28 Januari 2014
RAMAYA
Cerpen Fina Lanahdiana (Pikiran Rakyat, 26 Januari 2014)
Sebenarnya aku tidak
menyarankanmu membaca cerita ini, mungkin bagimu tidak penting. Tapi aku ingin
sekali bercerita, aku tidak peduli apakah cerita ini akan mendapatkan pambaca
atau tidak. Ini adalah kisah seorang gadis cermin yang anggun dan jelita, namun
ia begitu pendiam dan memancarkan air mata.
Seorang gadis sedang duduk di beranda rumahnya. Ia
gemar sekali melahap senja di setiap
hari saat matahari berangsur turun ditelan bumi. Di matanya tidak ada apa-apa.
Hanya bulatan hitam seperti mata manusia pada umumnya. Namun tidak, matanya
seperti alat pemutar film yang menceritakan banyak kisah. Hanya dengan matanya
ia bicara, mirip sekali dengan lensa kamera.
Aku tidak terlalu
mengenalnya. Memang benar ia salah seorang tetanggaku, rumah kami haya berjarak
tiga petak rumah saja. Tapi seperti yang kubilang, ia hanya berbicara dengan
matanya, sehingga aku hampir tak pernah menanyakan banyak hal tentangnya,
karena aku memang tidak bisa berbicara dengan mata seperti yang ia lakukan atau
aku akan lebih memilih melupakan banyak hal di dalam kepalaku.
Singkat cerita, gadis
itu bernama Ramaya. Ia cantik dengan bola mata indah yang pandai memutar cerita,
kulitnya putih mengkilat, tempurung kepalanya ditumbuhi rambut lurus yang menjuntai
sepanjang pinggul. Aku seringkali mengamatinya diam-diam saat ia begitu
lahapnya menikmati senja. Sungguh, demikian setiap hari yang ia lakukan. Barangkali
ia lapar serupa orang yang berhari-hari melupakan makan. Selalu, setiap
menjelang senja ia akan duduk menghadap ke arah matahari yang semakin angslup.
Cahaya jingga berjatuhan di wajahnya, ia semakin
keemasan, matanya menyala-nyala, kemudian begitu mahirnya merangkai dan memutar
cerita. Ia tertawa, bahagia, bersedih, menangis. Aku seperti sedang menyaksikan
adegan televisi yang dipenuhi dengan cerita orang-orang yang ingin cepat
menjadi kaya, menjadi seorang putri yang dinikahi oleh pangeran impiannya, atau
bahkan kisah anak jalanan yang bermimpi mempunyai keluarga baru. Setiap hari
demikian aku menyaksikannya diam-diam, dari jarak sekian meter di belakangnya
aku ikut tertawa, menangis, bahagia, sedih, ataupun marah-marah. Hm, aku
merasakan diriku ada di dalam matanya--meskipun aku sama sekali tidak
memahaminya--atau mungkin hatinya?
Terkadang ia menengok
ke belakang, seolah sengaja ingin melihat siapa-siapa saja yang tengah
melihatnya menikmati senja. Tiba-tiba saja aku menjadi begitu gugup, aku tak
ingin dirinya tahu aku sedang memperhatikannya diam-diam, mencuri
cerita-ceritanya. Jika sudah demikian, aku akan diam dan berharap ia segera
mengalihkan pandangannya ke depan, sehingga ia tak pernah tahu aku sedang mengawasinya.
Aku masih ingat
betul, dulu kampung kami dibuat gaduh oleh berita kelahirannya. Tidak banyak
yang aneh sebenarnya, ia serupa dengan bayi-bayi perempuan pada umumnya dengan
anggota badan yang utuh. Hanya saja di dekat matanya seperti ada tombol yang
kapanpun bisa memancarkan mata air--atau mungkin air mata. Di dadanya ada
sebuah cermin datar yang pada waktu tertentu terlihat begitu transparan,
menyerupai kaca yang semakin lama semakin menipis dan mudah sekali menjadi
pecahan-pecahan. Jika sudah seperti itu, kami tak berani mendekatinya. Pecahan
kaca itu tajam dan sewaktu-waktu bisa melukai tubuh kami yang manusia.
Ibunya tak banyak
bicara sejak melahirkan gadis itu. Ia memperlakukan anak satu-satunya itu
dengan buaian kasih sayang. Sesekali ibunya memperdengarkan cerita untuknya
agar ia tak perlu banyak bertanya di mana ayahnya yang tak pernah ingin
mengenalnya atau ia akan pecah dan kepingan-kepingan tubuhnya terburai, kemudian
ia akan menampung air dari tubuhnya sendiri. Bahkan sampai kini saat Ramaya
tumbuh menjadi gadis dewasa, ibunya masih saja gemar bercerita perihal dongeng Sangkuriang
yang berhasil membunuh ayahnya sendiri, yang kemudian lepas dari kutukan
sebagai anjing agar perempuan itu tak melulu bertanya dimana ayahnya. Ibunya
ingin ia menganggap bahwa ayahnya itu adalah si Tumang anjing yang pergi entah
kemana.
“Terkutuklah kau
sebagai laki-laki yang tidak mengurus anakmu untuk menjadikan dirimu sebagai
seorang Ayah! Kau bahkan sama saja membiarkan anakmu kelak menjadi sebuah
cermin datar yang mudah pecah dan sia-sia.” Demikian kalimat yang meluncur
tajam dari mulut seorang perempuan yang kini menjadi ibu Ramaya
***
Ramaya memang banyak
diam. Ia menghabiskan jam dinding di rumahnya hanya untuk melamun dan tak melakukan
apa-apa. Sepanjang hari ibunya tetap melapangkan dadanya untuk menampung
pecahan-pecahan kaca.
Pada suatu hari yang
sunyi aku kembali melihat gadis itu, ia tampak menunggu entah siapa. Tangannya
sibuk memukul-mukulkan bambu kering sebesar pergelangan lengannya ke atas
tanah, ia dihujani kecemasan. Namun ia tak segera masuk ke dalam rumah.
Aku masih
memperhatikannya, tak lama ia dihampiri seorang pemuda tampan di teras rumahnya.
Ia segera mengajak tamunya itu untuk sekadar duduk menikmati secangkir teh.
“Kau haus, kan?” Gadis
itu memulai percakapan.
Hei, bahkan aku
salah, gadis itu juga masih manusia. Ia bukan lensa kamera yang bercerita
dengan matanya, maksudku ia kamera yang juga mengeluarkan suara--semacam
televisi mungkin.
Tak lama pemuda itu
mengulurkan tangannya di atas meja, barangkali ia berharap gadis itu juga
membalas uluran tangannya. Namun ternyata tidak, perempuan itu mendekatkan
secangkir teh tepat di depan si pemuda.
“Terima kasih,
Ramaya. Aku Bagus,”
“Ya, aku sudah tahu.
Bukankah kita memang sudah pernah kenal sebelum ini?”
“Entahlah, aku tak
terlalu ingat, mungkin iya,” Pemuda di hadapan Ramaya itu tampak berpikir, “Ah,
aku ingat! Kita bertemu di sebuah pasar saat Minggu sore kau tengah menunggu ibumu
untuk berbelanja, ah ya itu dia,”
“Haha, kau lucu.”
Mereka tertawa
bersama-sama.
Aku semakin mendekati
mereka berdua: Ramaya dan pemuda itu. Mereka begitu dekat dan hangat. Sementara
ibu Ramaya tengah menyiapkan aneka macam menu makan siang di atas meja untuk
mereka santap bersama-sama—tersedia tempe goreng, sambel, nasi hangat, lalapan,
ikan gurami, dan perkedel kentang yang diletakkan di atas cobek dengan alas
daun pisang. Ibunya tak keberatan
pemuda itu semakin gemar mendatangi rumahnya, bukan untuk menemuinya tapi untuk
menemui anaknya.
Setiap pemuda itu
ingin mengajak anak gadisnya keluar rumah, ibunya tak pernah marah. Ia tak
banyak bertanya hendak kemana kaki anaknya itu akan dibawa, yang ia tahu
anaknya diajak kencan dengan alasan jalan-jalan cari angin di luar rumah.
Aroma sawah begitu
kental tercium olehku, juga angin sepoi-sepoi yang hijaunya mengalahkan
hamparan tanaman padi. Sesekali mereka saling berkejaran di jalan setapak yang
lekuk oleh hujan yang mengguyur semalaman. Kemudian akan segera merebahkan
punggung yang lelah pada sebuah gubuk kecil yang sederhana—terletak di
tengah-tengah hamparan sawah yang tampak subur.
Namun rupanya itu
semua hanya sebentar saja. Pemuda itu menghilang dengan tiba-tiba. Gadis itu
kembali merenung di beranda rumahnya. Ia seperti layang-layang yang kehilangan
arah mata angin. Matanya kembali bercerita sebagai lensa kamera, tatapan
matanya kembali kosong dan tak ada apa-apa. Kisah yang ia ceritakan semakin
membuat dirinya kembali pecah berulangkali, cermin kaca di dadanya semakin
jatuh berkeping.
Ibunya masih tak bisa
berbuat banyak, ia hanya sering menawarkan makan untuk anak gadisnya itu, tapi
anaknya semakin pecah, semakin panas, semakin leleh oleh ingatan-ingatan.
Sesekali ibunya juga menawarkan lem untuk merekatkan kembali dadanya yang
menjadi barang pecah belah yang berserakan di lantai. Namun ia sering menolaknya,
dan ingin membiarkan dirinya yang cermin itu tetap pecah tanpa peduli apa yang
akan dikatakan tetangganya--yang kutahu di belakangnya, ia dibicarakan banyak ibu-ibu
arisan yang menunggu nasib mereka pada sebuah kertas dalam sedotan.
Bahkan ia masih berharap
pemuda itu datang memunguti dirinya yang berserakan di lantai, menyapu beling
yang tidak terpakai untuk kemudian dijual kepada pemasok yang nantinya akan
dijadikan sebagai mozaik souvenir pernikahan yang cantik.
Namun rupanya pemuda
itu tak pernah datang, entah apakah ia juga dikutuk menjadi anjing seperti
ayahnya yang diceritakan ibunya setiap kali mulai mendongeng--agar ia segera
lupa dan menganggap ayahnya tak pernah ada, sebab ia telah menjelma seekor
anjing yang tidak lebih baik daripada manusia yang katanya diciptakan sempurna
oleh Tuhan.
Gadis itu tak pernah
bermimpi menjadi tokoh cinderella dalam dongeng yang memiliki saudara dan
ibu tiri yang jahat, sebab ia memang bukan saudara tiri ataupun anak tiri dari
siapapun—kemudian didatangi seorang peri yang membuatkannya gaun yang indah
untuk menghadiri pesta seorang pangeran. Karena ia telah memiliki ibu yang
tabah merawatnya sebagai gadis cermin yang bercahaya. Meskipun mudah patah namun
ia masih bisa bermanfaat bagi siapa saja yang ada di sekelilingnya, meski ia
seringkali merasa percuma dan sia-sia.
***
Dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun,
semakin banyak yang percaya bahwa Ramaya yang kini beranjak dewasa itu bukanlah
sekedar gadis cermin yang sia-sia dan mudah memelihara luka. Orang-orang
bertandang ke rumahnya, mereka percaya air yang mengalir dari matanya itu bisa
menyembuhkan berbagai macam luka, bahkan ada yang terang-terangan meminta
pecahan kaca di tubuhnya untuk kemudian dijadikan alat penampung luka. Banyak
yang sudah membuktikan, sehingga orang-orang di kampungku tidak perlu lagi
obat-obatan atau jarum suntik untuk menyembuhkan luka. Mereka hanya perlu
meminjam pecahan kaca di dada Ramaya untuk menampung ukiran-ukiran luka,
kemudian, mereka akan sembuh dan seketika melupakannya.
Ya, begitulah gadis cermin yang sewaktu-waktu tetap
menjadi belahan-belahan kaca agar orang-orang di sekitarnya segera melupakan
air mata. Ia menyimpan kesedihan-kesedihan pada pecahan kaca yang dipunguti
orang-orang. Ia mulai percaya kebahagiaan.
Desember, 2013
Langganan:
Postingan (Atom)