Pagi itu Orenda telah memastikan seluruh jendela rumahnya terbuka sehingga udara berwarna hijau segar bercampur hangat kuning matahari memasuki sudut-sudut ruangan, memasak air untuk membuat kopi, memanaskan teflon untuk dua tangkup roti bakar dengan selai kacang dan cokelat, juga omelet. Menu sarapan pagi yang serba instan dan tergesa-gesa, tetapi cukup sebagai permulaan.Dia melongok jam dinding tepat berada di atas lemari pendingin, 06.15, bukan waktu yang terlambat untuk memulai aktivitas apa pun, karena hari ini adalah Minggu. Dia selalu berpikir bahwa pada akhir pekan seperti ini, segalanya seolah berjalan lebih lambat dari hari-hari biasa ketika dia harus pergi bekerja.
Sebuah warna lain muncul di hadapannya ketika dia sedang merapikan piring-piring di meja agar lebih mengesankan seperti yang sering terlihat di kafe-kafe langganannya. Biru.
“Pagi yang segar,”
“Sesegar warna tubuhmu,”
“Apa menu hari ini?”
“Tidak ada menu baru. Mungkin aku akan memikirkan menu makan siang kita agar lebih tampak serius,”
“Apa maksudmu dengan mengatakakan bahwa menu sarapan kita tak terlihat serius?”
“Uhm. Mungkin karena aku seperti sedang bermain rumah-rumahan dengan menu masakan seadanya, sesuai bahan-bahan yang ada di dalam kulkas,”
“Oh, ya kau benar. Menu sarapan kita memang tampak seperti candaan-candaan kecil, seperti riak ombak di pinggir pantai. Kau suka, kan?”
Lelaki itu duduk untuk bersiap menikmati hidangan. Orenda mengangsurkan cangkir berisi kopi, sementara dirinya meraih gelas lain berisi teh camomile.
Sekilas segalanya seolah berjalan baik-baik saja. Ya, sekilas. Tapi tidak ketika dilihat sambil mengenakan alat pembesar dengan perbesaran beberapa kali, sehingga detil-detil kecil akan lebih tampak sebagai pengganggu, sama halnya dengan mikroba yang dilihat dari sudut mikroskop sehingga tampak sebagai monster yang tengah bergerak-gerak.
Terdengar suara tangisan. Seorang bayi laki-laki. Orenda bergegas untuk ke kamar, membiarkan ruang makan itu menyisakan sebuah hening yang nyaring. Denting sendok yang beradu piring, decapan bibir, serta angin-angin kecil yang berembus menggesek daun-daun.
Orenda kembali ketika Biru tengah sibuk dengan sebuah ponsel di tangannya, bergantian dengan lembar-lembar koran di hadapannya. Belum genap perempuan itu melangkah menuju ruang makan, sebentar kemudian terdengar suara jeritan lain. Seorang balita berusia tiga tahun, berteriak-teriak memanggil mamanya. Tentu saja Orenda harus segera menyelamatkan anak itu, atau yang terjadi selanjutnya akan lebih mengerikan lagi. Tetapi tak mungkin saat tangannya menggendong bayi.
“Gendonglah Genta sebentar. Aku harus menengok Hasta.”
“Sebentar saja ya,”
“Ya, sebentar saja.”
Tetapi barangkali definisi sebentar bagi Orenda dan Biru memiliki takaran yang berbeda, belum sampai Orenda kembali, lelaki itu sudah berteriak-teriak.
“Sayang? Apakah kau masih akan lama? Sepertinya Genta mengompol, dan … kau bisa memandikannya, kan?”
“Tunggulah! Aku sedang memandikan Hasta. Kau dengar, kan? Dan, bukankah kau ayahnya? Bantulah aku untuk mengganti popoknya …”
Siapa pun yang mendengar suara itu, tentu tahu bahwa itu bukan suara yang sedang baik-baik saja. Suara itu bercampur kekesalan. Tetapi bagi Biru, itu terdengar biasa-biasa saja.
Hasta, bocah itu telah berpakaian rapi, menuju ayahnya, “Papa!”
Lelaki itu hanya menyapa sekadarnya, lantas segera memindahkan Genta ke gendongan Orenda.
“Aku harus mengerjakan sesuatu,”
“Papa!”
Tangan bocah perempuan itu terbuka serupa sayap, tetapi Biru tidak terlalu berminat untuk meraih rentangan sayap itu.
“Papa!”
“Sebentar, ya. Papa harus mengerjakan sesuatu.”
Lelaki itu berlalu begitu saja, menuju kamar, entah hendak mengerjakan apa.”
“Ke sini, sayang. Main dengan adik. Papa harus bekerja. Jangan diganggu ya?”
Bocah itu hanya mengangguk. Tampak sedikit menyesal, seperti hampir akan menangis.
“Tidak perlu bersedih. Ayo kita jalan-jalan ke luar. Mau kan?”
“Iya, Ma.”
Sebuah warna lain muncul di hadapannya ketika dia sedang merapikan piring-piring di meja agar lebih mengesankan seperti yang sering terlihat di kafe-kafe langganannya. Biru.
“Pagi yang segar,”
“Sesegar warna tubuhmu,”
“Apa menu hari ini?”
“Tidak ada menu baru. Mungkin aku akan memikirkan menu makan siang kita agar lebih tampak serius,”
“Apa maksudmu dengan mengatakakan bahwa menu sarapan kita tak terlihat serius?”
“Uhm. Mungkin karena aku seperti sedang bermain rumah-rumahan dengan menu masakan seadanya, sesuai bahan-bahan yang ada di dalam kulkas,”
“Oh, ya kau benar. Menu sarapan kita memang tampak seperti candaan-candaan kecil, seperti riak ombak di pinggir pantai. Kau suka, kan?”
Lelaki itu duduk untuk bersiap menikmati hidangan. Orenda mengangsurkan cangkir berisi kopi, sementara dirinya meraih gelas lain berisi teh camomile.
Sekilas segalanya seolah berjalan baik-baik saja. Ya, sekilas. Tapi tidak ketika dilihat sambil mengenakan alat pembesar dengan perbesaran beberapa kali, sehingga detil-detil kecil akan lebih tampak sebagai pengganggu, sama halnya dengan mikroba yang dilihat dari sudut mikroskop sehingga tampak sebagai monster yang tengah bergerak-gerak.
Terdengar suara tangisan. Seorang bayi laki-laki. Orenda bergegas untuk ke kamar, membiarkan ruang makan itu menyisakan sebuah hening yang nyaring. Denting sendok yang beradu piring, decapan bibir, serta angin-angin kecil yang berembus menggesek daun-daun.
Orenda kembali ketika Biru tengah sibuk dengan sebuah ponsel di tangannya, bergantian dengan lembar-lembar koran di hadapannya. Belum genap perempuan itu melangkah menuju ruang makan, sebentar kemudian terdengar suara jeritan lain. Seorang balita berusia tiga tahun, berteriak-teriak memanggil mamanya. Tentu saja Orenda harus segera menyelamatkan anak itu, atau yang terjadi selanjutnya akan lebih mengerikan lagi. Tetapi tak mungkin saat tangannya menggendong bayi.
“Gendonglah Genta sebentar. Aku harus menengok Hasta.”
“Sebentar saja ya,”
“Ya, sebentar saja.”
Tetapi barangkali definisi sebentar bagi Orenda dan Biru memiliki takaran yang berbeda, belum sampai Orenda kembali, lelaki itu sudah berteriak-teriak.
“Sayang? Apakah kau masih akan lama? Sepertinya Genta mengompol, dan … kau bisa memandikannya, kan?”
“Tunggulah! Aku sedang memandikan Hasta. Kau dengar, kan? Dan, bukankah kau ayahnya? Bantulah aku untuk mengganti popoknya …”
Siapa pun yang mendengar suara itu, tentu tahu bahwa itu bukan suara yang sedang baik-baik saja. Suara itu bercampur kekesalan. Tetapi bagi Biru, itu terdengar biasa-biasa saja.
Hasta, bocah itu telah berpakaian rapi, menuju ayahnya, “Papa!”
Lelaki itu hanya menyapa sekadarnya, lantas segera memindahkan Genta ke gendongan Orenda.
“Aku harus mengerjakan sesuatu,”
“Papa!”
Tangan bocah perempuan itu terbuka serupa sayap, tetapi Biru tidak terlalu berminat untuk meraih rentangan sayap itu.
“Papa!”
“Sebentar, ya. Papa harus mengerjakan sesuatu.”
Lelaki itu berlalu begitu saja, menuju kamar, entah hendak mengerjakan apa.”
“Ke sini, sayang. Main dengan adik. Papa harus bekerja. Jangan diganggu ya?”
Bocah itu hanya mengangguk. Tampak sedikit menyesal, seperti hampir akan menangis.
“Tidak perlu bersedih. Ayo kita jalan-jalan ke luar. Mau kan?”
“Iya, Ma.”
***
“Papa! Papa! Papa!”
Di hadapan laptop, Biru tampak sangat serius. Seolah-olah dunia di sekitarnya manjadi warna yang tak lagi penting, bukan lagi fokus. Hanya sekumpulan warnya yang saling bertumpukan, abstrak.
“Papa masih bekerja, sayang. Kamu nonton televisi saja ya?”
Bocah itu mengangguk beberapa kali, meskipun pandangan matanya tidak segera berpindah dari pemandangan ayahnya. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Orenda memberikan botol berisi susu, meminta bocah itu minum sambil menghadap televisi berukuran 27 inci yang berpindah-pindah saluran sehingga pada akhirnya menemukan sebuah tayangan kartun.
Sementara Hasta fokus dengan televisi dan susu di genggamannya, sedangkan Genta tertidur, Orenda menghampiri suaminya.
“Kau ingat sebentar lagi kita harus membayar kontrakan, kan? Persediaan susu Hasta sudah hampir habis, dan kita juga harus membayar pengasuh anak-anak,”
“Aku sedang tidak ada uang, sayang.”
“Apakah itu benar?”
“Tentu saja.”
Sebenarnya Orenda tidak ingin sepenuhnya percaya, tapi dia juga tak ingin menyakiti hati suaminya. Baginya, masalah uang bukanlah perkara sepele. Dia tidak ingin suaminya berpikir dirinya terlalu mendesak, meskipun dia tahu itu tindakan yang tidak benar. Maka yang terjadi selanjutnya, dia hanya diam menelan dan menyimpan perasaannya sendiri. Dia bukannya tidak mengenal Biru, tetapi sebaliknya. Dia telah sungguh mengenal suaminya. Hanya saja, salah satu kesalahan yang barangkali harus ditanggungnya sendirian adalah saat dia sungguh sangat berharap suaminya akan berubah seiring waktu, seolah-olah kedewasaan seseorang bisa tumbuh dan berbuah, kemudian matang dengan sendirinya tanpa membutukan perawatan yang sulit, seperti mangga atau jambu atau buah-buahan lainnya.
Perempuan itu sesungguhnya ingin sekali menangis. Tapi hal itu tentu saja tidak terjadi pada siang hari yang sungguh terik. Warna dan cahaya terlalu terang untuk memunculkan luka-luka itu. Dia tak ingin seorang pun mengetahuinya. Dia hanya ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri.
“Mama?”
“Ya, sayang,”
Meskipun telah sekian menit menunggu, bocah itu tak berniat mengajukan pertanyaan atau mengoceh tentang apa pun. Tangannya masih memegang botol susu. Dia berbaring di pangkuan mamanya. Merasakan kehangatan yang tak seorang pun bisa menggantikannya.
“Apa kamu ingin dinyanyikan sebuah lagu?”
“Lagu apa?”
“Bintang kecil?”
“Tapi sekarang masih siang, tidak akan ada bintang, Ma.”
“Ya, kamu benar.”
Bocah itu menggoyang-goyangkan botolnya, lalu kakinya, mengangguk-anggukkan kepalanya, dan tak lama kemudian dia tertidur.
***
Keesokan harinya, Orenda tahu suaminya menyimpan kebohongan. Tentang saat lelaki itu mengatakan dia tidak lagi memiliki uang, sepenuhnya salah. Orenda menemukannya di dompet lelaki itu, di saku celana yang tergantung di kamar. Jumlahnya tidak sedikit. Tetapi dia memilih tidak menanyakan apa-apa. Dan selanjutnya kehidupan berjalan sebagaimana mestinya. Kecuali luka itu. Luka yang meskipun telah sungguh sangat ditekan, tidak benar-benar bisa disembunyikan.
Perempuan itu menyukai air, sebagaimana dirinya membayangkan tubuhnya seekor ikan. Tetapi dia tidak sedang berada di sungai, atau ombak yang alirannya bisa membawanya ke suatu tempat. Dia tersesat. Atau seseorang telah mencurinya. Lantas memasukkan dirinya pada sebuah akuarium berbentuk bulat seperti helm seorang astronot yang terbalik. Dia juga menyukai langit, juga bintang-bintang yang menyertainya. Terlihat seperti taburan ketombe berjumlah sangat banyak, hanya saja butiran ketombe itu bercahaya.
Suaminya menyukai alam terbuka, sebagaimana dirinya membayangkan tubuhnya seekor burung. Tetapi dia tidak sedang berada pada langit-langit udara yang bebas. Dia tersesat. Atau seseorang telah mencurinya. Lantas memasukkan dirinya pada sebuah sangkar. Sangkar yang menghalanginya untuk terbang.
Baik Orenda atau pun Biru, sama-sama merindukan kebebasan. Hanya saja posisi mereka yang berbeda. Seekor ikan hidup dengan berenang, sedangkan seekor burung hidup dengan cara terbang. Satu-satunya hal yang menyatukan seekor burung dan seekor ikan adalah udara di ruangan yang sama. Lantas, apakah mereka masih harus saling merasa curiga dan terluka?[]
Kendal, April 2020
Mantap Orenda
BalasHapus:D
HapusSalut sama Orenda
Hapus:')
Hapus