25 Februari 2015

Cerpen Buletin Mantra KSI (Ed. V, Januari 2015)

Somniloquy*  
Fina Lanahdiana

Saat menulis cerita ini aku sedang tidur. Kepalaku berhasil menulis kalimat-kalimat yang mungkin tidak terpikirkan ketika aku sedang tidak tidur. Kau mungkin akan bertanya-tanya bagaimana aku bisa melakukannya. Pertama-tama, aku memerlukan setidaknya secangkir kopi, kemudian mengumpulkan banyak sekali buku-buku yang harus kubaca setiap malam menjelang tidur. Aku mendapatkan saran seperti itu dari seorang teman yang tidak akan kusebut namanya—lebih tepatnya pikiranku tidak menyisakan ingatan tentangnya.


Kau bisa membuktikannya ketika kau bangun dari tidurmu. Kau hanya perlu menunggu keajaiban saja.


Selanjutnya aku hanya perlu mengulang bacaanku setiap malam menjelang tidur. Itu saja. Sebelum ini aku baru saja menyelesaikan sebuah cerita pendek yang sebenarnya rahasia.

***
Apakah kau pernah jatuh cinta? Aku yakin pasti jawabanmu ya. Bagaimana jika seorang nenek merasakan jatuh cinta?

Namanya Darmijah, ia perempuan berusia lebih tujuh puluh tahun. Setiap hari ia duduk di teras rumah untuk menunggu kekasihnya.


“Apakah ia sudah pulang? Kekasihku, apakah sudah kembali?”


Ia terus bercakap-cakap dengan dirinya sendiri, karena memang tidak ada seorang pun yang peduli. Ia tinggal bersama Andang, cucunya yang berusia dua puluh tujuh. Belasan tahun yang lalu anaknya merantau ke Jakarta, tetapi sampai saat ini ia tidak pernah kembali. Tidak ada kabar, tidak ada surat, tidak ada telepon, dan tidak pernah ada kunjungan barang sekali dalam setahun. Ia merasakan kesunyian yang teramat kekal.


Terkadang Nenek Darmijah merasa sangat sedih karena cucunya tidak terlalu peduli dengan keinginannya bertemu kekasihnya. Barangkali cucunya hanya menganggap ocehannya omong kosong belaka.


Andang sibuk bekerja di pabrik mebel. Berangkat pagi dan baru pulang ketika Nenek Darmijah sudah lelap di dalam kamarnya.


Ia tidak ingin neneknya kesepian, tetapi apa boleh buat, toh ia bekerja untuk membiayai hidup mereka berdua. Tidak jarang Andang ingin lekas menikah agar kelak ada yang merawat neneknya: mengajak bicara, sekadar tertawa-tawa, atau apa pun yang bisa membuat neneknya bahagia. Namun lagi-lagi ia belum menemukan pujaan hati yang pantas ia jadikan istri.


“Nenek makan, ya. Sebentar lagi magrib, nanti nenek sakit. Nenek menunggu siapa? Apakah hari ini akan ada tamu?”


Begitulah yang sering diucapkan Andang ketika ia sedang libur kerja.


Nenek Darmijah hanya menggelengkan kepala, kemudian tubuh bungkuknya susah payah bangkit dari dudukan dan masuk ke dalam rumah. Rambutnya yang putih berkilau seperti senar layangan, tampak lusuh dan banyak menyimpan jalan-jalan ingatan yang sudah melewati berbagai macam kelokan. Begitu juga kulit wajahnya, tipis dan tampak gembur seperti tanah becek yang berulangkali didera hujan deras dipenuhi garis-garis seperti galengan di tengah sawah. Janggutnya menggelambir dan hampir menyatu dengan leher, tangan dan kakinya menyisakan tulang berbalut kulit dan selalu bergetar dimakan usia.


“Di mana kekasihku, apakah ia sudah pulang?”


Ia terus menggumam seperti seorang bocah yang tengah dilanda demam empat puluh derajat celsius, hanya saja mata lamurnya terbuka dan sepenuhnya sadar. Ia berjalan menyusuri halaman rumah, memetik daun sirih yang sengaja ditanamnya bertahun lampau. Meskipun tulang belakangnya sudah bengkok, ia belum membutuhkan bantuan tongkat untuk berjalan.


“Mbah Darmijah sedang apa?”


Begitulah pertanyaan basa-basi dilontarkan ketika salah seorang tetangganya lewat di depan rumahnya. Nenek Darmijah akan menoleh ke arah suara, ia akan melebarkan bibirnya. Bibirnya merah sebab mulutnya telah melumat gulungan daun sirih yang berisi gambir, injet, dan cuilan tembakau yang orang-orang biasa menyebutnya dengan istilah nginang. Konon dengan mengunyah daun sirih dipercaya dapat membersihkan dan menguatkan gigi.


Setelah tetangganya pergi, ia akan kembali duduk, menikmati kunyahan demi kunyahan sirih di mulutnya. Lalu ketika sore menjelang, biasanya ia akan membersihkan daun-daun di halaman menggunakan ujung runcing besi seukuran setengah jari dengan gagang terbuat dari bambu seukuran lingkar jari—Andang sengaja membuatkan untuknya.


Suatu ketika di sebuah siang yang mengecup ubun-ubun, Nenek Darmijah menemukan sebuah surat di depan pintu, surat berwarna biru keungu-unguan dengan hiasan oranye menyerupai senja di salah satu sisinya. Ia menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang rumahnya. Tidak ada siapa-siapa.

***
Di hari setelah ia mendapatkan surat biru dengan hiasan senja, saat pagi belum genap menggelincirkan waktu subuh, ia membangunkan Andang dan meminta untuk membacanya keras-keras.

“Bacakan yang keras untukku, Le. Tapi jangan sampai berteriak-teriak, nanti tetangga kita bisa marah-marah.”


Andang meraih surat berwarna biru dengan hiasan senja di salah satu sisinya itu.


“Tidak ada nama pengirimnya, Mbah.”


“Apakah surat itu dari bapakmu, atau ibumu?”


“Bukan. Simbah kan tahu, bapak merantau ke Jakarta dan lupa jalan ke kampung sendiri, ke rumah ini.” geram Andang.


“Hush! Tidak boleh bicara seperti itu. Biar bagaimanapun juga mereka orang tuamu.”


“Tapi ia bahkan tidak mengingat aku, anak satu-satunya.”


“Sudah, sudah. Ayo bacakan surat itu, Le.”


Andang segera membacakan dengan suara lantang, terkadang lebih tepat disebut teriakan. Pendengaran neneknya memang sudah tidak terlalu baik.


“Aku yakin itu surat dari kekasihku, Le. Katakan kapan ia akan kembali? Kamu harus membantu menuliskan balasannya. Tulis kalau aku benar-benar merindukannya.”


“Tapi, Mbah …”


Mata Nenek Darmijah menerawang ke entah, bibirnya ditarik ke pipi menampakkan deretan gigi tidak rata yang berwarna merah sebab terlampau sering mengunyah sirih. Andang beranjak sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, diletakkan surat itu ke tangan Nenek Darmijah. Suasana hening, hening sekali.


“Nanti kamu buatkan balasan surat untuknya ya, Le. Surat untuk kekasihku.”


Andang tidak pernah tahu kapan neneknya mulai jatuh cinta di usianya yang renta.

***
Nenek Darmijah menunggui pintu rumahnya, sesekali mengunyah sirih untuk membunuh rasa jenuh. Barangkali saja ada surat lain dari kekasihnya. Mungkin berwarna hijau daun, atau mungkin merah jambu, ia tidak sabar menanti.

Waktu sudah berjalan lebih lima belas hari sejak ia mendapatkan kiriman surat berwarna biru keungu-unguan dengan hiasan senja di salah satu sisinya. Ia ingat betul bahwa kekasihnya hafal ia sangat menyukai senja pukul lima yang menyembul di cakrawala. Ia ingat ketika kekasihnya mengajak ke pantai untuk melihat senja, kemudian mereka duduk bersisian sambil tertawa-tawa bahagia, saling berangkulan membayangkan mereka akan hidup bersama di masa depan. Memiliki cucu-cucu yang riang, berlarian mengejar bola, atau kucing, atau kupu-kupu yang hinggap di atas kuncup bunga.


“Tentu saja kita akan bahagia.”


“Ya, kita akan bahagia.”


“Berjanjilah!”


“Aku janji.”


Di kampungnya, Nenek Darmiijah segera menjadi perbincangan. Orang-orang tidak percaya ada seorang nenek yang sedang jatuh cinta.


“Apakah ia gila?”


“Sinting, siapa juga yang mau dengan nenek peot macam dia?”


“Hush! Tidak baik bicara begitu.”


“Jangan-jangan ia pacaran dengan anak muda, mungkin saja teman cucunya.”


Seketika mereka terbahak-bahak saat membayangkan seandainya Nenek Darmijah tengah putus cinta. Mungkin saja akan menangis berhari-hari atau tidak makan, atau tidak bicara dengan siapa-siapa, sementara mulutnya tersumpal gulungan daun sirih yang di dalamnya berisi gambir, injet, dan cukilan tembakau.


Dalam kepala Nenek Darmijah, ia membayangkan kalimat-kalimat yang akan dituliskan dalam lipatan surat balasan untuk kekasihnya.


“Kekasihku yang baik, bagaimana kabarmu? Aku kesepian, sepi sekali hanya tinggal serumah dengan cucuku. Menantuku kembali ke rumah orang tuanya karena tidak tahan tinggal bersamaku, sementara anak lelakiku menghilang entah ke mana. Ia tidak pernah kembali setelah pergi merantau ke Jakarta menjadi karyawan. Mungkin ia telah bahagia sehingga lupa kembali ke kampung ini. Mungkin benar, aku tidak boleh berburuk sangka, tapi bagaimana ya. Sejujurnya aku juga merindukannya, sama seperti aku merindukanmu, kekasihku. Oh, ya aku suka sekali surat berwarna biru keungu-unguan dengan hiasan senja di salah satu sisinya yang kau kirimkan. Aku akan menyimpannya. Kapan kau kembali? Kunantikan balasanmu dengan warna surat yang lain, mungkin hijau, mungkin merah muda. Aku merindukanmu, kekasihku.”


Setelah itu Nenek Darmijah melupakan semuanya karena ia tidak pernah mendapatkan balasan surat dari kekasihnya.

***
Tentu saja aku tidak pernah mengirimkan surat balasan untuk orang yang nenek sebut sebagai kekasih. Di surat berwarna biru dengan hiasan senja di salah satu sisinya itu tidak ada alamat pengirimnya. Lagi pula, kalau pun ada, mungkin saja ia sudah lama pindah alamat, mengingat tanggal surat itu telah berusia lebih dari empat puluh tahun. Surat balasan yang didikte oleh nenek hanya kulipat, kumasukkan ke dalam amplop untuk meyakinkannya bahwa aku akan mengirimkannya ke kantor pos.

Rona wajahnya tampak girang ketika mengetahui aku telah menuruti keinginannya—meskipun sebenarnya tidak—yang kupikir mirip sekali dengan tingkah para remaja yang sedang jatuh cinta. Jika mengingat hal itu, kupikir nenek adalah perempuan yang ketika muda menyukai hal-hal romantis, bahkan aku bisa menebak ia penyuka puisi. Hal ini aku ketahui dari surat balasan yang didiktekan olehnya. Sangat manis.


Beberapa tetangga yang tahu betul riwayat Nenek Darmijah mengatakan kekasihnya mati ditembak sekelompok orang tak dikenal—mungkin komplotan perampok—kemudian mayatnya dibuang di selokan. Nenek Darmijah tidak ingin percaya bahwa mayat yang ditemukan adalah kekasihnya, maka ia tetap menunggu surat-surat lain setelah kedatangan surat misterius yang tiba-tiba ada di depan pintu rumahnya. Ssst, ini rahasia. Aku tidak ingin perampok yang membunuh kekasih nenek mengetahui cerita ini hingga menjadikan nenek sebagai sasaran.




*Berbicara saat tidur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar