Majalah Femina Ed. 23-29 Agustus 2014 |
Kertas Terbang
Oleh: Fina Lanahdiana
Oleh: Fina Lanahdiana
Perempuan itu bernama Anggun: memiliki wajah bulat telur dan sepasang mata sipit, hidung mancung, dan bibir mungil. Rambutnya hitam, lurus sebatas bahu. Siapa laki-laki yang tidak menginginkan perempuan sepertinya? Tetapi sungguh, ia tidak sedang ingin memilih satu pun di antara mereka.
***
Hiruk suasana kantor seolah tidak berpengaruh sedikit pun ketika pikirannya melayang ke entah. Layar komputer berkedip-kedip tanpa ada tulisan apa pun di sana. Tangannya diam, tak bergerak, tergeletak di begitu saja di atas papan keyboard. Di lantai masih berserakan tumpukan buku-buku baru yang belum tersentuh tangan untuk diolah hingga siap dilayangkan kepada peminjam.
“Kamu tidak apa-apa?”
Ia tidak mendengarnya.
“Halo?”
Ia terkejut ketika tiba-tiba Adhi menyentuh pundaknya dengan kepala dimiringkan hingga berada sangat dekat dengan telinganya.
“Eh, maaf.”
Laki-laki itu lantas menyeret kursi dan duduk di dekatnya.
“Tidak apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf.” ucapnya datar.
“Ah, sudahlah. Kamu boleh bercerita apa saja … jika berkenan.”
Ia hanya tersenyum kecil, kemudian menggeleng.
“Aku tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Aku tidak yakin kamu baik-baik saja.”
“Itu hanya perasaanmu saja.”
“Perempuan itu terkadang rumit. Mereka selalu berkata baik-baik saja, padahal sebenarnya menyimpan banyak sekali rahasia.” Kedua lengannya menyentuh meja yang ada di depannya, sementara perempuan di depannya hanya melirik sebentar dan kembali tersenyum.
“Sungguh. Kamu akan segera melihatku melanjutkan pekerjaan.”
“Baiklah, aku pergi. Kamu bisa memanggilku kapan saja kamu perlu.”
Cecak-cecak di dinding seolah tengah menertawakannya. Dingin AC seakan sayap-sayap yang melilit tubuhnya. Kaku. Sesekali ia menggigil seolah dihinggapi badai kencang, sementara ia berdiri sendirian dengan keadaan sekitar yang gelap tanpa cahaya lampu-lampu. Siang hari yang sia-sia, sebab yang ia rasakan hanya gelap, kelam, suram.
Sayup-sayup ia mendengar suara berdengung memasuki lubang telinganya, tubuhnya semakin menggigil, napasnya sesak. Keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhnya.
***
“Sudah lebih baik?” Suara berat laki-laki yang sangat ia kenali.
“Kamu yang mengantarku pulang?”
“Aku menelepon ibumu, dan ia menjemputmu. Aku hanya …”
“Terima kasih.”
Ia cepat memotong kalimat Adhi. Ia bangkit dari posisi tidur, kemudian mengulurkan lengan untuk menjangkau segelas air putih yang ada di meja dekat ranjang.
“Biar kuambilkan.”
“Maaf merepotkanmu. Seharusnya kamu pulang saja. Biar Ibu yang mengurus aku.”
“Kamu keberatan aku ada di sini?”
“Eh, bukan itu maksudku.”
“Tidak apa-apa. Lupakan …”
Pandangan Adhi menyisir ke seluruh isi ruang, mencoba mengalihkan perhatian. Gamang. Lalu Pikirannya diseret ke masa yang sudah terlewat dua bulan. Di sebuah pasar malam di Stadion Kota Kendal, mereka berkeliling kemudian menyaksikan pertunjukan sulap yang diperagakan oleh seorang pria bertubuh kurus, mengenakan make up badut di wajahnya—hanya saja ia tidak mengenakan hidung bulat merah yang tampak seperti buah tomat.
Pertunjukan yang ditampilkan sudah klise, siapa pun pasti bisa menebaknya: menyemburkan api dari mulut, mengeluarkan kelinci dari dalam topi, dan permainan ilusi kartu. Tidak ada yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan pasar malam di kota-kota lain. Lalu lalang orang-orang di sepanjang stadion, komidi putar, pedagang kaki lima, lampu warna-warni—merah, putih, biru—hingga membuatnya tampak melayang di kegelapan, serta hal-hal lain yang sama biasa-nya.
Lelah mengantarkan keduanya berjalan ke utara, ke alun-alun dan berhenti di depan monumen berbentuk patung burung garuda untuk sekadar duduk dan memesan segelas jus alpukat. Waktu berisi hal-hal hening, meskipun di sekeliling mereka tampak para penjual dagangan yang hibuk melayani pembelinya masing-masing.
Pada hari itu, sepulang dari pasar malam Adhi mengungkapkan perasaan cintanya.
“Maaf, aku tidak bisa. Kita berteman saja, ya.”
Adhi tampak gugup sekali. Ia tidak banyak bicara. Ia tidak pernah membayangkan penolakan itu sebelumnya, karena sepanjang mereka dekat, segalanya berjalan dengan semestinya tanpa ada perselisihan yang berarti.
“Kamu masih belum bisa melupakan Agra?”
Perempuan itu tidak berkata apa-apa, wajahnya menunduk, lalu mengulurkan dua batang gulali pemberian Adhi.
“Ambillah. Itu sudah menjadi milikmu.”
Ia kembali menggenggam gulali itu ke dalam telapak tangannya. “Terima kasih. Kita seperti dua anak remaja yang sedang jatuh cinta saja, ya. Padahal … Eh, maaf.”
“Kamu selalu minta maaf dan mengucapkan terima kasih seolah-olah aku adalah orang asing yang tiba-tiba datang untuk mengganggu kehidupanmu dan pantas kamu curigai.”
***
Ia menyimpan luka. Luka yang tidak bisa dibahasakan dengan kata-kata. Entah rumus apa yang mampu melampauinya hingga tidak ada lagi yang bernama rasa sakit juga kenangan yang menjalar seperti ular-ular sawah pemangsa tanaman.
“Besok hari ulang tahun Mas Agra, Bu.”
“Terus kamu mau apa?”
“Aku ingin berkunjung ke rumah keluarganya.”
“Mau apa kamu ke sana?”
“Entahlah, aku hanya … ”
Burung-burung camar terbang rendah menuju pulang ke peraduan. Langit merah dipenuhi mega-mega yang menggantung seperti gumpalan kapas disemprot pewarna merah, kuning keemasan. Langit meremang ditelan putaran jam dinding pukul enam sore.
Bendungan Juwero tampak lengang. Hanya segelintir orang yang masih bertahan untuk menyaksikan aliran air kemudian mengambil gambar senja di atasnya.
Di sudut sebelah timur, ada sebatang pohon besar yang memiliki daun-daun rimbun. Tampak tua, namun tetap kukuh dengan akar-akar yang menjalar sebesar lengan manusia dewasa.
“Kamu tahu kenapa aku suka sekali mengajakmu ke sini?”
Perempuan itu hanya menggeleng pelan.
“Aku suka senja. Selain itu aku ingin membuktikan cerita orang-orang.”
“Cerita apa?”
“Kamu lihat pohon yang ada di sana. Orang-orang percaya jika ada sepasang kekasih yang berada di bawahnya, maka cinta mereka akan abadi.”
“Aneh. Kamu sudah seperti nenekku saja. Kuno.” Ia tertawa lepas.
“Itulah sebabnya kenapa aku membawamu ke sini. Kelak kita akan punya cerita yang layak untuk diceritakan kepada anak-cucu kita.
“Aku tidak percaya.”
Keduanya menyaksikan senja di atas jembatan kayu yang menghubungkan tanggul timur dan barat. Dari kejauhan, jembatan itu menyerupai lorong panjang dengan penyangga tali pada sisi kanan dan kirinya. Tidak jarang jembatan itu bergoyang-goyang sebab embusan angin atau terkadang digoyahkan oleh sepeda motor yang melintas.
“Anggun.”
“Hmm,”
“Aku suka sekali menyebutkan namamu. Indah. Pintar sekali orang tuamu memilihkan nama.”
Kekasihnya pergi ke arah matahari tenggelam untuk alasan sebuah pekerjaan, namun sudah bertahun-tahun lamanya laki-laki itu tidak pernah pulang menemuinya lagi. Tidak ada yang tahu di mana keberadaannya, termasuk keluarganya. Apakah ia mati, atau hidup—tidak ada yang tahu pasti. Anggun membayangkan tubuhnya mirip sekali dengan sebuah boneka yang digantung pada tali jemuran.
“Ingatanku memutar potongan-potongan gambar tentangnya, Bu.”
“Ia pasti baik-baik saja di sana. Tidak usah dipikirkan. Kamu tidak mencoba menerima kehadiran Adhi?”
“Hah?”
“Ia laki-laki yang baik.”
“Tidak, Bu.”
“Lupakan Agra. Ia sudah pergi. Tidak ada di sini.”
“Ia tidak pernah menyakitiku.”
“Ia memang tidak menyakiti tubuhmu, tapi ia menyakiti hatimu. Kamu harus paham itu.”
“Apakah menunggu itu salah? Lalu apakah dibenarkan seorang istri berhubungan dengan laki-laki lain?”
“Tidak ada yang perlu ditunggu. Sudah jelas laki-laki itu meninggalkanmu. Pikirkan baik-baik, jangan sampai menyesal. Kamu masih muda, jangan kolot.”
Anggun menghela napas berat, ”Akan kupikirkan.”
Saat menjelang senja, ia duduk di dekat jendela kamarnya yang menghadap ke barat untuk bermain-main dengan kertas dan pensil. Sesekali melipatnya menjadi burung-burung kertas dan membayangkannya menjadi burung pengantar pesan. Angin senja leluasa masuk menerobos rumahnya.
“Apa yang kamu lakukan di sana?”
“Melukis senja.”
“Setiap hari?”
“Ya.”
“Selain itu?”
“Menulis namaku dan mengejanya. Ibu sedang apa?”
“Memberi makan kucing.”
“Oh, pantas saja sejak tadi ia berisik sekali.”
Angin berembus kencang, menyambar pepohonan, daun-daun, sampah-sampah plastik, botol bekas, menutup paksa pintu dan jendela, juga lembaran kertas sketsa.
“Bu, ada angin besar. Tutup semua pintu dan jendela. Aku masih merapikan kertas-kertas sketsa yang berhamburan!”
Ibunya sedang repot menutup pintu dan jendela. Di dekat pintu kamarnya, seekor kucing besar berwarna oranye sedang duduk dengan kedua mata bulat dan tajam. Sementara kertas-kertas tetap menghambur ke segala arah. Barangkali angin adalah hati dan kertas-kertas terbang itu adalah isi kepalanya, maka seperti itulah yang bergolak di dalam jiwanya: saling bertentangan dan menentukan arahnya masing-masing.
Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar