13 Februari 2021

Sebutir Telur


Pixabay - Cdd20

 
Ritual pertama yang ia lakukan adalah berkunjung. Pagi itu, Mina pengunjung pertama di sebuah perpustakaan di kota S yang sebenarnya berjarak cukup jauh dari tempat tinggalnya, tapi ia memang menyukainya: berjalan dan berjalan dan berjalan-jalan.
 
Ia duduk di sebuah bangku tidak jauh dari jendela, di hadapannya rak-rak menjulang seperti tubuh angkuh gedung-gedung di tengah kota. Ia mengenakan kaus berlengan tiga per empat merah bergaris putih, rambut tergerai sebahu, celana jins tidak terlalu ketat dengan sepasang telapak kaki mengenakan sepatu kets. Sementara kulitnya putih bersih, seperti selalu gagal menyerap panas matahari.
 
Sebelumnya ia telah mendaftarkan namanya pada sebuah buku kunjungan yang memang disediakan bagi siapa saja yang menjelma tamu, dan memang selalu seperti itu.

“Selamat pagi …”

Pertama-tama, ia akan tersenyum kepada Mahir, seorang lelaki jangkung yang sedang mengerjakan entah di depan sebuah komputer, sementara jarinya sesekali menyeka mata yang barangkali sedikit mulai berair meskipun ia tidak sedang ingin menangis atau merasakan peraasaan apapun yang berpotensi mengundang air mata.

Beberapa jenak, lelaki itu terkejut, lalu membalas senyum di bibirnya yang sedikit gelap sebab terlalu tekun merokok.

“Hai, selamat pagi. Apa kabar?”

Suara itu terdengar ceria. Sapaan yang dilontarkan lelaki itu jelas bukanlah sebuah sapaan pertama. Sebelumnya mereka telah lama saling mengenal, karena perempuan itu telah melewati kunjungan pertama, telah berkali-kali berada di sana, dan selalu menjadi pengunjung pertama di setiap harinya.

Selanjutnya perempuan itu akan duduk di tempat yang diinginkan, sementara lelaki itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Mereka tidak banyak mengobrol, karena aturan mengharuskan ruangan tetap terjaga kesenyapannya.

Beberapa buku berukuran tipis hingga tebal telah berpindah ke meja Mina. Ia membaca dengan tekun dan tanpa peduli bahwa seandainya ia satu-satunya pengunjung yang berada di sana. Ia selalu tak pernah lupa membawa laptop dan buku catatan yang sudah berisi banyak kalimat susah dibaca dan cenderung tak beraturan jika dieja oleh orang lain—tanda bahwa ia berpikir demikian cepat, sehingga jari-jari tangannya berlari mengejar gerak isi kepalanya—tapi tentu tidak bagi dirinya. Jika ia telah memutuskan menjadi sibuk, maka seolah-olah ruang di sekitarnya hanyalah luas yang tanpa batas, sehingga ia bisa bebas bernapas di dalamnya. Bahkan laki-laki yang adalah petugas perpustakaan pun, perlahan-lahan menghilang dari pandangannya. Ia serupa titik dengan medan yang perlahan menjadi tiada.

“Apa yang kau lakukan di sana?” Tanpa berniat untuk mengganggu, Mahir memilih pertanyaan itu untuk memulai obrolan dengan pengunjung satu-satunya itu. dengan suara yang sengaja dipelankan.

“Hanya membaca.”

“Maaf. Aku kehabisan pertanyaan untuk percakapan kita.”

“Bukan sesuatu yang penting untuk dipikirkan. Barangkali, terkadang percakapan pun hanya akan serupa air hujan yang tak memiliki rencana mendung sebelumnya.”

“Ya, kau benar.”

“Kau sedang apa?”

“Menjadi sebutir telur.”

***

Nenek perempuan itu pernah mengatakan bahwa menjadi manusia tidak mudah, meskipun Tuhan telah mengatur dan menyediakan segalanya dan manusia cukup menjelma bocah pemetik buah-buahan di halaman rumah, namun ia tidak pernah bisa membayangkan jika seseorang menjadi sebutir telur. Bukankah akan semakin sulit untuk dijelaskan, dan bahkan lebih sulit hidup dibandingkan dengan menjadi manusia?

“Menjadi sebutir telur, kau tahu. Aku bisa menjadi apapun yang aku mau.”

“Itu sangat tidak menyenangkan, sebab menjadi sebutir telur kau tidak akan bisa melakukan apapun yang kau mau.”

“Tidak benar seperti itu,”

“Tetapi menjadi sebutir telur, kau hanyalah benda mati yang diam meskipun kau memiliki ruh sebagai janin, tapi tetap saja kau hanya bisa diam dan tak melakukan apa-apa. Bukankah menjadi yang seperti itu akan lebih sangat melelahkan?”

“Setidaknya aku akan berguna, setidaknya bagi manusia. Mereka yang menyukai telur goreng atau aneka olahan makanan berbahan telur lainnya, mertabak misalnya.”

Percakapan itu masih berlanjut, udara bercampur dingin AC yang distel pada suhu paling minimal.

“Aku sering memimpikan sebuah musim dingin saat cuaca tiba-tiba menjadi berangin. Seperti ini. Kupikir di sini, saat ini telah menjelma musim dingin.”

“Sebagai sebutir telur, aku tak merasakan apa-apa karena tubuhku dilapisi cangkang …”

“Mana yang lebih kuat, cangkang tubuhnu atau cangkang kura-kura?”

“Kura-kura binatang purba …”

***

Di luar, terdengar suara orang-orang ribut. Baik si perempuan atau pun si lelaki, tidak banyak mendengar suara. Mereka masih tekun dengan kesibukannya masing-masing. Bahkan seandainya pintu diketuk dengan sangat keras, mereka sama sekali tidak akan mendengar.

Tetapi ternyata pintu itu telah tidak ada. Juga gedung yang menaungi tubuh mereka. Tidak satu pun dinding tersisa. Tidak ada. Dan orang-orang di luar semakin berteriak, entah untuk apa. Kini bahkan tidak jelas lagi batas antara di luar dan di dalam, karena telah sama rata. Seperti air. Bahkan jika air memiliki gelombang dan ketinggian, tidak bagi batas antara di luar dan di dalam.

“Sudah kukatakan, kau tidak semestinya menjadi sebutir telur.”

“Biar.”

“Kau akan remuk hanya karena satu kali injakan.”

“Biar.”

“Apa yang kau pikirkan? Apakah kini bahkan kau masih berpikir bahwa sebatang pohon memiliki kemampuan untuk mengubah diri menjadi seorang manusia?”

“Apa maksudnya?”

“Kau …”

“Yang terjadi adalah sebaliknya. Manusia yang kerap ingin menjadi pohon. Kau bisa membacanya di banyak buku cerita.”

***

Mina terbangun dari tidurnya dengan tergesa dan terbata-bata, sudah pukul 02.13. Bukankah semestinya ia berada di perpustakaan? Tetapi apa yang terjadi bahwa ia masih berada di rumah dan tak seorang pun berada di dekatnya. Ia hanya sendiri bersama tubuhnya yang semakin menggigil karena kedinginan. Ini bukan musim dingin karena ia ingat bahwa ia tinggal di sebuah negara dengan iklim tropis yang tidak mungkin dialiri musim dingin.

Sebuah telepon berdering. Ia bangun dengan malas untuk sekadar mengangkat dan berkata halo, siapa yang berbicara di sana?

“Mina …”

“Ya …”

“…”

“Halo?”

Ia mulai cemas karena telepon terputus dan percaya seseorang barangkali tengah dalam sebuah bahaya.

***

Pagi itu Mina bangun—sekali lagi—dengan kepala sakit sebab ia tertidur dengan posisi duduk dengan kepala berada di meja telepon dan tak seorang pun membangunkannya. Ia ingat harus buru-buru melakukan ritual kunjungan ke perpustakaan agar ia tidak merasa cemas bahwa ia telah melupakan sesuatu.

Sejak beberapa bulan yang lalu, seseorang mengatakan bahwa ia harus menuliskan apapun tentang dirinya, tentang banyak hal yang dialaminya, tentang banyak hal yang dirasakannya. Banyak sekali, agar ia tidak terlalu banyak lupa, karena pikirannya bergerak sangat cepat. Seseorang pernah berkata, “Jika kau memiliki pikiran yang bergerak sangat cepat, maka kau juga akan banyak meninggalkan banyak hal di belakang. Kau mungkin harus menuliskan apa pun tentangmu, tentang apa saja yang kau kerjakan setiap harinya, agar kau memiliki peta jejak dan kemudian tak perlu untuk tersesat.”

Ia membayangkan dirinya seolah sebuah istana pasir di dekat pantai, yang bangunannya bisa runtuh kapan saja ketika ombak melewati bibir pantai dan menyapu seluruh tentangnya. Tapi tentu saja ia tidak menolak untuk menjalankan dengan sebaik-baiknya saran dari temannya tersebut, karena ia sadar bahwa hilang atau tersesat sama tidak menyenangkannya, apalagi kehilangan diri sendiri.

Ia ingat tentang telepon yang seolah belum lama diterimanya dan memutuskan untuk ke luar rumah.. Di sana ia bertemu dengan pamannya yang sedang bercakap dengan serius kepada seseorang.

“Paman Lu, apakah sesuatu terjadi?”

Lelaki berusia empat puluh delapan tahun di hadapannya hanya diam. Matanya berkedip seolah sedang mengurai cerita yang panjang. Tatapannya memandang ke arah jam dua. Mina mengikuti tatapan itu, dan masih mencari tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Perlahan, api seolah menjalari seluruh tubuhnya yang selanjutnya diikuti tetesan bulir-bulir keringat. Tapi kali ini rasanya teramat dingin. Melebihi embusan AC yang biasa ia terima. Ia merasakan sesak saat Paman Lu akhirnya berkata, ”Di sana, di kota S, hampir seluruh bangunannya telah menjadi tiada. Rata oleh getaran gempa.[]
 
Kendal, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar