22 Mei 2020

Euforia

Ilustrasi: Unsplash

Agna tidak tahu bagaimana kekacauan itu bermula, tetapi pertama-tama ia ingin mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang terlibat di dalamnya. Siang itu ia memilih sakit kepala, meskipun tentu saja sakit kepala bukanlah sesuatu yang bisa dipilih semudah ketika ia memasuki sebuah toko pakaian untuk memilih baju-baju yang sesuai dengan seleranya. Berkali-kali ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah sakit kepala bisa direncanakan? Tetapi selalu berakhir dengan diam.

Suatu kali ia pun bertanya kepada Yovia, salah seorang teman kerjanya, dan ia dianggap sinting karena tentu saja tak seorang pun ingin didera sakit kepala.

“Yang kutahu, banyak orang sakit kepala pergi ke apotek atau dokter untuk mencari penyembuhan. Lalu apa yang saat ini kau pikirkan?”

“Sudah kuduga kau akan berkata seperti itu,”

“Tentu saja aku tidak tertarik dengan pertanyaanmu dan tetap menganggapmu gila.”

“Terima kasih,”

“Untuk apa?”

“Aku senang bahwa kau berterus terang. Itu bagus, karena sangat sering kita bahkan tidak bisa jujur dengan diri kita sendiri.¹

Pada mulanya ia tidak lagi ingat atas pertanyaan anehnya tentang rencana sakit kepala, tapi siang itu kepalanya teramat sakit, dan hanya sebelah. Seperti ada yang mengganjal di dalam telinganya sebab sesuatu menjalar di sana. 

Matanya mengerjap-ngerjap di hadapan layar komputer, tetapi yang ia temui hanya buram tulisan yang seolah bergerak-gerak.

“Apakah ada gempa?” tanyanya pada Yovia.

Tentu saja tidak ada gempa. Hari itu cuaca bagus, dan langit sedang biru-birunya. Seperti perasaannya yang terkadang meluap-luap tanpa sebab.
***
Ia memutuskan untuk mengambil air pada sebuah dispenser di sudut ruang kerjanya, tapi tidak ada. Galon itu kosong dan tiba-tiba seperti ada yang bergolak di dalam perutnya. Tapi ia memilih tidak mengatakan apa-apa dan malah melanjutkan melunasi pekerjaan dengan terburu-buru dengan maksud ia tak lagi merasakan perlawanan di dalam tubuhnya.

“Apakah kau sudah menghubungi Jo?”

Tetapi agaknya langkah yang ia ambil tak terlalu berpengaruh banyak. Ia mulai berkeringat, dan dingin. Orang-orang yang berada di sekelilingnya seolah titik yang semakin hilang, sementara yang tersisa satu-satunya hanyalah dirinya. Ia ingat pernah melakukan percobaan itu, memandang sebuah titik di antara banyak titik di antaranya, dan yang tersisa hanyalah satu titik yang menjadi fokus sepasang matanya. Sementara yang terjadi saat ini bahwa yang semakin hilang darinya tidak hanya wujud teman-temannya, tetapi juga suaranya yang semakin samar hingga membentuk dengung tak bisa dipahami, dan hilang.

Ia tersadar setelah sebuah telapak tangan menepuk punggungnya, “Apakah kau sudah menghubungi Jo untuk mengganti galon kita yang kosong?”

“Eh…”

“Kau melamun lagi, Na?”

Itu suara Yovia. Perempuan itu tidak banyak bertanya selanjutnya, tentang mengapa Agna melamun, atau apakah yang sedang dipikirkannya, atau apakah ia baik-baik saja, tapi Yovia jelas bertanya-tanya di dalam kepalanya. Perempuan itu membatin bahwa mungkin saja ada sesuatu yang sedang terjadi pada Agna. Wajahnya agak pucat, dan ia memang beberapa kali memergoki Agna sedang memegang kepalanya, meski tak begitu tampak sebab tangannya cepat-cepat bergerak di atas papan tombol komputer di hadapannya.

Yovia bukan tipe orang yang tidak peduli, bahkan bisa dikatakan bahwa ia salah seorang teman kerja Agna yang paling memperhatikannya. Kali ini ia meletakkan sebuah botol minum di hadapan Agna, sebuah botol minum berwarna hijau terang yang mengingatkan warna sebuah stabilo. Hijau stabilo. Sebutan yang cukup aneh karena stabilo sendiri sebenarnya adalah sebuah merek marker dan bukannya salah satu jenis warna.

“Aku tahu kau butuh minum. Jadi, minumlah. Tak perlu khawatir, aku sudah menghubungi Jo dan ia akan segera datang. Kau tampak sedikit sakit. Mungkin lelah? Atau kau memang sedang sakit, hanya dirimu yang tahu.”

Yovia meninggalkan meja Agna dan membiarkan temannya itu membereskan kekacauan. Ia hafal betul bagaimana karakter Agna. Seseorang yang tidak suka jika ada orang lain yang banyak ikut campur, tetapi juga kadang-kadang perlu untuk dipedulikan. Sendiri bagi Agna adalah waktu untuk memerdekakan banyak hal.

Tidak lama setelahnya, Jo masuk dengan membawa galon berisi air untuk mengganti galon yang kosong. Ia begitu lihai melakukannya seolah-olah memang sudah mengerjakan pekerjaan itu sejak ibunya melahirkannya. Kadang-kadang pemuda dua puluh dua tahun itu memang senang bergurau. Ia mengaku terang-terangan bahwa ia ahli persoalan mengganti galon sebab ia memang dilahirkan telah membawa bakat itu sejak ibunya mengandung. Tentu saja tidak ada yang bisa dipercaya. Namun meskipun begitu, orang-orang merasa senang dengan gurauannya itu dan tetap tertawa.

“Terima kasih.”

Agna mengembalikan botol minum milik Yovia dan telah menggantinya dengan air baru setelah galon kembali terisi. Suaranya terdengar mengambang dan canggung. Yovia memaklumi itu. Agna memang bukanlah seseorang yang pandai mengekspresikan sesuatu. Ia cenderung pendiam dan kadang-kadang tak percaya pada dirinya sendiri. Ia juga seseorang yang tampak pemurung jika bertemu orang-orang yang belum terlalu mengenal dan dikenalnya. Seperti ada sebuah tembok tinggi di hadapannya yang tak mudah ditembus oleh siapa pun. Bahkan jika seseorang itu telah mengenal Agna selama bertahun-tahun. Ia tetap terasa asing. Selalu ada hal-hal baru yang belum diketahui oleh orang lain. Setiap harinya.

“Kau sudah lebih baik?”

Perempuan itu hanya mengangguk. Keduanya tersenyum. Agna kembali mengucapkan banyak terima kasih di dalam hati. Ia benar-benar mengagumi karakter Yovia. Bukan seseorang yang suka memaksa dan pandai berterus terang. Ia tahu tidak banyak orang seperti itu, dan ia senang memiliki teman seperti Yovia.

“Tentang memilih untuk sakit kepala, sebenarnya aku telah melakukannya tanpa banyak bertanya sebelumnya. Aku minum kopi hitam pekat tanpa gula, dan kini kepalaku benar-benar seperti hampir pecah.”

“Kau tidak seharusnya melakukan itu.”

“Terima kasih. Dan aku memang sedikit menyesal.”

“Kau bisa izin jika memang belum terlalu baik untuk melanjutkan pekerjaan,”

“Tidak, tidak. Aku baik-baik saja.”

Terdengar suara ketukan pintu. Seorang perempuan melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati seolah takut mengganggu siapa pun yang ada di ruangan itu. Hampir tampak sebagai mengendap-endap, meskipun ia bukan hendak mencuri dan yang mengendap-endap memang tidak hanya pencuri.

“Air …”

Agna hanya menoleh sebentar hanya untuk tetap diam tanpa membalas dengan suara jenis apa pun. Ia hanya mendengus kesal setelah sebelumnya sedikit membelalakkan matanya untuk beberapa saat ke arah Almi. Selanjutnya suasana hening itu berhasil cair oleh suara Yovia yang memang renyah seperti dentingan mangkuk penjual bakso yang biasa lewat ketika siang sedang terik-teriknya.

“Jo baru saja mengganti galon. Kau cukup beruntung.”

“Aku tahu karena tadi melihat Jo keluar dari sini dengan menenteng galon kosong.”

Senyum Yovia mengembang dengan demikian manis. Tentu saja Almi membalasnya dengan suka cita. Tetapi yang tampak di hadapan Agna tidak demikian. Ia seperti melihat keganjilan pada senyum Almi. Senyum yang aneh, tampak dipaksakan, dan lebih mirip sebagai seringai. Cihhh. Agna membuang wajah untuk kembali fokus pada layar komputer yang cahayanya meredup untuk beberapa saat, masuk dalam mode tidur karena tidak sedang digunakan.

Langkah kaki Almi menjauh. Gerak-gerik tubuhnya melenggak-lenggok. Perlahan, punggungnya mulai hilang di balik pintu.

“Kenapa kau terlihat kesal begitu, Na?”

“Bukankah dia orang yang begitu menjengkelkan? Tapi kau bisa tampak begitu manis di hadapannya. Kepalaku jadi lebih sakit sekarang.”

Yovia tertawa. Sebentar saja. Kemudian hening.

“Aku tahu maksudmu, Na. Ya, kadang-kadang dia mirip sekali dengan ibu-ibu kompleks yang senang bergosip. Aku juga tahu bahwa dia datang hanya ketika butuh bantuan. Tapi bagaimana pun, dia rekan kerja kita.”

Yovia mengatakan itu dengan suara yang dipelankan agar orang lain tak perlu mendengar, sementara pada akhirnya Agna hanya bisa membenarkan untuk kemudian berpikir apakah ia harus menyesal, atau memang ia harus menyesal akan sikapnya yang keliru terhadap Almi. Atau sesungguhnya ia tidak keliru karena mengatakan kebenaran?

Bunyi detik jam terdengar terlampau nyaring untuk telinga Agna. Senyap itu, yang tiba-tiba datang di tengah-tengah percakapan membuat suasana kering seperti sebatang ranting kering yang terinjak, lalu patah.

“Tak perlu dipikirkan terlalu dalam, Na. setidaknya kau sudah berani jujur terhadap dirimu sendiri. Mau menonton film? Aku punya …”

“Tentang apa?”

“Seorang lelaki, ilmuwan—atau apa—yang terobsesi menemukan kehidupan di planet lain sebab ia pernah ditinggalkan.”

“Sepertinya menarik.”

“Ya, sampai ia tidak menyadari seseorang lain yang datang dalam hidupnya—seorang perempuan bernama Clara—hingga akhirnya ia begitu terlambat karena seseorang itu pada akhirnya juga pergi, sementara ia terlalu fokus pada penelitiannya.”

“Sci-fi?”

“Ya.”

“Bagaimana akhir ceritanya?”

“Tidak menarik lagi bagi suatu cerita yang keseluruhan isinya telah dibocorkan. Jadi, mari kita menontonnya bersama-sama.”
***
¹ Kutipan dialog salah seorang tokoh di dalam film Rashomon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar