15 Januari 2021

Cangkir-cangkir di Meja Alinda


Pixabay - Chiplanay
 

Tak ada yang berbeda dari Alinda. Ia tetaplah sama seperti gadis lain seusianya. Gemar bertanya dan tertawa, dan sedih untuk hal-hal yang tak disukainya di lain waktu. Ia juga menyukai langit, laut dan hujan.

Bisa kau bayangkan, tubuhnya dipenuhi warna--seperti cangkir-cangkir kepunyaannya--yang berpendar-pendar. Ia gemar sekali bergerak. Ia seperti kucing kecil bermain-main dengan teman sebayanya. Melompat, berlari, menari.

Ada satu hal yang menarik dari Alinda. Ia senang sekali memeluk. Tiba-tiba. Bagi orang-orang yang belum terbiasa tentu akan terkejut dan memandang aneh, tapi bagi teman-temannya yang sudah hafal hal itu akan menularkan semacam energi positif yang menyenangkan sekaligus menenangkan. Bahkan terkadang kebiasaan itu menjadi sesuatu yang dirindukan.

“Kau sangat sibuk belakangan ini,”

“Aku sama sekali tidak merasa seperti itu,”

“Tapi aku temanmu. Aku tahu …”

“Ya, kau temanku. Tapi aku benar-benar tidak menganggapnya demikian, bahwa aku sibuk.”

Percakapan itu terjadi di sebuah sore yang lembab, di kedai kopi yang sedang ramai dikunjungi orang-orang. Mereka duduk di bawah tangga dekat jendela yang hanya terbuat dari garis-garis persegi kecil berbahan kawat. Tidak terlalu tampak bayangan mereka, kecuali sedikit sinar yang berasal dari lampu redup yang tergantung seolah bola-bola berwarna oranye yang mengapung di udara.

“Apa kau nyaman, Lin?”

“Tentu saja. Apa maksudmu bertanya begitu?”

“Bukan. Maksudku, tempat ini tiba-tiba sangat penuh orang-orang. Apa kau setuju jika kita berpindah ke lantai 2?”

“Bukan ide yang buruk. Tapi pastikan seseorang dari kedai ini mengetahuinya untuk mengantarkan pesanan kita,”

“Santai saja. Aku mengenal mereka.”

Mereka berpindah, dan beberapa menit kemudian pesanan datang. Avocado coffee dan Cokelat panas.

“Aku sedang libur minum kopi,” jelas Suta seketika pesanannya mendarat di meja. Tentu saja Alinda tidak mempersoalkannya, meskipun tetap sedikit penasaran dengan pernyataannya.

“Mengapa cokelat panas?”

“Anggap saja karena di luar sedang hujan.”

***

Istri Suta adalah seorang perempuan yang dingin. Setidaknya, demikian cara Suta menggambarkannya. Lelaki itu seringkali merasa apa-apa yang dilakukannya tidak terlalu penting di mata istrinya. Hubungan mereka baik-baik saja, sebenarnya. Mereka memiliki seorang anak laki-laki menggemaskan bernama Bumi. Usianya dua setengah tahun dan sedang lucu-lucunya.

“Istriku tidak berbeda denganmu. Ia sangat giat bekerja,”

“Bukankah itu bagus? Daripada menghabiskan waktu untuk bergosip dengan tetangga, misalnya.”

Pada titik ini Alinda tertawa cukup renyah. Benar apa yang dikatakannya. Tetapi Suta tidak terlalu menanggapi candaan itu. Alinda seolah mengerti bahwa leluconnya kali ini bukanlah berada di situasi yang tepat.

“Banyak hal yang ditanggapinya dengan sepele. Salah satunya ketika aku memberikan kado dan ucapan di hari ulang tahunnya.”

“Ayolah, itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan terlalu serius.”

“Pernah suatu kali ia meninggalkanku begitu saja ketika tiba-tiba ban motor kami bocor.”

“Meninggalkan bagaimana?”

“Ya, pergi. Ia memilih membonceng orang lain yang juga tetangga kami tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Saat itu sore dan gerimis.”

Alinda tidak mengucapkan apa-apa. Ia hanya memandang Suta dengan tatapan yang dipenuhi pertanyaan. Benarkah? Dan buru-buru menyendok es krim vanila di gelasnya. Ya, rasa manis memang hanya berasal dari rasa vanila itu, karena di dasar gelas yang mengendap adalah kopi tanpa gula. Pahit. Bercampur menjadi gurih yang cukup menarik perhatian dengan adanya alpukat yang telah dilembutkan.

“Aku tidak ingin menganggap istrimu sebagai perempuan yang tidak penurut atau semacamnya. Mungkin kalian butuh pergi. Hanya berdua. Membicarakan banyak hal.”

“Kau pikir aku bodoh? Tanpa kau minta pun aku sudah melakukannya lebih dulu. Tidak hanya sekali. Ia tetap saja seperti itu.”

“Pernahkah ia menangis?”

Lelaki itu menghela napas, berat. Dan mengangguk. Beberapa kali, jawabnya. Tapi tak banyak yang berubah. Ia seperti keledai, berkali-kali jatuh di lubang yang sama.

Jika saja Suta tidak bercerita kepada Alinda, tentu gadis itu tak pernah tahu bahwa temannya itu memiliki hubungan yang rumit dengan istrinya. Yang ia tahu, setiap kali keduanya melakukan video call, yang terjadi adalah normal. Seperti hubungan keluarga pada umumnya. Bumi yang menggemaskan karena masih bicara cadel, juga istrinya yang berkali-kali menyebutnya dengan panggilan ayah, untuk anaknya. Hal semacam itu terjadi hampir setiap hari. Bagaimana Alinda bisa tahu? Tentu saja. Keduanya bekerja di sebuah kantor yang sama.

Keduanya diam, meski tetap tak menimbulkan suasana canggung. Sibuk dengan masing-masing minuman yang tak banyak berkurang.

Persis di depan mereka, ada tiga orang perempuan yang duduk berjajar menghadap pohon-pohon di ladang tak jauh dari kedai. Jika tampak dari usia mereka, seperti seorang ibu dan dua orang anak. Mereka tampak begitu harmonis dan menyenangkan untuk dipandang. Bercakap-cakap, tertawa, dan saling menyuapi makanan. Tiba-tiba Suta membayangkan istrinya.

***

Suta berdiri dengan canggung, memandang ke luar kaca sebuah gedung lantai 16. Menunggu entah sambil menyaksikan jalan-jalan dan gedung di bawah yang seolah miniatur sebuah kota. Ia merasakan sepi yang teramat. Dan sendirian. Meskipun sesungguhnya tentu saja tidak. Ada ibunya, ayahnya, istrinya, anaknya ....

Sebuah panggilan masuk. Alinda. Nama itu bergerak-gerak di layar ponselnya. Ia memilih tidak memberikan respon apa-apa. Biar saja, pikirnya.

“Bagaimana rasanya menjadi seekor burung?”

Ia bertanya dan gagal menjawab untuk dirinya sendiri. Apakah semua pertanyaan butuh jawaban? Sepertinya tidak. Ada pertanyaan yang lahir hanya untuk menghibur, agar tampak seolah-olah manusia bisa berpikir. Padahal tidak pernah ada yang menjawab dan tetap hidup sebagai rahasia.

Tentang rahasia, tiba-tiba ia merasa bersalah. Bagaimana mungkin ia bisa dengan mudah bercerita tentang keburukan istrinya? Atau jika itu bukanlah sebuah keburukan, setidaknya ia membicarakan kekeliruan istrinya. Dan yang paling penting dan mengherankannya adalah bahwa orang itu juga seorang perempuan. Ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.

Sebuah pesan masuk:

Tak masalah bahwa kau menceritakan masalahmu. Aku akan tetap mendengarnya. Jangan merasa bersalah atau apa pun. Tak ada manusia yang sanggup menanggung beban sendirian. Bahkan jika manusia itu adalah kau.

Alianda mengenal Suta dengan baik. Ia lelaki yang kehadirannya kerap membuat orang-orang di sekitarnya tertawa. Terbahak-bahak. Bahkan jika saja memungkinkan, sampai berguling-guling dengan air di sudut-sudut mata. Air mata kegembiraan. Dan bukankah setiap orang menyukai hal-hal yang lucu?

Alinda tak jauh berbeda. Ia juga terlalu periang dan mampu memecahkan suasana hening. Keduanya sangat cocok berada di satu panggung yang sama.

Bahkan seorang komedian pun seringkali lebih layak untuk dihibur.

Sebuah pesan kembali menyusul masuk ke ponselnya.

Ia masih tak berminat membalas. Sampai pada sebuah pesan lain:

Kamu menerima sebuah kartu pos!

Kartu pos? Itu adalah sebuah gambar bergerak berlatar senja dengan langit berwarna biru. Warna yang hening. Sebuah amplop bergoyang-goyang di antaranya, seolah ia benar-benar mendapat sebuah pesan.

Jangan bunuh diri!

Mau tidak mau, pesan itu yang kemudian membuatnya tertawa geli. Bagaimana Alinda bisa berpikir begitu? Bukankah itu sungguh lucu? Tapi kemudian ia ingat telah membagi sebuah gambar di status media sosialnya. Gambar miniatur kota yang dipotret dari lantai 16 sebuah gedung ...

Ia membalas pesan itu:

Setidaknya untuk saat ini, aku belum cukup gila.

***

Cangkir-cangkir Alinda tidak hanya berjumlah satu. Ada macam-macam bentuk, ukuran, dan warna. Biasanya ia menyesuaikan dengan keinginan. Tidak ada aturan yang ketat untuk menggunakannya. Kadang-kadang ia menggunakan cangkir warna merah jika perasaannya sedang baik-baik saja. Warna biru jika sedang bahagia, warna putih jika sedang agak kacau, warna oranye jika sedang hangat, warna bening jika sedang ingin serius memikirkan sesuatu . Tentu saja isinya bisa bermacam-macam, tidak harus kopi, walaupun ia telanjur percaya bahwa kopi bisa mendatangkan ide-ide di kepalanya.

Hari ini Minggu dan ia memilih untuk pekerjaan sampingan. Mengajar privat. Ia memang bukan orang yang suka berdiam diri dan lebih memerlukan untuk tetap sibuk. Ia menikmati kesibukannya dan cukup bahagia. Cukup.

Pagi hari ketika matahari belum terlalu tinggi, ia duduk di teras rumahnya dengan secangkir kopi dan sebuah buku yang nama penulisnya tak terlalu ia kenal. Kali ini ia memilih cangkir berwarna bening. Ia tidak tahu mengapa memilih warna itu, sebelum pada akhirnya sebuah pesan masuk:

Mengapa dulu aku tak memilihmu saja, Alinda?[]

Kendal, 9 Januari 2019

2 komentar: