Pixabay - Layers |
“Kenapa kita tidak bersenang-senang saja daripada memikirkan hal-hal yang tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita?”
Bagi Alin, perkataan Nuha lebih menyerupai kemarahan yang tumpah hingga banjir, meluber ke mana-mana, termasuk ke dalam kepalanya. Padahal tidak sesungguhnya seperti itu. Kalimat yang diucapkan Nuha adalah kalimat yang biasa-biasa saja dan tidak tampak sebagai kemarahan apa pun. Tetapi tentu saja karena Alin menangkapnya lain, ia memilih menyingkir dari hadapan Nuha dengan terlebih dahulu membanting sebuah gelas—sebenarnya lebih tepat disebut menghentak keras-keras, karena tidak sampai membuat gelas itu pecah—di atas meja hingga sebagian isinya terlempar keluar dari gelas itu dan mengotori meja di bawahnya. Tidak hanya itu, ia juga melempar sendok seolah sebuah bola yang berhasil menjebol gawang, ke arah wastafel.
Nuha yang menyaksikannya memilih diam dengan maksud untuk meredakan badai yang sedang kencang-kencangya, meskipun cuaca tidak sedang hujan. Segala sesuatu di luar dirinya tampak baik-baik saja. Ia meraih gelas berisi cairan kopi itu untuk kemudian meminumnya dengan tergesa. Panas membuatnya segera menurunkan gelas dari bibirnya yang merah meskipun tanpa polesan pewarna bibir jenis apa pun, meski ia adalah seorang perokok berat. Lelaki itu kemudian duduk. Diam. Lama sekali ia menimbang-nimbang tentang bagaimana seharusnya ia bersikap agar tidak menjadikan badai yang sedang menyerang tidak semakin berbahaya. Dilihatnya jam dinding yang jarum pendeknya menunjukkan angka sembilan. Waktu yang seharusnya tidak perlu terjadi pertikaian. Ia menghela napas, panjang. Memungut sebatang rokok untuk kemudian menyulutnya dengan pemantik. Menghisap ujung rokok itu dan mengembuskannya hingga asap tebal memenuhi sekitar wajahnya. Hingga wajah itu tak lagi tampak jelas selain hanya kabut putih yang melayang-layang di udara.
Bayangan besar seolah raksasa telah memilih Alin sebagai mangsanya. Hingga pada akhirnya perempuan itu demikian takut oleh sebab entah. Di hidupnya segalanya seolah berubah menjadi ganjill. Juga mimpinya.
“Kau pasti tidak akan mempercayai apa yang akan aku ceritakan. Meskipun tentu saja aku berharap kau mempercayainya untuk kemudian tidak menganggapku gila.”
Terdengar helaan napas berat. Perempuan itu memang telah menahan sekian lama untuk tidak menceritakan apa-apa dan menyimpannya sebagai rahasia. Akan tetapi, perasaannya seolah udara yang dipenuhi dengan polusi, seolah jalan-jalan yang dipenuhi kendaraan dan aneka jenis kemacetannya.
“Dongeng barangkali memang tidak bisa dipercaya, tetapi kau tahu masyarakat kita memilih untuk mempercayainya.”
“Kau benar.”
Suara itu terdengar seperti sedang berputus asa.
“Jadi kau ingin bercerita tentang apa?”
“Ini tentang mimpi.”
“Mimpi adalah bunga tidur, Alin. Kau sudah mengetahuinya sejak kau masih bocah, kan?”
“Tapi sebagaimana yang kau katakan tentang dongeng yang masih dipercayai orang-orang, mimpi pun demikian.”
“Baiklah. Terserah kau saja.”
***
A:\Rahasia\Seekor Paus Terdampar di Perpustakaan>
Tiba-tiba saja Alin tersesat. Seperti tengah bangun dari tidur dan tak mendapati dirinya berada di dalam kamarnya atau tempat-tempat yang ia tahu berada di rumahnya. Tidak di taman Klorofil dengan sekeliling berwarna dominan hijau dengan bangku-bangku yang senantiasa menunggu. Tidak di sebuah pasar Trowong di mana ia senantiasa mencium bau amis ikan-ikan dan ayam berwarna kekuningan dengan kepala terkulai yang dipaksa mati jadi bangkai. Tidak di sebuah pusat olah raga yang mendadak disukai orang-orang demi berat badan yang ideal. Tidak seperti itu. Ia berada di sebuah perpustakaan. Sebuah gedung yang dipenuhi buku-buku yang menjejali rak dan menjulang di sekelilingnya. Tempat itu bernama Benggala.
Tubuhnya tegak, duduk dengan sebuah buku terbuka di hadapannya. Ia tidak ingat pernah mengenal tempat yang di dalamnya ada ia. Yang ia tahu bahwa tempat itu adalah perpustakaan. Tidak lain karena apa-apa yang berada di sana. Meskipun toko buku juga berisi rak menjulang dengan buku-buku yang menjejalinya, tapi ia sungguh yakin bahwa gedung itu bukanlah sebuah toko buku.
Masih dalam keadaan bingung, ia mencoba mencermati buku yang sedang ia baca. Tidak benar-benar ia baca tentu saja, karena buku itu tahu-tahu telah ada di hadapannya, atau ia yang tiba-tiba berada di sana. Tangannya membolak-balik halaman buku sehingga didapatlah sebuah kesimpulan bahwa buku tersebut setidaknya adalah buku yang berisi tentang binatang. Ensiklopedia binatang barangkali, atau semacamnya.
Begitu heran karena tempat itu demikian sepi, ia memilih untuk berjalan-jalan di ruangan itu. Mendekati rak demi rak yang tentu saja tak ia hafal seluruhnya tentang buku-buku apa saja yang berada di sana. Tetapi alangkah terkejutnya ia, ketika pada sebuah celah rak tersebut, seekor paus tengah terdampar di sana. Ya, seekor paus.
“Jangan merasa sedang tersesat atau apa. Kau memang ditakdirkan untuk berada di sini.”
Perempuan itu terlonjak kaget hingga langkah kakinya mundur beberapa langkah. Mulutnya seolah tak hendak berhenti untuk berteriak, sementara dadanya berdetak lebih kencang seolah ia baru saja dikejar kuda pacuan. Berkali-kali ia menampar pipinya. Kanan, kemudian kiri. Tapi ia merasakan sakit.
“Ini bukan mimpi!”
“Kau benar. Ini bukan mimpi.”
“Ikutlah aku ke laut!”
“A-pa?”
“Ikutlah aku ke laut.”
“Bagaima-na bisa?”
“Kau cukup menganggukkan kepala.”
B:\Rahasia\Perahu-perahu Karam>
Dengan mengikuti anjuran seekor paus yang terdampar di perpustakaan, Alin menganggukkan kepala. Paus itu juga memintanya menutup mata. Dalam sekejap yang tidak dapat ia tangkap bagaimana persisnya, ketika membuka mata ia telah berada di sebuah pantai. Perahu-perahu karam begitu banyak seolah sampah yang teronggok, sengaja ditinggalkan pemiliknya.
“Apakah tidak ada lagi orang-orang yang punya cita-cita jadi nelayan?”
“Sepertinya begitu. Di zaman serba mesin sekarang ini, orang-orang mulai meninggalkan laut dan memilih bersahabat dengan mesin-mesin yang diciptakan manusia lainnya. Segalanya menjadi tampak lebih mudah, meskipun persaingannya tentu saja semakin ketat.”
“Persaingan apa?”
“Orang-orang di zaman serba mesin ini bisa bekerja menjadi apa saja. Membuat konten video, berjualan dan berbelanja cukup menggunakan ponsel/komputer mereka, bekerja tanpa harus pergi ke kantor. Tentang ini kau tentu saja sudah tahu, kan?”
“Ya. Cukup bekerja dan menunggu di rumah dan segala yang diperlukan akan segera datang menghampiri rumah mereka tanpa mesti bersusah payah menghabiskan bensin atau tenaga untuk berputar-putar.”
“Naiklah pada salah satu perahu. Kau tentu saja tidak harus berenang untuk menyeberang. Aku bisa mendorong perahumu untuk ke tengah.”
“Untuk apa?”
“Ada terlalu banyak hal yang terjadi dan tak disadari. Cepat, naiklah!”
Alin yang begitu penasaran dengan apa yang menimpanya, meskipun demikian heran tetap saja menurut. Ia naik ke atas perahu dan seekor paus segera mencelupkan dirinya ke air. Ia mendorong perahu perlahan-lahan. Ayun, ayun, ayun.
“Apakah ini tidak terlalu berbahaya?”
“Mungkin,”
“Tidak seharusnya kau membawaku ke sini. Aku butuh memberitahu suamiku.”
“Nuha maksudmu?”
Sekali lagi, Alin demikian takjub. Bagaimana seekor paus mengenal nama suaminya sementara mereka tidak pernah bercakap-cakap sebelumnya. Tentu saja, ia seorang manusia dan yang diajaknya bicara kini adalah seekor paus. Tentu saja paus tidak berbicara kepada manusia.
“Aku sedang berada di mana?”
“Kota Yrarbil.”
“Apa itu?”
“Itu tak terlalu penting untuk kau tahu.”
Langit yang semula berwarna biru cerah dengan awan-awan putih seperti kapas terbang itu berangsur menjadi abu-abu. Gelap, dan kian.
“Aku takut!”
Tetapi paus itu tidak mengatakan apa-apa. Tentu saja membuat Alin berpikir bahwa paus itu berniat membunuhnya.
“Aku tidak sedang ingin membunuhmu. Membunuh, bagaimana pun tetap kurang masuk akal untuk dilakukan jika hanya untuk bertujuan mengusahakan sesuatu yang sebenarnya masih bisa diupayakan dengan cara-cara yang baik. Meskipun aku hanya seekor paus. Aku tak suka membunuh sebagaimana manusia suka melakukannya. Baik membunuh sesamanya atau pun para binatang. Aku tidak sedang ingin balas dendam.”
“Kau membaca pikiranku.”
Perempuan itu menggerutu. Paus itu tidak mengatakan apa-apa. Perahu masih melaju. Maju. Menuju warna biru.
C:\Rahasia\Kepala-kepala yang Terapung di Laut>
Warna langit tidak membaik. Ia seperti seseorang yang tengah dilanda demam. Cahaya kilat dan suara guruh serupa batuk dan bersin yang saling bergantian.
Alin menutup mata juga telinganya agar tak lagi melihat dan mendengar kengerian yang kini tengah berada di depannya. Tak seorang pun bisa membantu. Tidak paus itu, tidak juga Nuha suaminya. Gelombang air kian tinggi, meski tak sampai melahirkan ngeri tsunami. Ia duduk, semakin menunduk, memasukkan kepalanya di antara lutut. Ia ingin sekali tidur untuk kemudian menemukan dirinya telah berada di kamar tidurnya ketika membuka mata. Di rumahnya yang dipenuhi bunga-bunga. Tapi itu semua tidak lekas terjadi. Ini bukanlah sebuah mimpi yang tengah berjalan-jalan di antara tidur.
“Buka matamu dan lihatlah sekelilingmu.” pinta paus di seberang perahu.
Segalanya masih tetap sama. Langit tak berwarna biru. Masih abu-abu. Hanya saja bunyi guruh dan cahaya kilat tidak lagi berada di sana.
“Apakah ini malam hari? Tapi kenapa aku masih melihat semuanya demikian terang dan jelas?”
“Uhm. Ya. Ini malam hari.”
Dan Alin kembali harus meluncurkan suara keras-keras. Di sekitar perahunya, kepala-kepala terapung. Seperti mayat. Atau barangkali memang mayat. Tapi tidak tampak luka di sekitarnya, seolah-olah kepala-kepala itu hidup dan berdiri sendiri tanpa bergantung pada bagian tubuh yang lain.
“Itu ikan-ikan.”
“Apa?”
“Ikan-ikan.”
Ia tidak mengerti ada ikan dengan wujud mengerikan berupa kepala manusia.
“Bagaimana bisa?”
“Kau juga ikan.”
“Apa? Aku semakin tidak mengerti. Jangan suka bercanda. Kau sama sekali tidak berbakat membuat lelucon.”
“Ada salah satu kepala dengan wajah tengadah itu—maksudku ikan—dan itu adalah kau.”
“Aku manusia dan bukannya ikan berwujud kepala manusia.”
“Yrarbil memang begitu. Karena kau adalah mahluk dari luar Yrarbil, maka di sini kau menyesuaikan diri menjadi seperti penduduk Yrarbil. Maksudku, binatang Yrarbil. Di sini manusia telah punah karena saling menghabisi satu sama lain. Dan kau adalah satu-satunya ikan yang masih bertahan.”
Kepala Alin mendadak pening, dan seketika segalanya menjadi hening.
Tentang bagaimana respon suami Alin setelah mendengar cerita-ceritanya—sebenarnya cerita itu tidak diceritakan secara langsung karena suaminya menemukan telah berupa data dalam folder sangat rahasia sehingga dipagari sebuah kata kunci sangat rumit—di sebuah komputer pribadi miliknya. Dan Nuha mendapatkan kunci itu pada sebuah surat yang tergeletak di meja, di samping segelas kopi yang telah disiapkan istrinya. Surat yang kemudian menjadi permulaan hilangnya Alin, karena tak seorang pun mengaku melihat atau menemukannya setelah kertas-kertas berisi informasi kehilangan yang disebar dan ditempel di sembarang tempat di sepanjang kota Atialer.[]
Bagi Alin, perkataan Nuha lebih menyerupai kemarahan yang tumpah hingga banjir, meluber ke mana-mana, termasuk ke dalam kepalanya. Padahal tidak sesungguhnya seperti itu. Kalimat yang diucapkan Nuha adalah kalimat yang biasa-biasa saja dan tidak tampak sebagai kemarahan apa pun. Tetapi tentu saja karena Alin menangkapnya lain, ia memilih menyingkir dari hadapan Nuha dengan terlebih dahulu membanting sebuah gelas—sebenarnya lebih tepat disebut menghentak keras-keras, karena tidak sampai membuat gelas itu pecah—di atas meja hingga sebagian isinya terlempar keluar dari gelas itu dan mengotori meja di bawahnya. Tidak hanya itu, ia juga melempar sendok seolah sebuah bola yang berhasil menjebol gawang, ke arah wastafel.
Nuha yang menyaksikannya memilih diam dengan maksud untuk meredakan badai yang sedang kencang-kencangya, meskipun cuaca tidak sedang hujan. Segala sesuatu di luar dirinya tampak baik-baik saja. Ia meraih gelas berisi cairan kopi itu untuk kemudian meminumnya dengan tergesa. Panas membuatnya segera menurunkan gelas dari bibirnya yang merah meskipun tanpa polesan pewarna bibir jenis apa pun, meski ia adalah seorang perokok berat. Lelaki itu kemudian duduk. Diam. Lama sekali ia menimbang-nimbang tentang bagaimana seharusnya ia bersikap agar tidak menjadikan badai yang sedang menyerang tidak semakin berbahaya. Dilihatnya jam dinding yang jarum pendeknya menunjukkan angka sembilan. Waktu yang seharusnya tidak perlu terjadi pertikaian. Ia menghela napas, panjang. Memungut sebatang rokok untuk kemudian menyulutnya dengan pemantik. Menghisap ujung rokok itu dan mengembuskannya hingga asap tebal memenuhi sekitar wajahnya. Hingga wajah itu tak lagi tampak jelas selain hanya kabut putih yang melayang-layang di udara.
Bayangan besar seolah raksasa telah memilih Alin sebagai mangsanya. Hingga pada akhirnya perempuan itu demikian takut oleh sebab entah. Di hidupnya segalanya seolah berubah menjadi ganjill. Juga mimpinya.
“Kau pasti tidak akan mempercayai apa yang akan aku ceritakan. Meskipun tentu saja aku berharap kau mempercayainya untuk kemudian tidak menganggapku gila.”
Terdengar helaan napas berat. Perempuan itu memang telah menahan sekian lama untuk tidak menceritakan apa-apa dan menyimpannya sebagai rahasia. Akan tetapi, perasaannya seolah udara yang dipenuhi dengan polusi, seolah jalan-jalan yang dipenuhi kendaraan dan aneka jenis kemacetannya.
“Dongeng barangkali memang tidak bisa dipercaya, tetapi kau tahu masyarakat kita memilih untuk mempercayainya.”
“Kau benar.”
Suara itu terdengar seperti sedang berputus asa.
“Jadi kau ingin bercerita tentang apa?”
“Ini tentang mimpi.”
“Mimpi adalah bunga tidur, Alin. Kau sudah mengetahuinya sejak kau masih bocah, kan?”
“Tapi sebagaimana yang kau katakan tentang dongeng yang masih dipercayai orang-orang, mimpi pun demikian.”
“Baiklah. Terserah kau saja.”
***
A:\Rahasia\Seekor Paus Terdampar di Perpustakaan>
Tiba-tiba saja Alin tersesat. Seperti tengah bangun dari tidur dan tak mendapati dirinya berada di dalam kamarnya atau tempat-tempat yang ia tahu berada di rumahnya. Tidak di taman Klorofil dengan sekeliling berwarna dominan hijau dengan bangku-bangku yang senantiasa menunggu. Tidak di sebuah pasar Trowong di mana ia senantiasa mencium bau amis ikan-ikan dan ayam berwarna kekuningan dengan kepala terkulai yang dipaksa mati jadi bangkai. Tidak di sebuah pusat olah raga yang mendadak disukai orang-orang demi berat badan yang ideal. Tidak seperti itu. Ia berada di sebuah perpustakaan. Sebuah gedung yang dipenuhi buku-buku yang menjejali rak dan menjulang di sekelilingnya. Tempat itu bernama Benggala.
Tubuhnya tegak, duduk dengan sebuah buku terbuka di hadapannya. Ia tidak ingat pernah mengenal tempat yang di dalamnya ada ia. Yang ia tahu bahwa tempat itu adalah perpustakaan. Tidak lain karena apa-apa yang berada di sana. Meskipun toko buku juga berisi rak menjulang dengan buku-buku yang menjejalinya, tapi ia sungguh yakin bahwa gedung itu bukanlah sebuah toko buku.
Masih dalam keadaan bingung, ia mencoba mencermati buku yang sedang ia baca. Tidak benar-benar ia baca tentu saja, karena buku itu tahu-tahu telah ada di hadapannya, atau ia yang tiba-tiba berada di sana. Tangannya membolak-balik halaman buku sehingga didapatlah sebuah kesimpulan bahwa buku tersebut setidaknya adalah buku yang berisi tentang binatang. Ensiklopedia binatang barangkali, atau semacamnya.
Begitu heran karena tempat itu demikian sepi, ia memilih untuk berjalan-jalan di ruangan itu. Mendekati rak demi rak yang tentu saja tak ia hafal seluruhnya tentang buku-buku apa saja yang berada di sana. Tetapi alangkah terkejutnya ia, ketika pada sebuah celah rak tersebut, seekor paus tengah terdampar di sana. Ya, seekor paus.
“Jangan merasa sedang tersesat atau apa. Kau memang ditakdirkan untuk berada di sini.”
Perempuan itu terlonjak kaget hingga langkah kakinya mundur beberapa langkah. Mulutnya seolah tak hendak berhenti untuk berteriak, sementara dadanya berdetak lebih kencang seolah ia baru saja dikejar kuda pacuan. Berkali-kali ia menampar pipinya. Kanan, kemudian kiri. Tapi ia merasakan sakit.
“Ini bukan mimpi!”
“Kau benar. Ini bukan mimpi.”
“Ikutlah aku ke laut!”
“A-pa?”
“Ikutlah aku ke laut.”
“Bagaima-na bisa?”
“Kau cukup menganggukkan kepala.”
B:\Rahasia\Perahu-perahu Karam>
Dengan mengikuti anjuran seekor paus yang terdampar di perpustakaan, Alin menganggukkan kepala. Paus itu juga memintanya menutup mata. Dalam sekejap yang tidak dapat ia tangkap bagaimana persisnya, ketika membuka mata ia telah berada di sebuah pantai. Perahu-perahu karam begitu banyak seolah sampah yang teronggok, sengaja ditinggalkan pemiliknya.
“Apakah tidak ada lagi orang-orang yang punya cita-cita jadi nelayan?”
“Sepertinya begitu. Di zaman serba mesin sekarang ini, orang-orang mulai meninggalkan laut dan memilih bersahabat dengan mesin-mesin yang diciptakan manusia lainnya. Segalanya menjadi tampak lebih mudah, meskipun persaingannya tentu saja semakin ketat.”
“Persaingan apa?”
“Orang-orang di zaman serba mesin ini bisa bekerja menjadi apa saja. Membuat konten video, berjualan dan berbelanja cukup menggunakan ponsel/komputer mereka, bekerja tanpa harus pergi ke kantor. Tentang ini kau tentu saja sudah tahu, kan?”
“Ya. Cukup bekerja dan menunggu di rumah dan segala yang diperlukan akan segera datang menghampiri rumah mereka tanpa mesti bersusah payah menghabiskan bensin atau tenaga untuk berputar-putar.”
“Naiklah pada salah satu perahu. Kau tentu saja tidak harus berenang untuk menyeberang. Aku bisa mendorong perahumu untuk ke tengah.”
“Untuk apa?”
“Ada terlalu banyak hal yang terjadi dan tak disadari. Cepat, naiklah!”
Alin yang begitu penasaran dengan apa yang menimpanya, meskipun demikian heran tetap saja menurut. Ia naik ke atas perahu dan seekor paus segera mencelupkan dirinya ke air. Ia mendorong perahu perlahan-lahan. Ayun, ayun, ayun.
“Apakah ini tidak terlalu berbahaya?”
“Mungkin,”
“Tidak seharusnya kau membawaku ke sini. Aku butuh memberitahu suamiku.”
“Nuha maksudmu?”
Sekali lagi, Alin demikian takjub. Bagaimana seekor paus mengenal nama suaminya sementara mereka tidak pernah bercakap-cakap sebelumnya. Tentu saja, ia seorang manusia dan yang diajaknya bicara kini adalah seekor paus. Tentu saja paus tidak berbicara kepada manusia.
“Aku sedang berada di mana?”
“Kota Yrarbil.”
“Apa itu?”
“Itu tak terlalu penting untuk kau tahu.”
Langit yang semula berwarna biru cerah dengan awan-awan putih seperti kapas terbang itu berangsur menjadi abu-abu. Gelap, dan kian.
“Aku takut!”
Tetapi paus itu tidak mengatakan apa-apa. Tentu saja membuat Alin berpikir bahwa paus itu berniat membunuhnya.
“Aku tidak sedang ingin membunuhmu. Membunuh, bagaimana pun tetap kurang masuk akal untuk dilakukan jika hanya untuk bertujuan mengusahakan sesuatu yang sebenarnya masih bisa diupayakan dengan cara-cara yang baik. Meskipun aku hanya seekor paus. Aku tak suka membunuh sebagaimana manusia suka melakukannya. Baik membunuh sesamanya atau pun para binatang. Aku tidak sedang ingin balas dendam.”
“Kau membaca pikiranku.”
Perempuan itu menggerutu. Paus itu tidak mengatakan apa-apa. Perahu masih melaju. Maju. Menuju warna biru.
C:\Rahasia\Kepala-kepala yang Terapung di Laut>
Warna langit tidak membaik. Ia seperti seseorang yang tengah dilanda demam. Cahaya kilat dan suara guruh serupa batuk dan bersin yang saling bergantian.
Alin menutup mata juga telinganya agar tak lagi melihat dan mendengar kengerian yang kini tengah berada di depannya. Tak seorang pun bisa membantu. Tidak paus itu, tidak juga Nuha suaminya. Gelombang air kian tinggi, meski tak sampai melahirkan ngeri tsunami. Ia duduk, semakin menunduk, memasukkan kepalanya di antara lutut. Ia ingin sekali tidur untuk kemudian menemukan dirinya telah berada di kamar tidurnya ketika membuka mata. Di rumahnya yang dipenuhi bunga-bunga. Tapi itu semua tidak lekas terjadi. Ini bukanlah sebuah mimpi yang tengah berjalan-jalan di antara tidur.
“Buka matamu dan lihatlah sekelilingmu.” pinta paus di seberang perahu.
Segalanya masih tetap sama. Langit tak berwarna biru. Masih abu-abu. Hanya saja bunyi guruh dan cahaya kilat tidak lagi berada di sana.
“Apakah ini malam hari? Tapi kenapa aku masih melihat semuanya demikian terang dan jelas?”
“Uhm. Ya. Ini malam hari.”
Dan Alin kembali harus meluncurkan suara keras-keras. Di sekitar perahunya, kepala-kepala terapung. Seperti mayat. Atau barangkali memang mayat. Tapi tidak tampak luka di sekitarnya, seolah-olah kepala-kepala itu hidup dan berdiri sendiri tanpa bergantung pada bagian tubuh yang lain.
“Itu ikan-ikan.”
“Apa?”
“Ikan-ikan.”
Ia tidak mengerti ada ikan dengan wujud mengerikan berupa kepala manusia.
“Bagaimana bisa?”
“Kau juga ikan.”
“Apa? Aku semakin tidak mengerti. Jangan suka bercanda. Kau sama sekali tidak berbakat membuat lelucon.”
“Ada salah satu kepala dengan wajah tengadah itu—maksudku ikan—dan itu adalah kau.”
“Aku manusia dan bukannya ikan berwujud kepala manusia.”
“Yrarbil memang begitu. Karena kau adalah mahluk dari luar Yrarbil, maka di sini kau menyesuaikan diri menjadi seperti penduduk Yrarbil. Maksudku, binatang Yrarbil. Di sini manusia telah punah karena saling menghabisi satu sama lain. Dan kau adalah satu-satunya ikan yang masih bertahan.”
Kepala Alin mendadak pening, dan seketika segalanya menjadi hening.
Tentang bagaimana respon suami Alin setelah mendengar cerita-ceritanya—sebenarnya cerita itu tidak diceritakan secara langsung karena suaminya menemukan telah berupa data dalam folder sangat rahasia sehingga dipagari sebuah kata kunci sangat rumit—di sebuah komputer pribadi miliknya. Dan Nuha mendapatkan kunci itu pada sebuah surat yang tergeletak di meja, di samping segelas kopi yang telah disiapkan istrinya. Surat yang kemudian menjadi permulaan hilangnya Alin, karena tak seorang pun mengaku melihat atau menemukannya setelah kertas-kertas berisi informasi kehilangan yang disebar dan ditempel di sembarang tempat di sepanjang kota Atialer.[]
Kendal, Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar