29 September 2013

Puisi-puisi Fina Lanahdiana (Radar Seni, 28 September 2013)



LUBANG 

PADA SUATU MUSIM HUJAN

udara masih dingin
kabut tebal tumbuh pada derajat celcius yang semakin subuh
aku bangun dari malam yang jaga;
beginilah, jam tidur sering menyala sia-sia
“lerailah rindu, mataku yang tiba-tiba menjadi kamu”

Januari 2013


VIRUS

ia serupa perasaan tak enak badan yang begitu cepat mengalir
memasuki setiap gang tak berpalang
semakin kita melawan
maka ia akan semakin menang

Januari 2013



PERJANJIAN JARI MANIS

tersebab pertemuan menjadi semacam ikrar
pada masing-masing kita untuk tidak membesarkan ingkar
jari manis ini lonceng jam bagi bunyi;
yang dengannya jarak akan tunduk pada rindu yang berlabuh
seperti halnya perahu yang menepi untuk menunggu matahari
kembali meninggi esok hari
kemudian deretan panjang alasan yang dibuat-buat oleh angin
adalah rumah teduh bagi hujan yang dingin

Januari 2013


TELEVISI

i
setiap hari tidak ada lagi anak-anak memenuhi seisi halaman rumah; bermain kelereng, congklak, ataupun panggalan. tidak juga ada mereka yang berkumpul pada suatu pagi kecuali  hari minggu yang tanggal merah; mencatat acara televisi pada pasrah nilai rupiah. semakin lurus saja tayangan-tayangan itu—haus pada pintu ajaib dan baling-baling bambu.

ii
selepas pulang sekolah, mereka melepas buku pelajaran pada permainan di komputer yang katanya bisa membikin mereka pandai tanpa mesti mengabdi pada catatan-catatan.  di dalam tas hanya ada alasan-alasan yang mereka buat untuk meletakkan tas punggung yang berat sebelah, juga sepatu tanpa kaos kaki yang tidak dicuci berhari-hari.

iii
aku memegang kepala televisi. barangkali ia sedang mengidap sakit demam dan tak pernah mandi meski sekedar mengusir kecemasan gerah di sepanjang kaki-kaki lengan.

iv
malam harinya, televisi kembali menjadi air mata yang penuh dengan rekayasa membanting pintu lalu pergi tanpa menyisakan apa-apa. ibu berlari meninggalkan bumbu dapur dan kompor yang masih menyala. sementara adik asik menukar pastel warna dengan bunyi kring sebuah ponsel. wajah siapa di luar jendela membunyikan irama cinta?. ini semacam teka-teki yang diciptakan tanpa bisa dituntaskan.

Februari 2013

28 September 2013

Sepi

--aku tidak tahu
apakah sepi
juga pernah menyimpan luka
lalu
tiba-tiba
ingin sekali ditelan
keinginan hilang ingatan.

September, 2013

SEBUAH PUISI FINA LANAHDIANA (www.unsa27.net Ed. September 2013))

ORANG-ORANG DAN HAL-HAL YANG DITUHANKAN

lupa lupa lupa, atau apa yang entah
alasan yang semestinya sadar bagi pura-pura; sabar bagi luka kita
sebab kepala-mata yang ditidurkan peristiwa pada benda-benda,

:TELEVISI
di kepala ini telah tumbuh tunas yang sampah; sia-sia
begitu riang memandikan air mata yang tumpah
dari keypad handphone, blackberry, dan ipad yang dengannya kita bisa menerka seberapa besar kita mesti membuang muka kepada siapa-siapa saja;
yang mengajarkan seragam sekolah yang masih memeluk pensil itu untuk tiba-tiba mencintai rautan yang runcing

:KENDARAAN
tubuh ini yang tak ingin dilukai cidera seringkali membunyikan knalpot di sepanjang kaki-kaki kita;

hijau yang tidak lagi sebagai paru-paru menjadikan kita
semakin kemarau dengan dada yang penuh dengan keributan hutan
yang semakin kota; yang semakin kita

:ALAT-ALAT KECANTIKAN
seringkali kita tak ingin cermin terlampau jujur pada usia;
pada uban-uban yang mulai tumbuh di kepala kita; di wajah kita
yang menjadikan kita rela pada obat-obat dan bahan kimia

dan tak ingin lagi disebut sebagai bedak tabur yang mati-matian bertarung melawan sejarah
ataupun poles bibir yang tak ingin mengatakan dirinya sebagai pendusta yang paling bisa.

Kendal, Desember 2012

25 September 2013

DI SEBUAH KILOMETER KE SEKIAN

:AQJ

ia memindahkan kota ke dalam kepalanya
yang berisi gagal usia merayakan peraturan lalu lintas
jalanan padat dipenuhi tumbang keinginan jarum jam

di sebuah mobil ia genggam tangannya sendiri yang lebih erat
dibandingkan perasaan percaya kepada kekasihnya

di rumah tidak ada siapa-siapa
orang-orang melupakan kebodohan-- ia merawat ketiadaan bagi orang-orang
kunang-kunang berhamburan ke matanya
tersebab dirinya jatuh dikalahkan putaran arah

baginya kini rumah sakit ialah jembatan yang pernah hilang
diantara sungai yang membentang: agar diperhatikan berpasang mata
sebagai keutuhan pandangan

di telinganya keinginan pulang menjadi semacam terowongan panjang
yang ditakuti lampu-lampu agar terus merasakan kesepian
yang juga mengangankan dirinya dihidupkan tabah perasaan bersalah

di pinggir jalan pohon-pohon menjadi rimbun silsilah
bagi kelokan jalan yang patah oleh kesedihan-kesedihan
lalu bukankah hidup adalah perihal mengumpulkan apapun yang dunia pilihkan
sebagai pecahan-pecahan?

September 2013

LUBANG



aku adalah seperangkat keinginan
yang lekas-lekas engkau lupakan sebagai jadwal percakapan setiap malam

di kotak pesan tanganku memanjang,
merangkul apa dan bagaimana segala kabar aku taklukkan

di luar sana, suara engkau lingkarkan di telinga;
memutar kejenuhan yang engkau rapalkan
menjadi panas matahari yang mendekat beberapa senti

jendela ini, apakah?
pintu ini sudahkah?

kita sama-sama membiarkannya selebar dada kita
saling mendebar
tapi tiba-tiba kau banting setiap yang pernah menjadi lembaran mata kita
yang terbuka oleh rupa-rupa cahaya

lantas kita semakin mengeras sebab terkuras
oleh jarak yang semakin padat lalu lintas—
membiarkan angin mengikis cadas batu-batu yang menepi di sepanjang tubuh kita
untuk tidak membangun lubang-lubang
yang di dalamnya kita umpamakan sebagai kenangan

Juli 2013