6 Februari 2021

Ritual Memecah Keramik


Pexels - Steve Johnson

Keramik-keramik itu selalu berakhir dengan menyedihkan di tanganmu. Seluruh bagiannya menjadi pecah berkeping bagai mozaik yang meminta siapa saja yang melihatnya bersegera merakit tiap sisinya menjadi utuh, mungkin menggunakan lem atau adukan semen, atau bahan-bahan perekat yang lain.  
 
Warna-warna yang kau pilih selalu berwarna sama, dan selalu sebuah mug, hanya motifnya saja yang berbeda. Jika kebetulan kau sedang sangat sibuk dengan berbagai pekerjaan dan sangat terpaksa harus membeli keramik berwujud sebuah mug, kau tidak segan meminta Liu, asistenmu untuk segera membelinya.

“Kau tidak perlu mencari warna lain. Ingat, hanya merah. Yang boleh berbeda hanya motifnya. Kau boleh memilih sesukanya untukku.”

Liu hanya menurut dan ia segera berangkat ke sebuah pusat perbelanjaan, meskipun semestinya ia dipenuhi banyak pertanyaan yang setiap harinya berputar di dalam kepala, meminta untuk sekadar disapa ‘hai’ dan hanya akan selalu berakhir dengan gelengan kepala.

Liu memang seorang asisten, namun kau lebih suka menganggapnya sebagai adik. Kau pernah sangat menginginkan seorang adik karena kau anak bontot dari orang tuamu, dan ketika Liu datang, tidak ada satu pun alasan yang mampu menghentikan keinginanmu.

*

Ada yang kau lupakan soal kebiasaanmu memecah mug keramik. Suatu hari, kau tidak menyadari bahwa Liu diam-diam memperhatikanmu di balik pintu dapur sebab merasa sangat terkejut ketika mendengar suara ‘prang’. Liu pikir kau sangat marah padanya karena pada hari yang sama, kau baru saja memarahi Liu perihal letak benda-benda di meja kerjanya yang berpindah tempat. Hal yang menjadikanmu pusing saat benar-benar membutuhkan sesuatu dengan mendesak, namun kau tidak kunjung menemukannya.

Liu menangis. Kau mendengar isak tangisnya ketika melintasi kamar tidurnya. Posisi yang cukup buruk. Tubuhnya tertelungkup dengan kedua tangan menutup wajah yang dibenamkan ke lekukan bantal.

Kau menyadari ada yang salah dengan Liu, maka kau mencoba mengetuk pintu dengan pelan hingga kau dengar suara handel pintu terbuka.

“Kau menangis? Ada masalah? Kau bisa bercerita kepadaku,”

“Tidak, Kak. Aku tidak apa-apa,”

“Tapi kau menangis. Tentu tidak ada sesuatu yang baik-baik saja dilewati dengan sebuah tangisan.”

Liu menunduk. Pikirannya bercabang, antara ingin bercerita atau tidak.

“Kakak marah?”

“Marah?”

“Soal tempat-tempat di meja kerja yang kupindahkan ...”

“Masalah itu sudah selesai, ‘kan? Dan kau sudah janji tidak mengulanginya,”

“Tapi kudengar sebuah suara pecahan di belakang. Seperti sedang membanting sesuatu.”

Kau cukup paham dengan arah pembicaraan Liu.

“Oh, bukan. Itu sama sekali tidak berhubungan denganmu. Nanti lama-lama kau juga akan mengerti. Sekarang kau tidurlah, jangan kau pikirkan apa pun tentang suara itu.”

Kau keluar dari kamar Liu—tanpa membawa perasaan apa-apa. Kau menganggapnya bukan sesuatu yang serius yang mesti kau cemaskan saat Liu memergokimu seolah monster pemecah benda-benda ringkih—lalu mengerjakan sesuatu di sebuah kursi di depan televisi.

Liu menghampirimu yang tengah sibuk—atau pura-pura mencari kesibukan—dengan menawarkan teh atau kopi atau susu.

“Boleh. Itu tentu sangat menyenangkan. Udara sangat dingin. Aku memilih teh. Kau buat dua, ya? Satu untukku dan satu untukmu.”

“Kakak belajar menyulam dari mana?”

“Oh, ini. Ibu pernah mengajariku. Tiba-tiba saja aku sangat merindukannya.”

“Maaf, apakah ibu baik-baik saja?”

“Iya. Ibu baik-baik saja. Di kampung. Aku di sini sendirian, demi sebuah pekerjaan. Itulah kenapa aku senang ketika kau datang. Aku tidak sendirian.”

“Sepertinya hari-hari Kakak selalu sibuk ya,”

“Tidak juga sebenarnya. Aku libur di hari Sabtu dan Minggu. Hanya saja kadang aku merasa sangat bosan di rumah. Jadi, anggaplah rumah ini seperti milikmu sendiri meskipun aku juga cuma mengontrak di sini. Tidak usah segan jika kau butuh sesuatu. Orang tuamu juga baik-baik saja, kan?”

“Benar. Ayah dan ibuku baik-baik saja. Hanya saja mereka semakin rapuh sekarang. Pekerjaan ayah juga tidak tentu. Buruh serabutan. Sejak lulus SMP dan memutuskan untuk merantau ke Jakarta, terkadang aku berpikir untuk menjadi TKW di Singapura atau Hongkong atau Taiwan seperti teman-temanku di kampung, di sisi lain aku merasa ngeri dengan banyaknya kekerasan yang terjadi. Meskipun aku tahu benar, tidak semua majikan di sana kejam. Aku membayangkan ketika harus berbicara menggunakan bahasa asing, sementara antara yang kumaksud dengan si tuan rumah maksud berbeda, itu bisa saja menjadi masalah yang besar. Aku juga tidak pandai bahasa Inggris, meskipun di sekolah sudah diajarkan.”

Diam-diam kau merasa haru dengan apa yang Liu ceritakan.

“Jadi kau sekarang tulang punggung keluarga?”

“Bisa dibilang begitu. Adikku masih SD sekarang. Setidaknya ia harus bersekolah sampai SMP sepertiku atau bahkan SMA.”

“Mungkin kita punya kisah yang hampir sama. Bedanya aku lebih beruntung bisa melanjutkan kuliah, bahkan mendapatkan pekerjaan yang layak di kota ini. Sebelumnya aku pernah bekerja di sebuah toko kue, toko baju dan toko sepatu.”

*

Kau semakin sering memecahkan mug keramik diam-diam. Meskipun Liu sudah memaklumi kebiasaanmu, terkadang kau juga menyimpan perasaan tidak enak terhadapnya. Kau tidak ingin terlihat sebagai monster di hadapan Liu. Kau semakin sering memilih waktu ketika Liu pergi belanja atau melakukan apa pun di luar rumah, hingga ia tidak melihatmu menjadi hantu pemecah keramik.

Pecahan-pecahan mug itu tidak kau buang dengan sia-sia. Kau mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai hiasan di halaman rumah sebagai pengganti batu-batu. Membentuk huruf atau hiasan di dalam kolam ikan yang kau miliki. Kolam ikan yang berisi beberapa ekor koi yang dipercaya sebagai pembawa keberuntungan. Kau tidak terlalu memercayainya, namun kau membeli ikan itu ketika di pinggir jalan penjualnya adalah seorang kakek yang terbatuk-batuk dan jarang dikelilingi pembeli. Tiba-tiba itu mengingatkanmu pada ayahmu di kampung. Kau selalu tidak habis pikir dengan nasib orang tua yang mesti menghabiskan masa tuanya di pinggir jalan. Kau mempertanyakan anak-anaknya, lalu merasa ngeri jika harus membayangkan orang tuamu berada di posisi mereka.

Membeli mug keramik artinya harapan baru. Itu seperti kau mengosongkan perasaan lamamu yang mengandung bibit luka. Jika melihat begitu banyak mug yang sudah kau pecahkan, lalu kau ganti dengan yang baru, sebanyak itu usia harapanmu yang telah mati. Ya, mati. Harapan-harapan itu mati tentu bukan atas keinginanmu sendiri.

“Sebenarnya sejak awal aku tidak pernah memercayaimu,”

“Memangnya apa yang kau curigai dariku?”

“Matamu. Ia berbicara lebih baik dari ucapanmu,”

“Mata itu melihat, bukan berbicara,”

“Terserah kau saja.”

Pertengakaran semacam itu lebih sering menghampiri hari-hari panjangmu sebagai perempuan. Pertengkaran yang semestinya tidak pernah diinginkan siapa pun. Entah perempuan atau laki-laki. Namun terkadang kau berterima kasih dengan pertengkaran-pertengkaran itu sebab kau lebih mudah menilai pribadi orang dengan kalimatnya.

#1

“Aku sangat mencintaimu, tapi keadaan tidak menginginkannya. Kau tahu kan maksudku?”

Itu sebuah cara yang halus tapi menyimpan rahasia.

#2

“Aku sungguh tidak melakukannya,”

“Jika aku melihatmu langsung bersama seorang perempuan apakah aku harus percaya kau tidak melakukannya?”

Itu adalah kebiasaan pembual.

#3

“Mestinya kau meneleponku dan bukan malah menyamankan dirimu sendiri,”

“Banyak hal yang mesti kuselesaikan hari ini,”

“Dan sekarang kau memesan kopi dan bukannya teh? Seleramu berubah? Pasti ada seseorang yang mengajarkannya padamu.”

Itu adalah seseorang suka memilin benang kusut.

Kau jarang sekali menangis dan tetap bisa berkepala dingin. Kau orang yang santai dan tidak suka membuat perkara, tapi kau selalu tidak tahu bahwa setiap harapan yang kau labuhkan pada setiap mug yang kau beli selalu kandas. Jika ada hal yang membuatmu menangis itu bukan sebab sesuatu yang berasal dari luar, tetapi sebab sesuatu yang berasal dari dalam dirimu sendiri. Liu pernah memergoki kau menangis, dan kau hanya menyalahkan dirimu sendiri ketika Liu bertanya alasanmu menangis.

“Kenapa Kakak menyukai warna merah?”

“Kau ingin tahu kenapa aku menyukai warna merah, dan bukan yang lain?”

“Kupikir kita sudah lama saling mengenal,”

“Karena warna merah melambangkan keberanian, aku menyukai warna merah untuk melawan ketakutan-ketakutanku sendiri. Ketakutan yang berputar-putar di dalam dadaku,”

“Ketakutan?”

“Kau tahu, aku tidak mudah menerima orang baru setelah gagal menjalin hubungan dengan orang lain. Rasa sakit itu, meskipun sudah terlampau sering hingga menjadikan pisau tumpul menjadi tajam, pun seolah menjadi air mengalir yang tetes demi tetesnya mampu melubangi permukaan batu. Aku merasa seperti batu yang kian rapuh dijatuhi air yang terus menerus pada bagian yang sama. Rapuh. Roboh. Jatuh.”

Begitulah selanjutnya mug lama berjatuhan dan terus kaugantikan dengan yang baru. Keramik-keramik berwujud mug itu seolah hatimu, yang kau biarkan untuk menampung aneka jenis minuman. Kau akan menggunakan mug itu sepanjang kau bertemu dengan orang baru. Namun, jika air itu terlalu panas atau dingin, tanganmu tidak segan menjadi hantu-hantu yang menginginkan sebuah ritual memecah keramik. Sesuatu yang tidak kau sadari, bahwa setelah kau menikah dan memiliki seorang gadis yang lucu, diam-diam ia mencuri mug lama yang kau simpan di almari, dan membantingnya tanpa tahu untuk apa ia melakukan itu.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar