliki cucu-cucu yang riang, berlarian mengejar bola, atau kucing, atau kupu-kupu yang hinggap di atas kuncup bunga.


“Tentu saja kita akan bahagia.”


“Ya, kita akan bahagia.”


“Berjanjilah!”


“Aku janji.”


Di kampungnya, Nenek Darmiijah segera menjadi perbincangan. Orang-orang tidak percaya ada seorang nenek yang sedang jatuh cinta.


“Apakah ia gila?”


“Sinting, siapa juga yang mau dengan nenek peot macam dia?”


“Hush! Tidak baik bicara begitu.”


“Jangan-jangan ia pacaran dengan anak muda, mungkin saja teman cucunya.”


Seketika mereka terbahak-bahak saat membayangkan seandainya Nenek Darmijah tengah putus cinta. Mungkin saja akan menangis berhari-hari atau tidak makan, atau tidak bicara dengan siapa-siapa, sementara mulutnya tersumpal gulungan daun sirih yang di dalamnya berisi gambir, injet, dan cukilan tembakau.


Dalam kepala Nenek Darmijah, ia membayangkan kalimat-kalimat yang akan dituliskan dalam lipatan surat balasan untuk kekasihnya.


“Kekasihku yang baik, bagaimana kabarmu? Aku kesepian, sepi sekali hanya tinggal serumah dengan cucuku. Menantuku kembali ke rumah orang tuanya karena tidak tahan tinggal bersamaku, sementara anak lelakiku menghilang entah ke mana. Ia tidak pernah kembali setelah pergi merantau ke Jakarta menjadi karyawan. Mungkin ia telah bahagia sehingga lupa kembali ke kampung ini. Mungkin benar, aku tidak boleh berburuk sangka, tapi bagaimana ya. Sejujurnya aku juga merindukannya, sama seperti aku merindukanmu, kekasihku. Oh, ya aku suka sekali surat berwarna biru keungu-unguan dengan hiasan senja di salah satu sisinya yang kau kirimkan. Aku akan menyimpannya. Kapan kau kembali? Kunantikan balasanmu dengan warna surat yang lain, mungkin hijau, mungkin merah muda. Aku merindukanmu, kekasihku.”


Setelah itu Nenek Darmijah melupakan semuanya karena ia tidak pernah mendapatkan balasan surat dari kekasihnya.

***
Tentu saja aku tidak pernah mengirimkan surat balasan untuk orang yang nenek sebut sebagai kekasih. Di surat berwarna biru dengan hiasan senja di salah satu sisinya itu tidak ada alamat pengirimnya. Lagi pula, kalau pun ada, mungkin saja ia sudah lama pindah alamat, mengingat tanggal surat itu telah berusia lebih dari empat puluh tahun. Surat balasan yang didikte oleh nenek hanya kulipat, kumasukkan ke dalam amplop untuk meyakinkannya bahwa aku akan mengirimkannya ke kantor pos.

Rona wajahnya tampak girang ketika mengetahui aku telah menuruti keinginannya—meskipun sebenarnya tidak—yang kupikir mirip sekali dengan tingkah para remaja yang sedang jatuh cinta. Jika mengingat hal itu, kupikir nenek adalah perempuan yang ketika muda menyukai hal-hal romantis, bahkan aku bisa menebak ia penyuka puisi. Hal ini aku ketahui dari surat balasan yang didiktekan olehnya. Sangat manis.


Beberapa tetangga yang tahu betul riwayat Nenek Darmijah mengatakan kekasihnya mati ditembak sekelompok orang tak dikenal—mungkin komplotan perampok—kemudian mayatnya dibuang di selokan. Nenek Darmijah tidak ingin percaya bahwa mayat yang ditemukan adalah kekasihnya, maka ia tetap menunggu surat-surat lain setelah kedatangan surat misterius yang tiba-tiba ada di depan pintu rumahnya. Ssst, ini rahasia. Aku tidak ingin perampok yang membunuh kekasih nenek mengetahui cerita ini hingga menjadikan nenek sebagai sasaran.




*Berbicara saat tidur

Cerpen Media Indonesia (4 Januari 2015)



Tokoh Cerita yang Menetas di Kepala Ibu*
Fina Lanahdiana

            “Jika kau tak cepat-cepat tidur, lalu tiba-tiba rumah menjadi gelap, seekor monster akan mendatangimu. Ia akan merebut paksa mainan-mainanmu. Tubuhnya besar dan hampir menyentuh atap dengan liur yang menetes-netes ke lantai. Ia juga akan mencuru buku-buku koleksimu.”
            Analis merasa ngeri dan segera menutup hampir seluruh tubuhnya, kecuali sedikit rambut ikal berwarna hitam yang masih terlihat.
            “Apakah itu kisah nyata?”
            Ibunya mengangguk, kemudian mencium keningnya yang dipenuhi negeri dongeng.
***
            Malam hari sebelum ibunya datang, Analis mengendap-endap di depan pintu. Kepalanya menyembul memeriksa sesuatu. Sepasang kaki mungilnya melangkah pelan, pelan sekali. Terdengar bunyi klik ketika handle pintu ditutup.
            Ia telah menyembunyikan mainan dan buku-buku koleksi kesayangannya. Sekarang ia sudah berbaring di tempat tidur, lengannya memeluk Cuki, boneka beruangnya.
            “Kau dengar, sebentar lagi ketika ibu datang dan tiba-tiba seisi rumah menjadi gelap, aku akan berubah menjadi sebuah lampu. Aku akan berdoa kepada Tuhan. Bukankah kata ibu tidak ada yang tidak mungkin dilakukan bagi Tuhan?” Suaranya terdengar seperti sebuah bisikan.
Sisi bibirnya tertarik ke kanan dan ke kiri memperlihatkan senyuman.
            “Kau tenang saja, Cuki. Jika aku sudah menjadi lampu, kau tak akan lagi berada di tempat yang gelap, karena kamarku akan berwarna terang seolah malam adalah siang yang meremang.”
            Ia membayangkan tubuhnya berpendar-pendar memancarkan cahaya putih, merah, kuning, hijau, biru. Ramai sekali, pikirnya. Selanjutnya laron-laron yang hidup dari segerombolan rayap yang melarikan diri dari lembap tanah musim hujan akan datang mengelilingi tubuhnya. Akan dilihatnya kepak sayap dari jarak yang teramat dekat. Semakin lama tubuhnya terasa geli karena laron-laron itu akan menempel pada permukaan kulitnya yang berwarna terang dan hangat.
            “Laron selalu mendekati cahaya karena ia menyukainya atau …”
            Ia memotong kalimat yang diucapkannya dan turun dari ranjang menuju ke arah rak kecil berukuran 2x3 meter, mengambil sebuah Ensiklopedi yang di dalamnya dipenuhi gambar-gambar dan uraian-uraian singkat. Meskipun usianya belum genap tujuh tahun, ia sudah lancar membaca. Ia membuka halaman demi halaman dan berhenti pada sebuah lembaran bertajuk laron dengan judul yang dicetak menggunakan huruf kapital.
            “Laron adalah serangga yang memiliki nama latin Macrotermes Gilvus. Laron berasal dari rayap yang sudah memasuki usia matang dan akan melakukan reproduksi membentuk koloni baru. Laron hidup mendekati cahaya kerena mempunyai kepekaan rangsangan gerak terhadap cahaya. Laron yang tidak menemukan pasangan akan mati dengan sendirinya.”
            Ia menganggukkan kepala, menutup buku dan mengembalikan ke tempat semula.
            “Kasihan ya laron-laron itu, ia hanya hidup dalam waktu singkat saja. Kenapa ya, kenapa. Hmm … kalau begitu aku tak ingin menjadi laron. Tentu saja, aku ingin menjadi lampu.”
            Ibunya belum juga datang, matanya yang berwarna hitam seperti bulatan kenyal agar-agar belum juga mengantuk.
            “Apakah ibu sudah mengetuk pintu? Aku belum mendengarnya. Ibu selalu sibuk dengan alasan pekerjaan. Huh!” Analis mendengus kesal. Ia meninju Cuki berkali-kali.
            Jarum jam terasa lambat sekali bergerak. Meskipun sudah bosan, ia masih saja ingin menunggu.
            Dua tahun yang lalu saat usianya belum genap lima tahun, ibunya mengenalkannya pada Mary, seorang guru home schooling. Maka setiap hari—kecuali hari Minggu—setelah jam delapan pagi, Mary akan datang ke rumahnya dengan membawa buku-buku tebal yang sebenarnya tidak sesuai dengan usianya. Berkali-kali Mary bercerita kepada ibunya bahwa Analis adalah gadis yang jenius. Ibunya percaya saja dengan apa yang dikatakan Mary, ia tampak takjub mendapati gadisnya tumbuh dengan waktu yang terlampau singkat.
            Hadiah demi hadiah diberikan Mary kepada Analis ketika ia berhasil menuntaskan tugasnya. Ia senang mendapat permen, cat air, buku cerita, kamus, pensil, karet penghapus, dan kotak musik berbentuk piano yang ketika dibuka akan terdengar alunan instrumen musik.
            “Terima kasih, aku suka sekali.”
            Saat ini di wajahnya yang bulat telur terpasang sebingkai kaca mata minus empat.
            Terkadang di dalam kepalanya berputar-putar sebuah pertanyaan yang selalu gagal untuk dituntaskan: Apakah setiap anak harus menjadi pintar dan selalu dibekali dengan buku-buku tebal? Ibu tidak pernah berkata begitu, tetapi Bu Mary mengatakannya.
            Di waktu yang lain ia kembali berpikir bahwa tidak jarang dirinya sangat lelah, kenapa bukan hanya gambar dan hitungan sederhana saja—seperti anak lain kebanyakan—yang di ajarkan Bu Mary.
            “Kenapa ibu selalu pulang larut malam sampai aku dan Cuki lelah menunggu?”
            “Karena ibumu bekerja.”
            “Bagaimana dengan ayah?”
            “Ayahmu juga.”
            Di luar hujan menderas, memukul-mukul atap rumah secara bersamaan. Kilatan-kilatan cahaya terang mengerjap-ngerjap seolah-olah sebuah kamera raksasa yang tengah dioperasikan seorang fotografer profesional.
            Ruangan gelap, Analis menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut, semakin dalam, kepalanya melorot dari bantal hingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang terlihat.
            Tidak ada keinginan untuk menjerit, meskipun ketakutan tumbuh serupa bayang-bayang.
            “Ssst, jangan khawatir, Cuki. Kita punya Tuhan, kita punya Tuhan. Kata Bu Mary Tuhan tak pernah tidur meskipun kita sedang tidur, dan tak pernah lupa kepada kita meskipun kita melupakannya.” Ia peluk bonekanya erat, semakin erat.
            Terdengar suara pintu berderit, debuman dan seretan langkah—yang suaranya kian mendekati telinga Analis—juga dentuman lonceng yang terombang-ambing oleh angin.
            Seorang pria mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru langit yang dilipat sebatas siku terengah-tengah. Tubuhnya kuyup, begitu juga perempuan di hadapannya.
“Aku tak suka kau pulang kerja selarut ini. Kau tega membiarkan anakmu sendirian, hah!”
            “Duduklah, aku perlu bicara.”
            Pria itu tampak menyesal menyadari kekesalan pada kalimat yang baru saja ia ucapkan.
            Keduanya lantas hanyut dalam keterdiaman. Mereka sama-sama kehabisan kata-kata.
            Air mata menggantung di pelupuk mata perempuan itu, namun ia segera menghapusnya.
            Pria itu melonggarkan dasi yang menggantung di leher kerah kemejanya. Ia hendak berdiri untuk mengganti baju ketika perempuan di hadapannya mencegahnya.
            “Biar aku saja.”
            Sebentar saja perempuan itu telah kembali ke ruang tamu, menyerahkan kaus kepada suaminya. Ia juga telah menyiapkan dua cangkir teh panas di atas meja.
***
            “Apakah kita boleh membakar foto seseorang yang tidak kita sukai, Bu?”
            “Kenapa kau berkata seperti itu?”
            “Aku melihatnya di televisi. Seorang pembawa acara wanita di televisi itu mengatakan mereka adalah mahasiswa. Mereka membakar foto Bapak Pejabat. Aku ingin ibu juga membakar foto Ayah.”
            “Tidak boleh seperti itu, Sayang.” Ibunya merengkuh tubuh Analis ke dalam dadanya.
            “Ayah jarang sekali pulang, Bu. Aku benci Ayah. Apakah ia masih sayang sama kita?”
            Ibunya tersenyum. “Tentu saja.” Senyum yang ranggas, seperti musim kemarau yang tak kunjung dihujani gerimis.
            Perempuan itu tersentak dari lamunannya. Ia baru saja menyadari sesuatu. Malam semakin pekat. Hujan sudah reda, menyisakan bunyi kecil lonceng yang tergantung di ujung tiang di teras rumahnya. Sesekali udara tiba-tiba dingin hingga sekujur tubuh merinding, membangunkan bulu-bulu halus di permukaan kulit.
            “Ya Tuhan, Analis. Ke mana dia? Aku benar-benar merasa berdosa. Maafkan aku. Aku jarang pulang, sementara kau …”
            “Sudahlah, lupakan. Kita pikirkan bagaimana cara memperbaiki semuanya. Analis gadis manis yang jenius. Ia sudah lancar membaca dan pandai berbahasa Inggris, mirip sekali denganmu.” Ia tersenyum. Mereka saling memeluk.
            Di depan pintu kamar Analis, ayah dan ibunya berdiri, melongok melalui celah kaca di bagian sisi pintu. Gelap. Tidak ada satu pun cahaya yang tersisa. Pintu didobrak paksa. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada di kolong ranjang, tidak ada di dalam lemari, tidak ada di kamar mandi, tidak ada di mana-mana.
            Di ujung ranjang, di dekat bantal, ada sebuah meja kecil tempat meletakkan jam beker, pigura, dan kotak musik pemberian Mary. Di sana foto ayahnya tergeletak begitu saja, sementara pigura kosong tidak menyimpan foto siapa-siapa. Yang ada hanyalah seekor kupu-kupu yang menempel di sudut pigura. Sayapnya mengepak-ngepak naik turun. Kupu-kupu yang indah, pikir ibunya. Memang tidak biasanya malam-malam buta begini ada seekor kupu-kupu.
            Mereka percaya jika ada seekor kupu-kupu di dalam rumah, maka di rumah itu akan didatangi oleh tamu. Tapi siapa?
            Sebelum ibunya datang dan badai menyerang, Analis mengubah doanya, “Tuhan, maafkan aku. Aku tidak ingin menjadi lampu. Ibu telah berbohong, monster itu tidak ada ketika seluruh ruangan dilahap kegelapan. Aku ingin menjadi tokoh dalam buku-buku cerita di kepala ibu.”

Kalirandugede, 2014