31 Juli 2014

Resensi Buku Hoppipolla (Koran Jakarta, 23 Juli 2014)

Resensi versi Koran Jakarta (setelah melalui proses editing) bisa dibaca di Perada Koran Jakarta, sementara yang saya tampilkan di bawah ini merupakan versi asli sebelum mengalami proses penyuntingan oleh editor.

Sensasi Magis yang Mengawang
 

Gambar: Unsapress

Data Buku:
 
Judul: Hoppipolla
Penulis: Dedek Fidelis Sinabuntar, dkk.
Penerbit: Deka Publishing
Tahun Terbit : 2014
Tebal: vii + 133 halaman
ISBN : 976-602-7195-43-5  
Harga: Rp. 30.000, 00
 
Barangkali terkadang hal-hal ajaib terjadi di dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita menyadarinya. Demikian juga dengan Hoppipolla yang merupakan buku kumpulan cerita pendek terpilih sebuah komunitas kepenulisan UNSA di jejaring sosial facebook yang terdiri atas 12 judul cerita pendek dengan 12 penulis yang mengisahkan cerita-cerita yang dipenuhi keajaiban karena saat membacanya, saya seperti ditarik ke sebuah dimensi fantasi yang meskipun mengada-ada tetapi tetap bisa dinikmati dengan perasaan bahagia.

“… sebelum laki-laki itu terbangun dari mimpi anehnya, tiba-tiba seekor ikan mas koki berukuran setinggi tubuhnya—dengan perut menggembung, bersisik, mengilap emas kemerahan, dan indah—muncul di depannya entah dari mana (kemunculan yang tiba-tiba itu persis ketika kau sedang berduaan dengan kekasihmu …” (halaman 3). 

Ketika ia terbangun, ia benar-benar melihat seekor ikan mas koki di antara sekelompok mahasiswa—di dekat seorang gadis dengan rambut bergelombang—yang anehnya tidak menyadari kehadiran ikan tersebut (halaman 7). 

Efek magis yang lain juga saya temukan dalam cerpen Tangan Penyembuh oleh Marlina. Dalam cerita pendek tersebut, penulis hendak menceritakan sebuah kisah mengenai seorang gadis yang mengalami kecelakaan, lalu dalam kondisi ketidaksadarannya, ia merasakan usapan lembut mendarat di keningnya, bahkan menyeka air mata yang membasahi pipi sebab merasakan sakit yang teramat. Sentuhan itu lembut, dingin dan harum. Ia menyadari bahwa usapan tersebut merupakan usapan yang sama dengan yang terjadi sebelumnya (halaman 28). 

Sementara Marlyn Crist dalam Tembok Misterius memberikan gambaran batapa hidup terkadang dipenuhi hal-hal misterius. Bagaimana mungkin sebuah tembok bisa ditembus oleh seorang manusia dengan begitu saja jika bukan merupakan sebuah kejadian yang ajaib? Meskipun dengan cara bersusah payah, akhirnya Romi berhasil melompat melewati tembok tersebut. Ia merasakan sebuah kekuatan yang teramat kuat menghadangnya hingga akhirnya ia sampai pada sebuah desa di ujung jalan yang mempertemukannya dengan seorang pria. Pria tersebut hampir tidak percaya ketika Romi mengatakan bahwa ia berasal dari sebuah desa tanpa nama yang dikurung oleh gunung, sungai, dan tembok (halaman 104-106). 

Cerita lain yang cukup menyita perhatian saya adalah Titisan Khidir yang ditulis oleh Sandza. Bercerita tentang seseorang bernama Nila (bukan nama sebenarnya) yang memiliki kemampuan di atas rata-rata sehingga orang-orang menganggapnya sebagai indigo. Anak indigo dianggap memancarkan aura mistis dengan spektrum warna nila yang merupakan perpaduan antara warna biru dan ungu (halaman 120). Jadilah orang-orang menamainya Nila. Meskipun tampak sebagai nama seorang perempuan, namun Nila bukanlah anak perempuan (halaman 119).

Usia empat belas tahun, Nila sudah lulus sekolah tingkat atas karena sering loncat kelas sebab kemampuannya yang melebihi anak-anak lain seusianya. Hingga suatu hari ketika usianya menginjak tujuh belas tahun, ketika ia sudah menjadi mahasiswa pada sebuah perguruan tinggi nomor satu di negeri kecilnya, ia mengalami kecelakaan lalulintas. Sepekan lamanya ia tidak sadarkan diri. Selama sepekan itulah ibunya tidak juga berhenti mengurai air mata. Orang-orang di negerinya pun menggurat duka sebab takut kehilangan orang terpintar di negerinya.

 “Nila… Nila…” Ibu Nila bersorak mengguncang-guncang tubuh anaknya yang sudah mulai siuman.
“Panggil aku Khidir!” (halaman 124). 

Cerita pendek lain yang ada di dalam buku yaitu Karnaval Cinta, Watu Loreng, Mimbar Tua Baiturrahim, Sang Pelopor, Tumbal, Selendang Ungu Negeri Trawang Jagad, Beruang di Mimpiku, dan Sayrah Tujuh Ruh dalam Raga Satu. 

Membaca cerita-cerita tersebut agaknya membuat saya mengambil kesimpulan bahwa selain imajinasi yang maha luas, ternyata kisah sehari-hari pun tetap menarik untuk dikemas menjadi bahan tulisan dengan menawarkan sudut pandang lain yang unik atau bahkan belum pernah dijadikan cerita sebelum-sebelumnya.


Namun meskipun demikian, saya cukup menyayangkan bahwa penulis-penulis dalam buku ini agaknya masih terkungkung dalam ikatan tema ‘magis’ sehingga memiliki kecenderungan yang dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat mistis sehingga menimbulkan spekulasi bahwa cerita tersebut tidak jauh berbeda dengan cerita hantu yang menimbulkan kesan horor dan menyeramkan karena beberapa melibatkan tokoh jin, kesurupan, dan lain sebagainya.

Terlepas dari keseragaman kesan mistis yang dipahami oleh penulis, buku ini bisa dijadikan sebagai alternatif bacaan saat kita didera rasa bosan menghadapi berbagai problem realita yang cenderung menjemukan. Yang menarik dari realisme magis itu sendiri adalah bahwa sesuatu yang bersifat sangat permukaan bisa dipadukan dengan jalan cerita yang unik yang mengawang-awang sehingga menimbulkan kekhasan tersendiri.

Diresensi oleh: 
Fina Lanahdiana, Mahasiswa FIB Undip Semarang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar