26 Februari 2013

2 PUISI FINA LANAHDIANA DI BULETIN JEJAK (Ed. 20/ Nov 2012)


LELAKI YANG BERDIRI PADA KAKI SENDIRI

i.
kita tak pernah saling mengenal, ataukah kita memang sedang bermain
peran bahwa hidup ini terlalu jujur untuk diaminkan  sebagai pura-pura?
aku duduk, lalu kau dengan riangnya membiarkan bibirmu menjahit telingaku;

“hidup ini bukan soal seberapa sering kita mendapat perkara,
namun seberapa licin kita telah memberi peran pada jari-jari kita”

barangkali ada saat yang tepat dimana kita mesti saling menukar kacamata;
kau yang tiba-tiba membangunkan kepala menelusuri kaki jalanan ysng semakin kota
yang kerap membunyikan nada-nada tabah yang tak kunjung menjadi sampah

ii.
detik begitu payah menyalakan detak alarm
yang dengannya kau bisa melupakan khawatir
yang kian getir*

kota ini begitu geram;
hingga garam-garam bercucuran daru matamu yang lebam

iii.
tak ada yang mesti ditasbihkan dengan tafsir-tafsir yang musafir
selain emperan jalan yang lebih menyerupai comberan
gedung, lampu, serta deretan toko yang gemar menjajakan rasa lapar;
adalah semacam alpabet yang entah sampai kapan akan saling berebut bermacam perayaan
hingga meluangkan bunyi klakson ataupun kemacetan yang serupa peluit yang menjerit

kesunyian ini barangkali hendak bercerita tentangmu, tentang kita
bahwa semestinya kemana kaki hendak diayun-langkahkan
adalah pilihan yang mesti dipisah-pilahkan.

Kendal, Apr-Juli 2012



ANAK GUNUNG

pada sebuah dataran tinggi yang hening; pagi-pagi sekali
jam telah membangunkan bocah-bocah untuk menjual matahari
sebelum burung-burung turun untuk mengepakkan sayap lebih tinggi
“dan kami telah ditakdirkan untuk menjadi penunggu pagi”

kemudian mereka memanggul caping yang menjadi saksi
bahwa cadas tak mesti menjadikan mereka merawat rasa malas

seorang gadis merogoh uang di saku celananya,
 menawar berapa harga yang mesti ia tukar dengan caping di kepala mereka
yang penuh dengan peta; cita-cita

pada siang hari, sengaja tak ada ritual tidur siang yang merentangkan lengan
mereka lebih memilih untuk menyaksikan turis;
yang memindahkan diri mereka kedalam sebuah kotak kamera
sebagai catatan yang kami sebut sebagai perumpamaan dari kenangan.

pada malam hari, mereka menyerahkan sepenuhnya tenaga kepada dahaga
kemudian lelaplah rasa kantuk yang meluap-luap menjadi semacam angin yang terkutuk
untuk menyalakan jati diri esok hari; berulangkali.

Kendal, Juli 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar