28 Januari 2014

Lomba Menulis Cerpen Nasional Tingkat Mahasiswa DL 16 April 2014


RAMAYA

Cerpen Fina Lanahdiana (Pikiran Rakyat, 26 Januari 2014)

            Sebenarnya aku tidak menyarankanmu membaca cerita ini, mungkin bagimu tidak penting. Tapi aku ingin sekali bercerita, aku tidak peduli apakah cerita ini akan mendapatkan pambaca atau tidak. Ini adalah kisah seorang gadis cermin yang anggun dan jelita, namun ia begitu pendiam dan memancarkan air mata.
Seorang gadis sedang duduk di beranda rumahnya. Ia gemar sekali melahap senja di  setiap hari saat matahari berangsur turun ditelan bumi. Di matanya tidak ada apa-apa. Hanya bulatan hitam seperti mata manusia pada umumnya. Namun tidak, matanya seperti alat pemutar film yang menceritakan banyak kisah. Hanya dengan matanya ia bicara, mirip sekali dengan lensa kamera.
            Aku tidak terlalu mengenalnya. Memang benar ia salah seorang tetanggaku, rumah kami haya berjarak tiga petak rumah saja. Tapi seperti yang kubilang, ia hanya berbicara dengan matanya, sehingga aku hampir tak pernah menanyakan banyak hal tentangnya, karena aku memang tidak bisa berbicara dengan mata seperti yang ia lakukan atau aku akan lebih memilih melupakan banyak hal di dalam kepalaku.
            Singkat cerita, gadis itu bernama Ramaya. Ia cantik dengan bola mata indah yang pandai memutar cerita, kulitnya putih mengkilat, tempurung kepalanya ditumbuhi rambut lurus yang menjuntai sepanjang pinggul. Aku seringkali mengamatinya diam-diam saat ia begitu lahapnya menikmati senja. Sungguh, demikian setiap hari yang ia lakukan. Barangkali ia lapar serupa orang yang berhari-hari melupakan makan. Selalu, setiap menjelang senja ia akan duduk menghadap ke arah matahari yang semakin angslup.
Cahaya jingga berjatuhan di wajahnya, ia semakin keemasan, matanya menyala-nyala, kemudian begitu mahirnya merangkai dan memutar cerita. Ia tertawa, bahagia, bersedih, menangis. Aku seperti sedang menyaksikan adegan televisi yang dipenuhi dengan cerita orang-orang yang ingin cepat menjadi kaya, menjadi seorang putri yang dinikahi oleh pangeran impiannya, atau bahkan kisah anak jalanan yang bermimpi mempunyai keluarga baru. Setiap hari demikian aku menyaksikannya diam-diam, dari jarak sekian meter di belakangnya aku ikut tertawa, menangis, bahagia, sedih, ataupun marah-marah. Hm, aku merasakan diriku ada di dalam matanya--meskipun aku sama sekali tidak memahaminya--atau mungkin hatinya?
            Terkadang ia menengok ke belakang, seolah sengaja ingin melihat siapa-siapa saja yang tengah melihatnya menikmati senja. Tiba-tiba saja aku menjadi begitu gugup, aku tak ingin dirinya tahu aku sedang memperhatikannya diam-diam, mencuri cerita-ceritanya. Jika sudah demikian, aku akan diam dan berharap ia segera mengalihkan pandangannya ke depan, sehingga ia tak pernah tahu aku sedang mengawasinya.
            Aku masih ingat betul, dulu kampung kami dibuat gaduh oleh berita kelahirannya. Tidak banyak yang aneh sebenarnya, ia serupa dengan bayi-bayi perempuan pada umumnya dengan anggota badan yang utuh. Hanya saja di dekat matanya seperti ada tombol yang kapanpun bisa memancarkan mata air--atau mungkin air mata. Di dadanya ada sebuah cermin datar yang pada waktu tertentu terlihat begitu transparan, menyerupai kaca yang semakin lama semakin menipis dan mudah sekali menjadi pecahan-pecahan. Jika sudah seperti itu, kami tak berani mendekatinya. Pecahan kaca itu tajam dan sewaktu-waktu bisa melukai tubuh kami yang manusia.
            Ibunya tak banyak bicara sejak melahirkan gadis itu. Ia memperlakukan anak satu-satunya itu dengan buaian kasih sayang. Sesekali ibunya memperdengarkan cerita untuknya agar ia tak perlu banyak bertanya di mana ayahnya yang tak pernah ingin mengenalnya atau ia akan pecah dan kepingan-kepingan tubuhnya terburai, kemudian ia akan menampung air dari tubuhnya sendiri. Bahkan sampai kini saat Ramaya tumbuh menjadi gadis dewasa, ibunya masih saja gemar bercerita perihal dongeng Sangkuriang yang berhasil membunuh ayahnya sendiri, yang kemudian lepas dari kutukan sebagai anjing agar perempuan itu tak melulu bertanya dimana ayahnya. Ibunya ingin ia menganggap bahwa ayahnya itu adalah si Tumang anjing yang pergi entah kemana.
            “Terkutuklah kau sebagai laki-laki yang tidak mengurus anakmu untuk menjadikan dirimu sebagai seorang Ayah! Kau bahkan sama saja membiarkan anakmu kelak menjadi sebuah cermin datar yang mudah pecah dan sia-sia.” Demikian kalimat yang meluncur tajam dari mulut seorang perempuan yang kini menjadi ibu Ramaya
***
            Ramaya memang banyak diam. Ia menghabiskan jam dinding di rumahnya hanya untuk melamun dan tak melakukan apa-apa. Sepanjang hari ibunya tetap melapangkan dadanya untuk menampung pecahan-pecahan kaca.
            Pada suatu hari yang sunyi aku kembali melihat gadis itu, ia tampak menunggu entah siapa. Tangannya sibuk memukul-mukulkan bambu kering sebesar pergelangan lengannya ke atas tanah, ia dihujani kecemasan. Namun ia tak segera masuk ke dalam rumah.
            Aku masih memperhatikannya, tak lama ia dihampiri seorang pemuda tampan di teras rumahnya. Ia segera mengajak tamunya itu untuk sekadar duduk menikmati secangkir teh.
            “Kau haus, kan?” Gadis itu memulai percakapan.
            Hei, bahkan aku salah, gadis itu juga masih manusia. Ia bukan lensa kamera yang bercerita dengan matanya, maksudku ia kamera yang juga mengeluarkan suara--semacam televisi mungkin.
            Tak lama pemuda itu mengulurkan tangannya di atas meja, barangkali ia berharap gadis itu juga membalas uluran tangannya. Namun ternyata tidak, perempuan itu mendekatkan secangkir teh tepat di depan si pemuda.
            “Terima kasih, Ramaya. Aku Bagus,”
            “Ya, aku sudah tahu. Bukankah kita memang sudah pernah kenal sebelum ini?”
            “Entahlah, aku tak terlalu ingat, mungkin iya,” Pemuda di hadapan Ramaya itu tampak berpikir, “Ah, aku ingat! Kita bertemu di sebuah pasar saat Minggu sore kau tengah menunggu ibumu untuk berbelanja, ah ya itu dia,”
            “Haha, kau lucu.”
            Mereka tertawa bersama-sama.
            Aku semakin mendekati mereka berdua: Ramaya dan pemuda itu. Mereka begitu dekat dan hangat. Sementara ibu Ramaya tengah menyiapkan aneka macam menu makan siang di atas meja untuk mereka santap bersama-sama—tersedia tempe goreng, sambel, nasi hangat, lalapan, ikan gurami, dan perkedel kentang yang diletakkan di atas cobek dengan alas daun pisang.    Ibunya tak keberatan pemuda itu semakin gemar mendatangi rumahnya, bukan untuk menemuinya tapi untuk menemui anaknya.
            Setiap pemuda itu ingin mengajak anak gadisnya keluar rumah, ibunya tak pernah marah. Ia tak banyak bertanya hendak kemana kaki anaknya itu akan dibawa, yang ia tahu anaknya diajak kencan dengan alasan jalan-jalan cari angin di luar rumah.
            Aroma sawah begitu kental tercium olehku, juga angin sepoi-sepoi yang hijaunya mengalahkan hamparan tanaman padi. Sesekali mereka saling berkejaran di jalan setapak yang lekuk oleh hujan yang mengguyur semalaman. Kemudian akan segera merebahkan punggung yang lelah pada sebuah gubuk kecil yang sederhana—terletak di tengah-tengah hamparan sawah yang tampak subur.
            Namun rupanya itu semua hanya sebentar saja. Pemuda itu menghilang dengan tiba-tiba. Gadis itu kembali merenung di beranda rumahnya. Ia seperti layang-layang yang kehilangan arah mata angin. Matanya kembali bercerita sebagai lensa kamera, tatapan matanya kembali kosong dan tak ada apa-apa. Kisah yang ia ceritakan semakin membuat dirinya kembali pecah berulangkali, cermin kaca di dadanya semakin jatuh berkeping.
            Ibunya masih tak bisa berbuat banyak, ia hanya sering menawarkan makan untuk anak gadisnya itu, tapi anaknya semakin pecah, semakin panas, semakin leleh oleh ingatan-ingatan. Sesekali ibunya juga menawarkan lem untuk merekatkan kembali dadanya yang menjadi barang pecah belah yang berserakan di lantai. Namun ia sering menolaknya, dan ingin membiarkan dirinya yang cermin itu tetap pecah tanpa peduli apa yang akan dikatakan tetangganya--yang kutahu di belakangnya, ia dibicarakan banyak ibu-ibu arisan yang menunggu nasib mereka pada sebuah kertas dalam sedotan.
            Bahkan ia masih berharap pemuda itu datang memunguti dirinya yang berserakan di lantai, menyapu beling yang tidak terpakai untuk kemudian dijual kepada pemasok yang nantinya akan dijadikan sebagai mozaik souvenir pernikahan yang cantik.
            Namun rupanya pemuda itu tak pernah datang, entah apakah ia juga dikutuk menjadi anjing seperti ayahnya yang diceritakan ibunya setiap kali mulai mendongeng--agar ia segera lupa dan menganggap ayahnya tak pernah ada, sebab ia telah menjelma seekor anjing yang tidak lebih baik daripada manusia yang katanya diciptakan sempurna oleh Tuhan.
            Gadis itu tak pernah bermimpi menjadi tokoh cinderella dalam dongeng yang memiliki saudara dan ibu tiri yang jahat, sebab ia memang bukan saudara tiri ataupun anak tiri dari siapapun—kemudian didatangi seorang peri yang membuatkannya gaun yang indah untuk menghadiri pesta seorang pangeran. Karena ia telah memiliki ibu yang tabah merawatnya sebagai gadis cermin yang bercahaya. Meskipun mudah patah namun ia masih bisa bermanfaat bagi siapa saja yang ada di sekelilingnya, meski ia seringkali merasa percuma dan sia-sia.
***
Dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, semakin banyak yang percaya bahwa Ramaya yang kini beranjak dewasa itu bukanlah sekedar gadis cermin yang sia-sia dan mudah memelihara luka. Orang-orang bertandang ke rumahnya, mereka percaya air yang mengalir dari matanya itu bisa menyembuhkan berbagai macam luka, bahkan ada yang terang-terangan meminta pecahan kaca di tubuhnya untuk kemudian dijadikan alat penampung luka. Banyak yang sudah membuktikan, sehingga orang-orang di kampungku tidak perlu lagi obat-obatan atau jarum suntik untuk menyembuhkan luka. Mereka hanya perlu meminjam pecahan kaca di dada Ramaya untuk menampung ukiran-ukiran luka, kemudian, mereka akan sembuh dan seketika melupakannya.
Ya, begitulah gadis cermin yang sewaktu-waktu tetap menjadi belahan-belahan kaca agar orang-orang di sekitarnya segera melupakan air mata. Ia menyimpan kesedihan-kesedihan pada pecahan kaca yang dipunguti orang-orang. Ia mulai percaya kebahagiaan.

Desember, 2013