i.
kita tak
pernah saling mengenal, ataukah kita memang sedang bermain
peran bahwa
hidup ini terlalu jujur untuk diaminkan
sebagai pura-pura?
aku duduk,
lalu kau dengan riangnya membiarkan bibirmu menjahit telingaku;
“hidup ini bukan soal seberapa sering kita
mendapat perkara,
namun seberapa licin kita telah memberi
peran pada jari-jari kita”
barangkali ada saat yang tepat dimana
kita mesti saling menukar kacamata;
kau yang tiba-tiba membangunkan kepala
menelusuri kaki jalanan ysng semakin kota
yang kerap membunyikan nada-nada
tabah yang tak kunjung menjadi sampah
ii.
detik begitu payah menyalakan
detak alarm
yang dengannya kau bisa melupakan
khawatir
yang kian getir*
kota ini begitu geram;
hingga garam-garam bercucuran
daru matamu yang lebam
iii.
tak ada yang mesti ditasbihkan
dengan tafsir-tafsir yang musafir
selain emperan jalan yang lebih
menyerupai comberan
gedung, lampu, serta deretan toko
yang gemar menjajakan rasa lapar;
adalah semacam alpabet yang entah
sampai kapan akan saling berebut bermacam perayaan
hingga meluangkan bunyi klakson
ataupun kemacetan yang serupa peluit yang menjerit
kesunyian ini barangkali hendak
bercerita tentangmu, tentang kita
bahwa semestinya kemana kaki
hendak diayun-langkahkan
adalah pilihan
yang mesti dipisah-pilahkan.
Kendal, Apr-Juli 2012
ANAK GUNUNG
pada sebuah dataran tinggi yang hening; pagi-pagi sekali
jam telah membangunkan bocah-bocah untuk menjual matahari
sebelum burung-burung turun untuk mengepakkan sayap lebih
tinggi
“dan kami telah
ditakdirkan untuk menjadi penunggu pagi”
kemudian mereka memanggul caping yang menjadi saksi
bahwa cadas tak mesti menjadikan
mereka merawat rasa malas
seorang gadis merogoh uang di
saku celananya,
menawar berapa harga yang mesti ia tukar
dengan caping di kepala mereka
yang penuh dengan peta; cita-cita
pada siang hari, sengaja tak ada
ritual tidur siang yang merentangkan lengan
mereka lebih memilih untuk
menyaksikan turis;
yang memindahkan diri mereka
kedalam sebuah kotak kamera
sebagai catatan yang kami sebut
sebagai perumpamaan dari kenangan.
pada malam hari, mereka
menyerahkan sepenuhnya tenaga kepada dahaga
kemudian lelaplah rasa kantuk
yang meluap-luap menjadi semacam angin yang terkutuk
untuk menyalakan jati diri esok
hari; berulangkali.
Kendal, Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar