23 Desember 2020

Adegan Gambar Perihal Bayangan Seorang Lelaki yang Mengenakan Payung di Tubuhnya

Ilustrator: Fina Lanahdiana

 
Hari tidak sedang turun hujan ketika seorang lelaki berdiri di ujung tebing dengan payung di tangannya dalam posisi terbuka.

"Terpujilah hutan dan pohon-pohon yang mengalirkan udara sejuk tanpa buatan masuk ke dalam paru-paru yang sering terpapar kabut dan asap rokok."

Namanya Leri, dan ia berbicara dengan dirinya sendiri. Menunggu senja. Tetapi senja yang ia tunggu tidak pernah ada, dan langit selalu tetap berwarna biru. Sedikit bercampur warna laut yang dialiri larutan garam.

"Oh, Ibu. Badai tidak akan meremukkanku dengan alasan apa pun. Lihatlah payung ini. Ia benda ajaib yang bisa melindungiku dari serangan cuaca mana pun."

Dari jauh, ia menjelma siluet patung yang sedang menunggu keajaiban agar ditiupkan ruh bersayap di dalam raganya untuk bisa berpindah ke kota lain. Tapi ia hidup di sebuah kota yang sunyi dan jauh dari kehidupan manusia. Sungguh laki-laki yang malang. Ia tidak akan bisa meminta bantuan siapa pun dalam bentuk apa pun, kecuali ....

Natila berjalan tergesa memasuki sebuah kafe yang dipenuhi oleh warna cokelat. Telapak tangannya menggeser pintu kaca dengan susah payah. Tangannya yang lebih menyerupai batang tangan seorang bocah tiga belas tahun terpental begitu mendapati pintu itu telah dikuasai seorang lelaki berbadan kekar dan tinggi. Diam-diam ia terbantu dan mengucap terima kasih, meskipun suara itu juga hanya mampu didengar telinganya sendiri. Kafe Sepia. Segala sesuatu yang tercipta selalu berwarna sama. Warna masa lalu.

Ia duduk di sebuah kursi tinggi tepat berada di seberang meja seorang barista bertopi hitam bergaris putih dengan sepasang mata yang juga segaris.

"Mengapa kau tidak mengenakan topi dan kaus berwarna cokelat?"

"Karena aku bukanlah seorang masa lalu. Aku pagi hari."

Perempuan itu mengernyit. "Apa katamu? Bukankah pagi tidak berwarna hitam?"

Ia merogoh seluruh warna di dalam ingatannya. Mengeluarkan satu per satu dan menyocokkan dengan suasana cuaca.

"Kau lebih tepat sebagai malam hari, dan ..."

"Dan?"

"Tunggu sebentar. Bisakah kita berfoto? Jangan lupakan senyummu di depan kamera, bahkan seandainya kau sedang merasa pedih dengan aroma kesedihan."

"Oh, baiklah."

Tangan barista tetap tidak berhenti bergerak. Meramu bergelas-gelas kopi bagi para pelanggannya dengan gerakan cepat dan aneka menu berbeda: latte, mocha, cappuccino, arabica, flat white, piccolo ... dan tak lupa ia menambahkan motif di atasnya, seperti seorang pesulap yang lihai mempertontonkan pertunjukan.

"Kau orang baru di sini?"

"Hampir tiga tahun aku berkunjung. Dan kau orang baru di sini?"

"Mungkin, ya. Tapi tidak juga. Kita hanya belum dipertemukan dalam satu rel takdir."

Natila merogoh tasnya mengambil sebundel buku bersampul kulit hitam dengan lilitan gantungan replika jangkar kapal dan arah mata angin.

"Buku harian?"

"Ya ..."

Suara itu menggantung dan ragu.

"Suka menulis?"

"Bukan."

"Lantas?"

"Membuat sketsa."

Secangkir cappuccino telah terhidang. Hidungnya kembang-kempis, tidak sabar mencium harum gurihnya melewati bibir cangkir. Ia memandang keramaian di sekitarnya lantas berpikir untuk pergi. Tidak, bukan benar-benar pergi. Hanya berpindah di kursi lain. Lagi pula ia tidak ingin mengganggu lelaki barista yang sepertinya tidak akan libur dari kesibukannya.

Sepasang matanya yang jernih mengerjap-ngerjap. Ia pamit. Aku pindah, ya. Nanti pekerjaanmu tidak selesai. Lelaki di hadapannya justru tertawa lucu. Pergilah. Sebenarnya aku tidak akan terganggu meskipun kau tetap duduk di sini, dan percapakan kita belum usai.

Natila beranjak setelah mengusap rasa malu di wajahnya. Apa-apaan ini, aku bertingkah seolah seorang remaja centil yang mudah jatuh cinta, batinnya.

Setiap kali Natila ingin serius memasuki garis-garis yang tangannya ciptakan, ia merasakan sesuatu yang tak asing. Kemudian wajahnya mendongak ke langit-langit kafe yang dipenuhi bintang seperti sungguhan. Tapi tidak ada apa pun yang ia temukan.

Cangkir sisa separuh isi di dalamnya. Namun ia tidak tahu hendak mengisi bukunya dengan apa. Wajahnya yang putih meski tanpa bedak tampak sedikit pucat. Mungkin cemas. Tiba-tiba ia membuat wajah. Wajah seorang perempuan.

"Boleh duduk?"

Ia hanya mengangguk tanpa melihat lebih jauh siapa seseorang yang kini berada di sampingnya. Ekspresi wajahnya demikian serius, seolah tak ada sesuatu apa pun yang lebih penting setelahnya. Beberapa helai anak rambut jatuh ke depan mata. Ia tak hirau, kecuali hanya dengan menyelipkannya buru-buru ke belakang telinga. Rambut itu panjang dengan ikatan kuncir kuda sekenanya. Tapi ia tampak manis--ditambah dua tahi lalat titik di atas bibir--dengan penampilan apa adanya, yang justru mengesankan bahwa ia bukanlah seseorang yang kaku dan terlalu patuh terhadap aturan.

"Sekarang aku berpikir bahwa kehadiranku akan sangat mengganggu pekerjaanmu." Wajah itu condong ke depan, sangat dekat dengan wajah Natila. Selanjutnya sepasang mata perempuan itu tidak bisa untuk merasa baik-baik saja. Membola. Ia meletakkan drawing pen dengan sangat hati-hati dan patah-patah. Seperti gerakan robot. Dan ia tahu bahwa saat itu ia tidak bisa menghindari rasa malu.

"Percakapan kita di depan tadi belum usai, kan? Kenapa kau tidak suka jika aku menyebut diriku pagi hari hanya karena mengenakan kaus dan topi berwarna hitam?"

"Karena hitam adalah warna malam dan kesunyian."

"Tapi jam satu malam juga pagi, kan? Dan berwarna hitam."

"Jam satu adalah dini hari. Bukan pagi."

Natila hampir saja berteriak dan pergi ketika laki-laki yang seorang barista itu segera menarik lengannya. Ia tidak banyak berkata tetapi kembali duduk. Kembali menekuri buku bersampul kulitnya.

"Apa kau tidak sedang dalam jam kerja?"

"Tidak. Kau tidak perlu khawatir. Aku bisa kerja kapan pun aku mau. Omong-omong, aku suka sketsamu. Dijual?"

Segera dijawab dengan gelengan.

Lelaki itu mencoba membaca tanda garis-garis yang dibuat Natila. Wajah perempuan, artinya tokoh dalam gambar adalah seorang perempuan. Matanya biru, hidung mancung tetapi rusak, bibir merah terang yang seperti ingin mengatakan sesuatu tapi melayang. Gagal. Rambutnya membentuk riapan ombak kecil yang halus. Juga biru. Telinganya terlihat jelas di depan, tidak tertutup helai-helai rambut.

"Biarkan ia mengeluarkan setiap apa yang membuat cemas. Tidak ada apa pun yang bisa menghalangi. Aku melihat suara perempuan yang ingin didengar ... Apa itu kau? Oh, maaf. Aku tidak bermaksud ...."

"Tidak masalah. Jika saja aku seorang penulis, maka kau pembaca yang bebas menafsirkan apa pun atas cerita yang kutulis. Tentu saja aku tidak lagi punya hak atas nasib tokoh-tokoh rekaanku."

***

Kecuali jika Leri bertemu dengan seseorang yang juga bernasib sama dengannya, kesepian.

"Tidak pernah ada malam, tidak pernah ada warna senja. Langit selalu berwarna biru. Kota apakah ini?"

"Selamat datang di kota mati."

Itu suara seekor burung kakatua berwarna kelabu. Sebelumnya ia begitu riang karena mengira telah mendengar suara manusia.

"Selamat datang di kota mati. Selamat datang di kota mati. Selamat datang di kota mati."

Leri merasakan sesuatu yang ganjil ketika suara-suara itu terus berulang, seolah-olah memang ia yang entah itu hanya menghafal kalimat: Selamat datang di kota mati. Seperti hujan yang berjatuhan. Seketika tubuhnya berubah dingin meski telah mengenakan mantel tebal berwarna hitam dan juga telah berpayung, meski hujan tidak akan pernah datang sebagaimana matahari atau malam atau senja yang juga tidak pernah ada untuk menemuinya. Angin melengkapi cuaca langit biru di hadapan laki-laki itu. Sejuk telah berubah suhu jadi beku. Bagai bumi telah ditinggalkan matahari. Tapi benarkah ia berada di atas bumi yang masih sama? Bukankah sebelumnya bumi di bawah pantauan pemanasan global yang menyebabkan setiap pengadilan cuaca merasa bimbang dengan jadwal-jadwal dan ramalan cuaca?

Leri ingin sekali naik ke puncak, menemui si burung kakatua yang cerewet. Tapi ia tidak memiliki alat pemanjat tebing, dan ia tidak berbakat untuk memanjat.

"Wahai, angin. Embuslah lebih kencang dan buatlah aku terbang dengan payung ajaibku ini."

Tentu saja tidak pernah terjadi apa pun ihwal seseorang yang berhasil mendaki puncak dengan terbang menggunakan sepucuk payung untuk kemudian bercakap-cakap dengan seekor burung kakatua yang pandai membual.

"Di bagian kanan akan kau temukan hutan yang juga berwarna biru. Hutan yang pohon-pohonnya menyimpan sifat ombak di lautan. Meriap-riap memecah karang!"

"Kau bisa bicara sungguhan?"

Tapi burung itu hanya bersiul dan tertawa-tawa. Berbicara sekehendak dirinya sendiri.

"Pak tua, kau sungguh bernasib sial jika hanya untuk berdiri di sana sepanjang hari, menjadi seseorang yang menunggu keajaiban. Tapi kemarilah, kelak kau akan menyesap kebahagiaan yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya."

"Bagaimana caranya? Bagaimana caranya, Kakatua? Dengarkan suaraku ini, mungkin esok aku tidak lagi memiliki suara dan kau bisa tertawa semau dan semampumu. Dan aku selamanya menjadi patung yang menunggu keajaiban, sampai seseorang menemukanku dan bersedia membawaku pergi."

"Tidak mungkin. Tidak mungkin, Pak Tua. Kau laki-laki. Berupayalah lebih keras lagi. Dasar pengecut."

***

Natila memulas kertas dengan warna dasar biru lembut seperti semprotan hujan kapas. Wajah perempuan itu hanya sebagian dan membentuk ceruk curam sehingga mencipta tebing di pipi kiri dan puncak kepala. Seekor burung berwarna kelabu berdiri di sana. Burung kakatua. Di tebing yang lebih pendek, seorang lelaki berdiri dengan mengenakan payung terbuka di lengannya, menghadap ke arah si Kakatua. Membentuk siluet patung dari jauh.

Peracik kopi menghampiri meja Natila. "Kopi. Sepertinya kau butuh sedikit kefein. Tanpa krim atau pun susu. Hanya sedikit gula. Kuperhatikan kau tampak lelah sekali."

Sentuhan di pundak membuat Natila lebih bisa membuka mata dan segera mencicipi kopi yang baru saja terhidang. Ia kaget, lidahnya terbakar, "Panas!"

"Santailah sedikit. Kau terlalu terburu-buru, Nona."

Hidungnya mencium aroma tak asing yang telah sangat lama ia kenal. Tiba-tiba. Aroma pagi hari. Parfum yang sama persis dengan yang pernah ia kenakan di sebuah masa lalu. Aroma green tea yang segar. Sekelebat ingatan mencuat dari kepala Natila yang serupa ombak, "Kenapa ayah pergi terlalu lama, Mama?[]
 
November, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar