30 Oktober 2012

PADA SEBUAH PANORAMA


kadang kita terlalu rumit untuk mengenal arti; untuk sampai tepat ukuran tumit
meski kita sudah terlampau sering memaksa mata untuk tak memejam-membuka
barangkali yang demikian adalah memang tak perlu untuk ditebak-tebak sebagaimana mestinya
kita tak perlu mengejanya seperti membaca abjad yang kadang memang membutakan dirinya; untuk kita

pada sebuah panorama, kita melihat gunung-gunung berdiri tanpa mengenal dimana laut berada
ia memanggul matahari yang menyala di atas kepalanya
kemudian sawah-sawah begitu luas terhampar yang mengajarkan kita untuk memandang yang demikian lapang

sampailah kita pada abad-abad purba, yang menceritakan bahwa hamparan sawah itu adalah serupa raja yang tengah berjalan; suasana yang damai melukiskan keindahan pedesaan.

2012

KEPADA LUMPUR, KEPADA DADA KITA


:Lapindo

“dan diantara lumpur yang genangannya mengambang itu, bukankah ada kita?”

tanah air kita ini barangkali adalah serupa kolam yang memelihara ikan-ikan
kemudian kita terlalu menyalakan gebu di dada; bahwa kita sepenuhnya adalah nelayan yang melemparkan jala bagi tungku yang memerlukan bara
namun kita kerap lupa di mana letak kepala yang sesungguhnya

adalah semacam batu yang dilemparkan angin kepada kita
pada lumpur yang kelak menjadi semangkuk bubur;
yang didalamnya ada dosa-dosa; ada kita.

2012

Di Manakah Dongeng Kita?

dulu saat usia kita masih sangat muda, bahkan masih meraba arah bicara
ibu kerap mengajari telinga untuk tak memalingkan muka
ia suka sekali mendengungkan suara yang kemudian membuat kita melupakan mata;
untuk tak memandang terlalu lama
“dongeng adalah cara paling mudah untuk kita tetap percaya”

namun abad rupanya cepat melupakan riwayat
televisi tumbuh pada masing-masing tubuh yang alpa atas nama merdeka

jendela-jendela yang terbuka membuat kita lupa
bagian mana saja yang mestinya menjadikan kita menyalakan kepala
maka terpujilah kata-kata yang masih merelakan dirinya sebagai jam tayang bagi anak-anak kita.


Kendal, 2012

Anak Gunung

pada sebuah dataran tinggi yang hening; pagi-pagi sekali
jam telah membangunkan bocah-bocah untuk menjual matahari
sebelum burung-burung turun untuk mengepakkan sayap lebih tinggi
“dan kami telah ditakdirkan untuk menjadi penunggu pagi”

kemudian mereka memanggul caping yang menjadi saksi
bahwa cadas tak mesti menjadikan mereka merawat rasa malas

seorang gadis merogoh uang di saku celananya,
 menawar berapa harga yang mesti ia tukar dengan caping di kepala mereka
yang penuh dengan peta; cita-cita

pada siang hari, sengaja tak ada ritual tidur siang yang merentangkan lengan
mereka lebih memilih untuk menyaksikan turis;
yang memindahkan diri mereka kedalam sebuah kotak kamera
sebagai catatan yang kami sebut sebagai perumpamaan dari kenangan.

pada malam hari, mereka menyerahkan sepenuhnya tenaga kepada dahaga
kemudian lelaplah rasa kantuk yang meluap-luap menjadi semacam angin yang terkutuk
untuk menyalakan jati diri esok hari; berulangkali.

Kendal, Juli 2012