26 Februari 2013

PUISI-PUISI PENDEK YANG LAHIR BULAN JANUARI


Pada Suatu Musim Hujan

udara masih dingin
kabut tebal tumbuh pada derajat celcius yang semakin subuh
aku bangun dari malam yang jaga;
beginilah, jam tidur sering menyala sia-sia
“lerailah rindu, mataku yang tiba-tiba menjadi kamu”

Januari 2013

Bayang Pertanyaan

orang-orang begitu haus;
perasaan yang begitu saja bertandang
seperti halnya mimpi panjang
yang dikejar-kejar pertanyaan
pada masing-masing buku pelajaran

ia menulis catatan-catatan;
di tangan kanannya menggenggam sebuah pensil yang ajaib
sementara di tangan kirinya begitu saja tumbuh penghapus

mesin foto kopi berterbangan di kepala
kamu, dia, yang mana?

Januari 2013

Telepon Genggam

dan diantara aku dan kamu ada semacam
sungai panjang yang mengular
kita terbiasa duduk memperbincangkan entah
yang membuat kita betah berlama-lama kehabisan pulsa

aku tak henti-hentinya mengucap selamat datang kepada ingatan
agar kelak tek perlu terlalu sering membeli isi ulang;
ini menjadi semacam dehidrasi ringan yang ternyata lebih panjang
daripada kebiasaan begadang

Januari 2013

Perjanjian Jari Manis

tersebab pertemuan menjadi semacam ikrar
pada masing-masing kita untuk tidak membesarkan ingkar
jari manis ini lonceng jam bagi bunyi;
yang dengannya jarak akan tunduk pada rindu yang berlabuh
seperti halnya perahu yang menepi untuk menunggu matahari
kembali meninggi esok hari
kemudian deretan panjang alasan yang dibuat-buat oleh angin
adalah rumah teduh bagi hujan yang dingin

Januari 2013

Virus

ia serupa perasaan tak enak badan yang begitu cepat mengalir
memasuki setiap gang tak berpalang
semakin kita melawan
maka ia akan semakin menang

Januari 2013

2 PUISI FINA LANAHDIANA DI BULETIN JEJAK (Ed. 20/ Nov 2012)


LELAKI YANG BERDIRI PADA KAKI SENDIRI

i.
kita tak pernah saling mengenal, ataukah kita memang sedang bermain
peran bahwa hidup ini terlalu jujur untuk diaminkan  sebagai pura-pura?
aku duduk, lalu kau dengan riangnya membiarkan bibirmu menjahit telingaku;

“hidup ini bukan soal seberapa sering kita mendapat perkara,
namun seberapa licin kita telah memberi peran pada jari-jari kita”

barangkali ada saat yang tepat dimana kita mesti saling menukar kacamata;
kau yang tiba-tiba membangunkan kepala menelusuri kaki jalanan ysng semakin kota
yang kerap membunyikan nada-nada tabah yang tak kunjung menjadi sampah

ii.
detik begitu payah menyalakan detak alarm
yang dengannya kau bisa melupakan khawatir
yang kian getir*

kota ini begitu geram;
hingga garam-garam bercucuran daru matamu yang lebam

iii.
tak ada yang mesti ditasbihkan dengan tafsir-tafsir yang musafir
selain emperan jalan yang lebih menyerupai comberan
gedung, lampu, serta deretan toko yang gemar menjajakan rasa lapar;
adalah semacam alpabet yang entah sampai kapan akan saling berebut bermacam perayaan
hingga meluangkan bunyi klakson ataupun kemacetan yang serupa peluit yang menjerit

kesunyian ini barangkali hendak bercerita tentangmu, tentang kita
bahwa semestinya kemana kaki hendak diayun-langkahkan
adalah pilihan yang mesti dipisah-pilahkan.

Kendal, Apr-Juli 2012



ANAK GUNUNG

pada sebuah dataran tinggi yang hening; pagi-pagi sekali
jam telah membangunkan bocah-bocah untuk menjual matahari
sebelum burung-burung turun untuk mengepakkan sayap lebih tinggi
“dan kami telah ditakdirkan untuk menjadi penunggu pagi”

kemudian mereka memanggul caping yang menjadi saksi
bahwa cadas tak mesti menjadikan mereka merawat rasa malas

seorang gadis merogoh uang di saku celananya,
 menawar berapa harga yang mesti ia tukar dengan caping di kepala mereka
yang penuh dengan peta; cita-cita

pada siang hari, sengaja tak ada ritual tidur siang yang merentangkan lengan
mereka lebih memilih untuk menyaksikan turis;
yang memindahkan diri mereka kedalam sebuah kotak kamera
sebagai catatan yang kami sebut sebagai perumpamaan dari kenangan.

pada malam hari, mereka menyerahkan sepenuhnya tenaga kepada dahaga
kemudian lelaplah rasa kantuk yang meluap-luap menjadi semacam angin yang terkutuk
untuk menyalakan jati diri esok hari; berulangkali.

Kendal, Juli 2012


23 Februari 2013

2 PUISI FINA LANAHDIANA DI MAYOKOAIKO.COM (#1 Jumat, 22 Feb 2013)

KEPADA SEBUAH INISIAL
:Li

Li, jam seperti kertas terbang yang berhamburan di halaman
di luar, jendela semakin basah oleh goresan jarum gerimis yang jatuh dari langit
menjadi kipas bagi tubuh udara yang kelak menjadi angin

sementara wajahmu tak henti-hentinya
mencelupkan diri ke dalam kepalaku
yang berlubang oleh ingatan-ingatan

di beranda, aku merangkul kesepian ini dengan hangat
ia menjadi tubuh lain yang menerobos jaket
kemudian melipat bermacam kemalasan yang cemas

masih aku rawat masa kecil kita
yang jatuh bangun oleh sepeda tua;
berharap kelak kaki kita lihai menapaki jalan-jalan
yang penuh tanjakan-turunan

bagaimana kabar jakarta, li
disini kopi semakin dingin disesapi angin

Kendal, Februari 2013


JANGAN PERCAYA RAMALAN CUACA

akhir-akhir ini musim memang tidak sedang menyuruh kita
untuk mempercayai ramalan cuaca
tidak juga mengajarkan kita untuk curiga pada langit yang diam-diam mengamati kita
yang pandai melempar kesalahan-kesalahan–
pada cerobong asap ataupun sampah-sampah yang menyumbat mulut sungai yang panjang

begitu juga kau yang setiap malam
menampar wajahmu dengan rindu
yang runtuh dari tiap-tiap kedalaman matamu

sampai pada suatu siang matahari kehilangan keseimbangan
dikalahkan awan yang jatuh sakit

gerimis menjadi semacam pelunasan hutang-hutang
atas jarak yang memelihara engkau dan kekasihmu
yang menjadi alasan untuk tetap percaya pada perjanjian kata-kata

di halaman rumah kau merentangkan kedua lengan;
‘hei, tahukah kau sayang. aku memelukmu, aku memelukmu!”

Kendal, Februari 2013

Sumber: MayokoAiko.com

11 Februari 2013

Percakapan

terkadang aku begitu ingin bercerita tentang banyak hal
tapi kemudian tak mengingat apa-apa.

GAMBAR YANG INGIN BERCERITA BEGITU SAJA


:Zahara Putri

i.
aku mengenalmu sebagai pesan-pesan
yang lahir dari keypad telepon genggam yang licin
barangkali semacam ikan-ikan yang berenang
mencari dimana letak muara

kau banyak bercerita
kau ingin menjadi lidah bagi puisi yang ingin lahir tiba-tiba
seberapa kaki engkau telah melapangkan lenganmu
demi rentang yang kau sebut sebagai cita-cita?

ii.
ini menjadi suatu lanskap
bahwa sapa tak melulu mesti menemu rupa

di sebuah jendela; di beranda kau duduk
masih kau rawat sebuah lengkung di bibirmu pada sebuah kamera
dan begitukah kau menempuh jalan-jalan sebagai ingatan?

iii.
selanjutnya banyak pertanyaan yang hilir mudik
dari sebuah ruang kelas yang membesarkan—menumbuhkan kita
sebagai kata-kata
dimana di dalamnya kita mesti saling mengikat jabat lambaian tangan
untuk tak lupa mengucap selamat datang-- semangat untuk menang

cerita-cerita lahir
gambar-gambar segera menuliskan bayangannya
pada putar kepala begitu saja.

Kalirandugede, 4 Februari 2013