31 Maret 2021

Kereta Malam Menuju Harlok Membongkar Sindikat Eksploitasi Anak

Oleh: Fina Lanahdiana

Novel Anak - Kereta Malam Menuju Harlok

 

Data Buku:

 

Judul Buku: Kereta Malam Menuju Harlok
Penulis: Maya Lestari Gf
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Ukuran: 14 x 20 cm
Tebal: 144 hlm
Terbit: Januari 2021
ISBN: 978-623-253-017-1
Harga: Rp45.000,-

 

"When you focus on someone’s disability you’ll overlook their abilities, beauty and uniqueness. Once you learn to accept and love them for who they are, you subconsciously learn to love yourself unconditionally." Yvonne Pierre

 

Menjadi kaum minoritas tidak pernah semudah menjalani hidup sebagai masyarakat mayoritas. Selalu ada hal-hal yang luput, sesuatu yang seharusnya menjadi hak kaum minoritas agar mampu diterima dan menjalankan kehidupannya dengan layak. Salah satunya penyandang disabilitas. Mereka seringkali dinggap tidak mampu sehingga tidak diperhitungkan. Bahkan ketika hal itu disangkal, tetaplah menjadi kenyataan pahit yang harus diterima dan diakui oleh masyarakat mayoritas.

 

Kereta Malam Menuju Harlok karya Uni Maya Lestari Gf ini mencoba mengurai cerita tentang anak-anak penyandang disabilitas di sebuah panti bernama Kulila. Seluruhnya berjumlah sembilan anak dengan masing-masing kekurangan yang dimiliki. Salah satunya Tamir. Amar menyebutnya sebagai manusia sebelah, karena dia hanya memiliki satu kaki dan satu mata. Usianya sebelas tahun, dan dia senang membaca buku cerita.

 

“Ada sebuah cerita tentang kereta yang khusus menjemput anak-anak yatim piatu di seluruh dunia. Kereta itu datang tidak terduga, menembus kabut gelap, mengambil energi dari gemuruh guntur dan cahaya kilat. Langit yang luas adalah batas perjalanannya. Harapan yang diterbangkan angin adalah awal perjalanannya.” (hal. 4)

 

Tamir mengerjap-ngerjapkan matanya. Silau. Suara roda-roda besi menghantam pendengaran. Angin meraung di luar jendela. (hal. 21)

 

Hidup di Kukila sudah berat untuk dijalani, karena anak-anak panti harus bekerja; menghidupi diri sendiri. Menyemir sepatu, atau menjadi pengamen. Amang, satu-satunya pengasuh panti melarikan diri. Tetapi, rupanya kehidupan di Harlok masih lebih mengerikan lagi untuk dijalani.

 

Di sana, Tamir dipaksa menjadi pekerja tambang batu seruni. Meskipun sepertinya ada kesalahan penjemputan, karena belum pernah terjadi, bahwa anak yang dijemput adalah anak yang cacat. Mengembalikan Tamir artinya harus menebus lebih besar dari biaya tiket kereta, sekaligus menanggung kemungkinan paling buruk diketahui oleh Departemen Pengurusan Anak Terlantar bahwa Vled mempekerjakan anak-anak untuk bekerja di tambang.

 

#Solidaritas Anak-anak Tambang

Anak-anak lain harus menyetor baru seruni sebanyak sepuluh kilo, tetapi lain dengan Tamir. Ia harus menyetor dua kilo lebih banyak, meskipun sebenarnya kondisi ini tidak memungkinkan karena keterbatasan yang dia miliki. Mengetahui hal itu, teman-teman Tamir tidak tinggal diam. Mereka saling membantu menyumbangkan batu-batu mereka kepada Tamir, sehingga keranjang tamir dipenuhi batu seruni sebanyak duabelas kilo, dan akhirnya dia bebas dari hukuman.

 

Pada setoran selanjutnya, Mo harus menanggung hukuman di dalam ceruk yang lubangnya sedalam tiga meter lebih dan tidur di sana. Tempat itu curam dan dipenuhi batu-batu.

 

“Di sini kita menolong diri sendiri, Tamir. Bila batumu kurang, anak lain yang harus bekerja keras mengganti. Jadi, kita di sini saling memperhatikan, supaya tidak sama-sama sengsara.” (hal. 97)

 

#Karakter Pahlawan

Cerita ini bergerak dengan plot tokoh utama sebagai pahlawan. Berawal dari Tamir semula tidak berdaya, sampai akhirnya dia memiliki pemikiran untuk mendobrak dan melawan keadaan. Dalam hal ini melawan Vled untuk membongkar sindikat eksploitasi yang dilakukan terhadap anak-anak tambang. Selain itu, Tamir ingin membebaskan Baz. Rupanya Baz menjadi pihak yang tertindas oleh Vled karena dia tidak bisa membebaskan diri demi untuk melindungi Rupi, anaknya yang disandera oleh Vled.

 

Sebagai novel anak, cerita ini sangat imajinatif karena selain berisi kisah petualangan, juga dipenuhi keajaiban, sebagaimana yang pernah saya baca di buku Uni Maya yang sebelumnya, Labirin Sang Penyihir (Kaki Langit Kencana, 2015). Bagi saya, keduanya memiliki daya magis sejak membaca judul yang tertera di sampul.

 

Terlepas dari apakah peristiwa yang dialami Tamir adalah sebuah mimpi atau sungguh kenyataan. Hal ini tergambar pada akhir cerita, Ketika suatu pagi di hari lebaran, Kulila kedatangan tamu. Seorang lelaki gemuk berkumis dan anak perempuan yang bagi Tamir sangat mirip dengan Baz dan Rupi.

 

Tamir ingat ketika masih di Harlok, Baz bilang, kalau dia bebas, dia akan mengantarkan semua anak tambang ke Departemen Anak Terlantar, dan mengembalikan Tamir ke Kulila, lalu dia akan menjadi pengasuhnya.

 

Meskipun buku ini sangat menarik, seperti pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, ada hal-hal teknis yang sepertinya luput dari perhatian ketika proses pra-cetak. Yaitu, adanya beberapa kalimat yang kehilangan spasi, dan salah cetak nama yang tokoh pada halaman 64, “Tidak. Dia bekerja jadi pengasuh Sora, anak Baz,” penyebutan nama Baz di kalimat itu, semestinya adalah Vled.

 

Karena setting waktu dalam cerita yang terjadi saat malam menjelang Idul Fitri, hal ini mengingatkan saya pada film Home Alone yang diputar setiap menjelang Natal dan Tahun Baru. Bahwa kisah yang dekat dengan lingkungan kita juga bisa dikemas menjadi cerita yang tetap asyik dan unik.[]

 

Peresensi:

Fina Lanahdiana, bisa dihubungi melalui akun Twitter @filadina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar