30 Juli 2014

Penidur

Oleh Fina Lanahdiana

Aroma busuk tercium dari tubuhnya sebab pada tengah malam bulan ramadan sebelum orang-orang bangun untuk sahur, seorang pria terperosok pada sebuah kandang ayam milik Pak Lebe.

Tidak hanya bulu-bulu putih yang berhamburan, menempel pada tubuhnya, rambutnya, tetapi juga kotoran-kotoran ayam bercampur lumpur pekat turut serta melengkapi nasib sialnya.

Pukul tiga dini hari, Arman hendak ke musala untuk membangunkan warga kampung, namun di dekat rumah Pak Lebe, Arman melihat sesosok tubuh tergeletak di kandang ayam begitu saja.

"Mayat?" Arman menggumam disertai keragu-raguan.

Ia bergidik ngeri, merinding. Tetapi tidak terlalu lama, tangan orang yang diduga mayat itu menggapai-gapai ke udara, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pijakan untuk bangun. Kali ini tangannya menggenggam sebatang bambu yang menjadi tiang kandang ayam yang hanya diselimuti kawat dengan diameter lubang yang kecil, hingga binatang yang ada di dalamnya tidak bisa meloloskan diri.

Gerakannya pelan, namun sedikit demi sedikit tubuhnya mulai agak tegak. Arman tampak lebih panik dari sebelumnya, ketika pria yang semula tumbang itu menoleh ke arahnya.

Wajah Arman tampak pucat, setelah dipandangnya wajah pria tadi dipenuhi kotoran dan tatapan matanya hanya menampakkan warna putih tanpa bola mata berwarna hitam.

Pria yang terseok-seok itu berkali-kali bangun, namun berkali-kali jatuh juga. Ia mengamuk, berteriak marah, hingga mengoyak ayam-ayam yang ada di sekitarnya.

Arman buru-buru berlari ke musala, memukul kentongan, dan segera mengambil pengeras suara di dalam musala.

"Maling, maling, maling!"

Maryamah kaget. Ia membangunkan suaminya dengan heran.

"Pak, sejak kapan orang di musala itu membangunkan sahur dengan seruan maling?"

Jenggelek, suaminya bangun tanpa menjawab pertanyaan istrinya.

"Maling? Ibu tadi bilang ada suara maling?"

"Iya, Pak. Sebentar, tidak lama lagi suara itu pasti akan terulang."

"Maling, maling, maling!"

Kali ini suara tidak lagi berasal dari pengeras suara di musala, tetapi ada beberapa orang yang berseru dan terdengar langkah orang berlarian.

"Tuh kan, Pak. Ada maling."

Suaminya segera melupakan menu sahur yang sudah disiapkan istrinya. Ia bangun, mengenakan sarung dengan menggulung beberapa bagian atas di perutnya lantas keluar rumah untuk memastikan keadaan kampungnya.

Beberapa pemuda dan pria dewasa termasuk Pak Lebe berkumpul di dekat kandang ayam peliharaannya.

Pria yang masih tampak misterius itu kembali rubuh setelah mengamuk hingga menerbangkan ayam-ayam yang ada dalam kandang.

Tidak ingin gegabah, mereka tidak langsung menghakimi pria yang diduga maling itu, namun mereka sudah siap menggiringnya dan meminta pertanggungjawaban.

"Bawa ke rumah saya saja." tukas Pak Lebe.

"Tapi kan, Pak ..."

"Sudah, tidak apa-apa. Kita tanyai dia baik-baik."

Digiringlah pria tadi yang masih dalam keadaan setengah sadar ke dalam rumah Pak Lebe.

Istri Pak Lebe mengambilkan segelas air untuk membangunkan kesadarannya dengan dengan penuh.

Mereka melingkar di ruang tamu milik Pak Lebe. Pria itu mulai sadar. Matanya merah dan tampak seperti orang linglung.

Ia merasa terancam dan ketakutan, hingga terbesit niat dalam hatinya untuk melarikan diri. Tapi suami Maryamah segera mencengkeram lengannya hingga ia kembali terduduk.

Pria itu bernama Soim, ia mengaku berasal dari kampung sebelah.

"Kenapa kau tidur di kandang, Le?" tanya Pak Lebe bijak.

"Kandang? Maksud Bapak apa?"

"Pura-pura goblok. Hajar saja, Pak!" seru Arman.

Pak Lebe meminta semuanya agar tetap tenang. "Kalian pulang saja, lanjutkan sahur bersama keluarga kalian. Dia biarlah menjadi urusan saya."

Meskipun ada perasaan tidak puas, orang-orang segera membubarkan diri untuk kembali ke rumah masing-masing.

"Pak Lebe payah. Sudah jelas-jelas orang itu maling. Eh ..."

"Hush."

Pak Lebe meminta istrinya menyiapkan makan sahur untuk Soim. Ia akan bercakap-cakap untuk memperjelas duduk perkaranya.

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud ..."

“Tidak apa-apa. Makanlah, sebelum imsak."

Setelah keduanya menghabiskan santap sahur, terjawablah bahwa Soim tidak bermaksud untuk mencuri atau dengan sengaja tidur di dalam kandang ayam.

"Mungkin saya terlalu memuja keinginan bersenang-senang."

Tidak paham dengan yang dimaksud Soim, Pak Lebe segera menanyakannya. Ternyata ia baru saja merayakan kemenangan calon presiden pilihannya di rumah Dayat, bersama empat orang lain kawannya.

"Kami terlalu banyak minum bir murahan yang dijual di warung-warung."

Soim terlihat canggung mengakui perbuatannya. Pak Lebe menepuk pundak Soim dengan pelan.

"Beruntung, tadi para warga tidak langsung menghajarmu, Le."

Soim merasa lega karena Pak Lebe tidak mencaci, memukul, atau melaporkannya ke polisi.

Selepas subuh, Soim diperkenankan untuk pergi.

Di dalam pikiran Soim berkecamuk hal yang sampai kini tetap menjadi rahasia, bahwa sesungguhnya ia tidak hanya sekadar merayakan pesta bir, tetapi juga menghabiskan malam di kasur milik seorang perempuan gila sebab ulahnya dan kawan-kawannya beberapa bulan yang lalu.



Juli, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar