2 April 2021

Inersia Melankolia


Pixabay - Alexandra Haynak

Kau melihat hujan jatuh di wajahmu. Lewat cermin. Angin dingin. Kepalamu menyimpan seluruh warna biru dan mengemasnya dalam warna abu-abu sebuah adegan yang mati-matian kau hindari di seluruh usia yang Tuhan luruhkan padamu. Perpisahan.

"Akan selalu ada batas. Meninggalkan atau ditinggalkan yang kelak sama tidak siapnya di antara keduanya."

Kau mengangguk dan tetap mengayuh sepeda dengan pipi menggembung serupa ikan-ikan mati di akuarium. Bernyanyi, na-na-ni-na lantas melupakan setiap yang telingamu dengar. Seperti sesuatu yang bocor. Habis.

Setelahnya kau melihat embun, "Minumlah dan anggap sebagai secangkir kopi paling pagi,"

"Kau seperti masa kecil kita yang jauh tertinggal di belakang. Menganggap benda apa saja sebagai keajaiban yang bisa berubah bentuk sesuai tanah liat pikiran."

Kau ingat seluruh yang disebut masa kecil. Kue lumpur, daun yang menjelma binatang kecil terbang, kau masih menyisakan dengan sangat baik dalam dimensi ruang yang hanya kau yang tahu.

Kau bercerita banyak sekali setelah itu. Tidak semua dipahami maksudnya, tapi seseorang tetap melapangkan sepasang telinganya untukmu menampung suara-suara demi membuatmu bahagia. Ia tahu, dan menyaksikan dua bola mata yang bercahaya. Berkaca-kaca yang setelahnya pecah. Lengannya ingin segera memeluk. Tapi ia takut kau akan bertambah luka.

"Saat aku menangis, jangan lakukan apa pun, Natila. Atau aku akan lebih sedih berkali lipat dan lebih rapuh dari sebelumnya."

Itu seperti sebuah pertunjukan kesedihan dan ia yang berada di luar panggung tidak bisa berbuat apa-apa sebab setiap adegan telah dirancang penulisnya, kecuali menjelma komentator bola yang cerewet setiap acara pertandingan di televisi.

"Baiklah. Hari ini aku cuma patung hias yang menyerah untuk kau pandang."

"Anakku mati, Natila. Mati. Daging kecil yang semula berdenyut itu, telah menjadi seolah boneka kayu yang pernah hidup di masa kecil kita."

Boneka kayu. Ia ingat batang kayu segala jenis pohon yang kelak dibayangkan sebagai tubuh. Tanpa sepasang tangan dan kaki yang kanan dan kiri. Hanya kepala dan sebentuk tubuh lurus. Kepala terbuat dari selembar daun pisang yang telah dilipat bagian pangkal untuk menciptakan lekukan samar, dan disisir dengan ujung lancip jarum hanya sampai sebelum garis. Helai-helai rambut kaku mulai terbentuk. Pangkal daun pisang dilingkarkan pada kayu untuk selanjutnya diikat dengan tali terbuat dari kulit pelepah pisang. Di kali lain kau suka mengepang rambut itu jika kau ingin boneka perempuan, dan memotong pendek untuk boneka berjenis kelamin laki-laki.

"Anakku mati, Natila. Mati. Kau tahu rasanya mati?"

Tentu saja seseorang itu tidak tahu dan belum pernah merasakan mati. Tapi ia tidak pernah mengatakannya padamu.

"Kau ingin kue? Es krim stroberi? Cokelat?"

Bodoh. Pertanyaan bodoh. Seseorang itu tidak tahu mengapa merawat pertanyaan bodoh yang sesungguhnya lebih baik jika cukup ia simpan itu lebih mudah ketimbang merawat taman bunga yang setiap hari mesti disiram dengan teratur dan kadar air yang cukup, serta menghindarkan dari aneka jenis serangga pemangsa. Sia-sia. Dan ia memang sengaja tidak ingin menyinggung apa pun perihal anakmu.

"Mengapa kau diam saja, Natila?"

"Ia menyayangimu,"

"Siapa?"

"Anakmu. Melebihi seluruh cinta yang masih tersisa di dunia ini."

"Kau bohong dan hanya sedang menghiburku, kan?"

"Tidak. Aku sungguh-sungguh mengatakannya. Kelak ia akan membawamu ke surga. Di punggungnya menyimpan sayap dan membawamu terbang. Wajahnya berseri-seri. Wajah yang tak pernah kau lihat kejernihan seperti itu sebelumnya."

"Kata siapa?"

"Tuhan."

***

Kau kembali memandang menghadap cermin. Seorang bocah melintas, ia berlari kecil mengejar seekor rusa. "Siapa ia?"

"Tidak tahu."

Ia memilih jawaban itu sebab malas menyinggung kesedihan yang sebelumnya ada. Tapi kau tetap ingat dan tak berhenti untuk membahasnya.

"Kau tahu, Natila. Kusaksikan sebelum ini, bayi mungil itu masih bernapas ketika aku hampir mati berdebat dengan napas pendek. Tulang-tulangku seolah patah menyisakan segala rasa sakit yang belum pernah ada sebelumnya. Ia masih berdenyut ketika itu, dan cantik. Tapi tak lagi menangis. Ia dinyatakan mati hanya dalam perjalanan lima menit setelah aku hanpir menyerah. Apa kau bisa membayangkannya, Natila?"

"Aku bisa membayangkannya, meskipun bukan merasakannya."

Perasaan dan bayangan memanglah sesuatu yang berbeda. Bisa meleset tanpa pernah diduga. Bukan sebab licin batu akibat diserang ribuan hujan, tapi sebab tidak ada yang bisa benar-benar membaca masa depan.

Kau duduk di atas sebuah batang kayu yang ambruk. Melukis entah. Lebih tepat disebut abstrak. Kau memang menyukai segala jenis abstrak.

"Kadang sesuatu yang sulit dipahami memungkinkan untuk terus dibaca ulang, dan semakin dibaca akan semakin menarik karena kau merasa bahwa jarak prediksimu dengan hasil akhir kesimpulan telah begitu dekat. Bukankah manusia menyukai ke-sok-tahu-an semacam itu?"

"Mungkin hanya kau yang beranggapan demikian. Di luar sana, sesuatu yang abstrak disangka sebagai ketidakbecusan berpikir sistematis."

Seseorang itu tertawa, mengejek sekaligus bercanda. Kau tetap sibuk dengan peralatan lukismu yang telah mencoret warna-warna cat air dengan sentuhan kuas.

"Aku sedang merancang kota untuk dihuni kelak di masa depan,"

"Di mana?"

"Gurun."

Mata seseorang itu dipenuhi tanda tanya, dilengkapi dengan dahi yang mengernyit. Kau seolah tahu, "Aku akan menamai diri sebagai batang pohon kaktus."

***

Seorang lelaki datang ketika kau sudah menyelesaikan abstrakmu. Ia meraih kertas di tanganmu dan tersenyum. Berkomentar bahwa ia senang dengan lukisanmu. Ia mencium kening dan mengucap selamat pagi.

Nyanyian burung-burung memecah sunyi yang memang telah rapuh dilahap perkotaan penuh polusi udara dan pembangunan gedung-gedung sebagai pusat perbelanjaan, hotel, wahana air buatan, dan menggusur lahan kosong milik para penduduk untuk dijadikan pembangkit listrik atau pabrik dengan iming-iming harga tanah yang dibeli mahal serta terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Agar tak perlu mencari tenaga kerja dari jauh, yang kelak berakhir tidak sesuai perjanjian. Pada kenyataannya karyawan yang direkrut lebih banyak dari luar daerah, sementara limbah-limbah semakin membuat resah dan pasrah. Kau pernah mendengar, kelak pembangkit listrik itu, jika malam telah purna dan lampu-lampu dihidupkan di seluruh wilayah pembangkit listrik, kau akan menemukan bintang yang tersesat di kota cahaya. Kau percaya pada mulanya karena menyukai keindahan. Tapi sebagai seseorang yang pernah menempuh perguruan tinggi, kau tidak sulit untuk menyadari dan sekadar tahu dampak buruk yang lebih panjang dari malam. Kelak entah di tahun ke berapa, orang-orang akan ramai membincangkan tanah tandus akibat limbah, gagal panen, dan persoalan lain tak terduga.

"Bagaimana tidurmu hari ini?"

"Tidak terlalu buruk. Bagaimana pekerjaanmu, Agusta?"

"Seperti yang kau lihat. Aku menyelesaikan lebih cepat. Nyonya Attala sangat puas dengan desain yang kubuat. Mungkin tidak lama lagi kita akan berkemas untuk liburan ke Belanda. Aku tidak sabar ingin bersepeda berkeliling untuk memandang gedung-gedung tua, menyeberangi danau Ijssel, dan mengunjungi Rijskmuseum. Telah lama aku ingin menikmati rancangan milik Pierre Cuypers itu. Kau harus bersiap-siap untuk jadwal yang telah kubuat. Kau ingin mengunjungi tempat apa?"

"Tidak banyak ingin. Hanya ingin bersamamu. Selalu bersamamu."

"Tentu."

Aura wajah lelaki itu berubah muram. Mungkin iba. Ia segera memelukmu dengan pelukan yang seolah-olah tidak akan pernah dilepaskan. Segalanya kini berubah warna. Laut yang biru tenang itu kini telah berganti abu-abu pasang.

"Segalanya tak lagi dingin saat kau ada di dekatku. Semalam aku merasakan tubuhku menggigil. Tidak tampak nyata. Hanya seperti tersesat dalam mimpi. Aku mencarimu dan tak menemukan kau di mana pun,"

Pelukan itu erat dan erat lagi, "Aku mencintaimu,"

"Apa kau bahagia?"

Lelaki itu diam beberapa saat, "Aku harus melakukan setiap yang kita butuhkan untuk liburan. Tiket pesawat, booking hotel untuk menginap, baju hangat ..." melepas pelukan, kembali mencium kening, lalu pergi.

Kau kecewa sebenarnya, masih ingin melakukan percakapan yang panjang dan kini ditinggalkan.

***

"Aku selalu tak tahan melihat bayi, Natila. Aku tidak bisa melupakan anakku. Sekarang aku lebih pelupa dan mata diliputi bayangan. Kemarin ketika mengisi bak kamar mandi, di dasar aku melihat sesuatu berwarna oranye. Ia bergerak dan kusangka ikan. Tanganku lekas menciduknya yang kukira binatang itu sedang megap-megap kehilangan napas. Aku tahu rasanya, dan tak ingin ia bernasib sama denganku. Tapi ternyata yang kusangka ikan hanyalah sehelai daun kering yang berwarna kuning. Aku payah sekali, ya?"

"Kau hanya butuh istirahat lebih banyak dari sebelumnya. Lagi pula, sebentar lagi kau akan berlibur ke negeri yang jauh. Kau tentu butuh simpanan energi lebih banyak."

"Apa aku terlihat lelah?"

"Sedikit, seperti tidak tidur berhari-hari."

"Aku memang tidak bisa banyak tidur, dan selalu ingat anakku, Natila."

"Anakmu sudah bahagia di surga."

Setelah sekian lama dibungkam perasaan tidak enak menyakiti perasaanmu, seseorang itu berterus terang. Aku turut sedih, katanya. Ia tidak bisa berbuat banyak kecuali hanya jadi pendengar.

Suatu kali ketika ia datang berkunjung dan kau baru kembali dari mengambil minum di dapur, kau dikejutkan sesuatu.

"Apa yang kau lakukan di depan kamar suamiku, Natila? Bukankah aku sudah memberitahu kau, bahwa ia masih tidur di dalam dan kusarankan untuk tidak mengganggu?"

Tentang masa kecil yang telah kau hafal di luar kepala, kau melupakan satu hal, kau hanya orang asing ketika suamimu dan seseorang yang selalu meluangkan telinganya untuk mendengar cerita-cerita yang kau tuturkan adalah sepasang pengantin di bawah lampu-lampu buatan dari daging bagian paling inti dari pelepah pisang, yang ketika dipotong menyisakan getah lengket serupa sarang laba-laba dan mirip sekali dengan berpuluh-puluh lampion yang menggantung di dahan-dahan pohon, sementara mereka duduk bersanding di bawahnya. Mungkin bahagia.[]

Semarang, 2016-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar