28 Desember 2020

Pertanyaan dan Pernyataan Lain yang Selalu Ada

Ilustrasi: Unsplash/Jr Korpa

--Selamat pagi, apakah tidurmu nyenyak?

Aku selalu memimpikan pertanyaan itu, sebuah kalimat tak terlalu penting yang jika kau ucapkan bisa saja membuatku merasa menjadi perempuan paling bahagia. Berlebihan memang, sebab pertanyaan itu sesungguhnya terlalu biasa dan bersifat umum, bisa diucapkan oleh siapa saja, bahkan barangkali oleh seseorang yang tidak kukenal di sebuah bangku kereta.

Mungkin ia seorang lelaki kesepian yang ketika suatu pagi ingin kembali memejamkan mata, tapi tidak memiliki rasa kantuk, sementara buku bacaannya yang berjumlah kurang dari tujuh sudah habis ia lahap dengan rakus. Sudah mencoba mengecek ponsel beberapa kali, namun apa yang dia lakukan tidak mengubah apapun: ponsel itu tetap sepi saja, tanpa satu pun pesan atau panggilan, paling-paling satu-satunya pemberitahuan adalah bahwa seseorang di dalam sebuah dunia game online mengajaknya bermain Duel Otak. Bukankah sesuatu yang membosankan sekali di saat seperti itu? Sementara ia merutuki dirinya sendiri karena lawan mainnya terus-menerus menyerang dengan kategori pertanyaan yang tidak dia tahu sehingga menyebabkan pertahanannya tumbang.

Selanjutnya lelaki itu mencoba mencari cara lain agar tidak merasa tersiksa. Dia juga memandang jam tangannya seolah-olah jika jam itu tidak dia pandangi sekali saja, jam itu akan menghilang dari lingkar pergelangan tangannya. Kemudaian dia melirik ke arahku, malu-malu dan pura-pura sibuk, melongok jendela, membayangkan hujan, padahal tidak hujan, dan sesekali memotret entah apa.

“Selamat pagi, apakah tidurmu nyenyak?”

Pertanyaan itu meluncur dengan mulus tanpa menemui kendala berarti.

“Selamat pagi. Ya, tidurku nyenyak. Bagaimana denganmu?”

Padahal semestinya aku tidak menginginkan percakapan lain yang lebih panjang terjadi. Tentu saja, dia orang asing, dan tidak terlalu menarik. Dan pertanyaan, biar pun pertanyaan itu juga tidak istimewa, akan terasa sekali atmosfir anehnya di sekelilingku. Seperti selingkar warna kelabu di antara warna-warna.

Lantas yang keluar dari mulutku adalah suara yang sedikit ragu antara ingin menjawab atau membiarkan pertanyaan tidak penting itu menguap bersama napas hangat orang-orang di dalam kereta. Tentu saja sedikit diliputi perasaan jengkel.

“Aku tidak bisa tidur. Padahal tidak banyak yang kupikirkan.”

Dia tersenyum yang lebih menyerupai seringai. Sungguh mengerikan.

“Oh.” Kepura-puraan memaksaku untuk tertawa.

Selanjutnya tidak ada percakapan lain yang kami ciptakan. Sesungguhnya aku tahu, niat lelaki itu berujar bahwa ia tidak bisa tidur padahal tidak memikirkan banyak hal sebab menginginkan aku memberi tanggapan akan apa yang menimpanya itu. Tentu saja aku tidak akan menanggapi apa-apa. Itu bukan urusanku. Lagi pula tingkah lakunya seperti seorang penjual makanan yang menawarkan dagangan tanpa banyak berpikir, langsung meletakkan makanan itu di pangkuan penumpang, seolah-olah seluruh penumpang sedang dilanda wabah kelaparan yang maha dahsyat.

Namun jika pertanyaan itu berasal darimu, tentu saja rasanya akan berbeda.

“Selamat pagi, apakah tidurmu nyenyak?”

“Tentu saja. Aku memimpikan sesuatu yang indah.”

“Benarkah?”

“Ya. Ini tentang kita.”

Dan aku akan bercerita banyak hal, sementara kau menjadi pendengar yang setia. Cerita-cerita itu bisa saja kubuat semauku, asal kau bahagia. Lalu pagi itu akan berakhir dengan secangkir kopi dan beberapa sisir roti bakar dengan olesan selai kacang.

“Aku harus segera berangkat, jalanan pasti akan macet sekali. Kau tidak apa-apa, ‘kan?”

“Baiklah. Hati-hati, ya. Aku akan memasak menu spesial untukmu.”

Kau memilih buru-buru seperti tengah dikejar sesuatu, dan tetap tersenyum.


--Bagaimana kabar ibumu? Dia sehat, ‘kan?

Malam hari yang menyedot cahaya semesta. Kita memilih makan malam di dalam rumah tanpa berpikir ingin menikmati nuansa kafe atau restoran cepat saji atau di halaman rumah dengan melihat bintang-bintang dan rembulan. Kita memilih di dalam karena di luar udara begitu dingin—tidak sampai turun hujan—meskipun antara dingin dan akan turun hujan sama sekali tidak memiliki korelasi, kecuali sebuah gejala bahwa setiap kali turun hujan, udara menjadi dingin. Tapi sebenarnya itu juga tidak selalu benar, aku lebih sering merasakan bahwa ketika hujan turun, udara di sekitarku justru terasa panas sekali. Entah hantu jenis apa yang sedang berada di sekitarku.

“Bagaimana kabar ibumu?”

Pertanyaan itu muncul dengan perasaan yang diam-diam menyimpan kecemasan. Kecemasan seorang menantu kepada mertuamu: ibuku.

“Belakangan ia sering merasa sakit punggung dan sulit tidur. Tapi syukurlah, sekarang keadaannya jauh lebih baik. Bagaimana dengan ibumu?”

“Ibuku sama baiknya dengan ibumu, hanya saja tidak sakit punggung dan sulit tidur. Tapi toh ibuku juga ibumu dan ibumu juga ibuku. Mulai sekarang kita cukup memanggil mereka ibu. Setuju?”

Aku akan mengangguk dan merasa sangat gembira. Tidak ingin menyembunyikan apa-apa, kita saling bercerita satu sama lain mengenai apa-apa yang sehari sebelumnya dikerjakan. Begitulah hari-hari indah yang selalu ada. Kita selalu sanggup merencanakan banyak hal dengan alasan masa depan.

“Kamu ingin anak pertama kita laki-laki atau perempuan?”

“Laki-laki lebih baik, tapi peempuan pun tidak apa-apa.”

“Hmm, aku pernah membaca sebuah majalah kesehatan secara tidak sengaja. Di sana dijelaskan bahwa kita bisa merencanakan jenis kelamin anak kita.”

“Oh ya?”

“Salah satunya, jika kita menginginkan anak laki-laki, maka kamu harus memperbanyak makan daging. Segala jenis daging. Sementara jika kita menginginkan anak perempuan, kamu harus banyak mengonsumsi sayur dan buah-buahan.”

Mengetahui bahwa kau lebih tahu informasi yang seharusnya lebih diketahui wanita, aku merasa tersipu. Benar-benar takjub, meskipun di depannya, aku meledek, bagaimana mungkin seorang laki-laki membaca majalah wanita. Untunglah kau tidak merasa tersinggung, bahkan kau terlihat memamerkan kelihaianmu memilih informasi.

“Apakah menurutmu itu bukanlah sebuah mitos?”

“Seorang dokter spesialis kandungan yang mengatakannya. Apakah kamu pikir ia akan berbohong?”

Kau mencubit hidungku lalu beranjak pergi.


--Apakah kamu ada masalah? Aku siap meminjamkan sepasang telinga dan bahuku untukmu

Kesedihan menghinggapiku ketika pada suatu subuh, Puyi, seekor kucingku yang malang, mati. Kematian yang sedikit tiba-tiba, sebab tidak sepenuhnya tiba-tiba. Beberapa hari sebelumnya, kucing gemuk berbulu cokelat itu demam dan muntah cairan berwarna kuning. Karena tidak tahu gejala penyakit apa yang tengah menyerang kucing itu, aku membiarkannya dan berpikir bahwa kelak ia akan sembuh dengan sendirinya. Pada kenyataannya pilihan berpikir untuk membiarkannya itu sama saja dengan aku membiarkannya mati. Aku merasa menjadi orang tidak berguna dan menyesal. Bagaimana mungkin aku tidak berbuat apa-apa ketika kucingku sekarat?

“Apakah kamu ada masalah? Aku siap meminjamkan sepasang telinga dan bahuku untukmu?”

Hanya isakan dan air mata yang menjawab pertanyaanmu. Kau tampak bingung. Saat seperti ini, wanita mana pun pasti akan sangat membuat laki-laki merasa tidak tahu harus melakukan apa-apa. Bagaimanapun, laki-laki bukan pembaca pikiran yang bisa mengetahui masalah wanita tanpa ia mendengar cerita terlebih dahulu.

Aku tidak berkata banyak padamu, hanya menarik agar kau mengikutiku. Di dapur, di dekat kamar mandi, seekor kucing terbujur kaku dengan balutan kain handuk yang sudah tidak terpakai.

Kau memutuskan untuk ke gudang, mengambil cangkul untuk mengubur mayat kucing malang itu. Setelahnya baru kau membujukku untuk berbicara.

“Tidak apa-apa. Kucing itu akan lebih tersiksa ketika ia sakit.” hiburmu kepadaku.

“Apakah kita butuh untuk melakukan sesuatu? Mungkin memasak atau pergi berlibur atau melukis? Pekerjaan yang sudah lama sekali tidak kulakukan dan kamu juga menyukainya. Dan kupikir kamu bisa menuangkan perasaanmu di sana. Seperti ungkapan Paul Klee, seni bukan mereproduksi sesuatu yang tampak, melainkan membuat sesuatu menjadi terlihat. Dan perasaan itu tidak tampak, agar bisa dilihat oranglain, kamu perlu melukisnya. Mungkin juga akan membuat suasana hatimu lekas membaik.”

Tidak juga ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Kau hafal benar, bahwa hal-hal semacam ini kerap berulang ketika satu per satu kucingku mulai berjatuhan. Entah, jika kucing-kucing itu tiba-tiba mati, aku merasa sangat menyesal saja. Seolah-olah aku telah berbuat kesalahan yang besar.

Kau pergi dan kembali dengan kanvas, kuas, dan cat yang disimpan di sudut gudang. Kita memang lama sekali tidak melukis, tetapi alat-alat itu tetap tersimpan dengan baik.


--Jangan lupa makan, nanti kamu sakit

Saat merasa asyik dengan dunia yang kuciptakan—melukis—kau kerap mengingatkan agar aku tidak terlalu larut dan malah berujung menyiksa diri sendiri.

“Jangan lupa makan, nanti kamu sakit.”

Dan eureka! Secara ajaib kau muncul dengan sebuah celemek yang terikat ke tubuhmu. Menu masakan yang resepnya kau ciptakan sendiri sudah berada di atas meja. Aku sedang tidak bisa dan tidak ingin berpikir, maka aku segera menghampirimu. Lagi-lagi tanpa bicara.

“Terima kasih, Sayang.”

“Udahan dong sedihnya ...”

Maka yang terjadi selanjutnya, tidak bisa tidak, aku tertawa. Kau selalu punya cara-cara menghibur yang mengejutkan. Cara-cara yang belum tentu bisa kupikirkan saat kepalaku sedang merasa dangkal, berada dalam kecemasan dan kegelisahan yang maha.

“Banyakin dagingnya dong. Katanya mau anak laki-laki ...”

Aku sibuk memisahkan kulit cabe dari makanan.

“Tenang saja, aku tidak menggunakan bawang putih.”

Selain tidak menyukai baunya yang menyengat, aku juga alergi terhadap bawang. Entah, setiap kali secara tidak sengaja memakan bawang, kulitku akan merasa gatal dan sedikit panas. Sudah kubilang kau selalu punya cara yang tidak terduga.


--Semuanya akan baik-baik saja

Acara masak, melukis, dan makan berlalu. Hal yang selanjutnya kita lakukan adalah memperpanjang obrolan.

Sebuah panggilan masuk. Mengejutkan. Membuat seolah jantung berhenti berdetak untuk beberapa saat.

“Antoni kecelakaan. Saat ini kondisinya kritis. Berdoalah.”

Antoni adalah kakak sepupuku. Dia memang sering bepergian menggunakan sepeda motor, dan ugal-ugalan. Sering menyalip di antara truk dan kontainer. Aku berpikir, mengingat ke belakang. Kenangan-kenangan bersama Antoni berkilasan seperti potongan film.

Kedua telapak tanganku menangkup ke wajah. Merasa bersalah. Entah. Sama bersalahnya ketika kucingku mati.

“Semuanya akan baik-baik saja.”

Kau selalu menguatkan. Diraih tubuhku ke bahumu. Kau peluk. Saat itu juga air mata tidak berhenti mengalir. Kau menepuk punggungku, mengelus rambutku, seolah aku adalah anak kecil yang butuh dikasihani.

“Tenanglah ...”

Suara Ibu menyadarkanku. Di sebuah bangku tunggu rumah sakit, aku tidak henti-hentinya meraung. Banyak sekali kesedihan. Banyak sekali yang mesti disesali. Padahal hidup terus berjalan tanpa mau menunggu. Seperti juga Antoni, kepergiannya kali ini terasa sangat cepat sekali. Kepergian yang tidak cukup ke dapur atau ke gudang atau ke kantor. Kepergian yang tidak ada seorang pun yang tahu ke arah mana sesungguhnya kehidupan berlanjut dan berlabuh.[]

2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar