29 Juli 2021

Menulis dan Hal-hal Kecil di Sekelilingnya


di balik jendela, cahaya matahari pukul 16.52


Menulis, apalagi menjadi penulis adalah salah satu hal yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan, meskipun saya sudah agak senang membaca sejak sekolah dasar. Buku-buku yang saya baca tidak banyak dan sebagian besar memang sudah saya lupakan, baik judul apalagi nama penulisnya. Yang saya lakukan semasa sekolah hanya membaca, tanpa benar-benar mengingatnya. Jika dipaksa untuk mengingat, saya hanya hafal 2 judul buku, pemberian bibi yang kebetulan menjadi guru honorer di SD tempat saya belajar. Buku-buku itu cukup berkesan dan tak mungkin bisa saya lupakan, berjudul: 1. Doa Angsa Putih, 2. Sersan Mayor Swani. Terdengar bukan sebagai buku-buku yang popular ya? Tidak apa-apa. Setiap orang menempuh jalan membacanya masing-masing.
 
 
Di masa SMP, tempat yang saya sukai selain kantin adalah perpustakaan. Bukan untuk berlama-lama berada di dalamnya, melainkan hanya mampir untuk sebatas mengintip koleksi buku-buku yang ada dan meminjamnya untuk dibawa pulang. Setidaknya, dalam satu minggu, saya meminjam tiga buku, yang merupakan batas maksimal jumlah buku yang boleh dipinjam. Tidak banyak buku yang saya ingat, tetapi saya sering meminjam buku-buku Sydney Sheldon. Omong-omong soal perpustakaan, teman saya ada yang begitu akut melahap buku-buku. Barangkali, koleksi yang ada di perpustakaan sekolah sudah dia baca seluruhnya.

Di masa SMA, saya tidak banyak meminjam ataupun mampir ke perpustakaan karena gedungnya yang berjarak cukup jauh dari kelas--gedung dibagi menjadi dua area yang kira-kira berjarak satu kilometer, area selatan dan area utara—kecuali pernah suatu kali mendatangi perpustakaan hanya untuk menyaksikan keributan akibat antrean siswa lain yang ingin meminjam buku yang sedang panas-panasnya, Ayat-ayat Cinta. Sayangnya, saya tidak terlalu berminat untuk memasukkan diri ke dalam daftar antrean.

Setelah lulus SMA, kesenangan saya membaca tidak berlanjut, karena memang tidak lagi memiliki akses yang baik atas buku-buku dan saya memang bukan berasal dari keluarga yang terbiasa berdampingan dengan buku-buku.

Mengapa saya menulis? Adalah pertanyaan yang belakangan sering memukul-mukul kepala saya, karena saya tak lagi benar-benar tahu alasan saya menulis. Saat ini.

Mengapa saya menulis? Semakin saya memikirkannya, semakin saya tidak tahu.

Mengapa saya menulis?

Saya berpikir bahwa mungkin saja niat saya menulis adalah suatu kesalahan, atau sebenarnya saya tidak benar-benar berminat menulis. Saya tidak tahu. Tetapi tentu saja, saya punya sejarah bagaimana mulanya saya menulis. Begini:

Semasa SMA, sekolah saya menerbitkan majalah 2x dalam satu tahun, bertepatan dengan penerimaan raport. Al-Mujaddid, demikianlah nama majalahnya. Meskipun kakak sepupu yang juga adalah kakak kelas saya sudah memberitahu bahwa ketika menulis XXX atau YYY akan diberi imbalan sekian-sekian, saya tidak terlalu berminat karena tidak terlalu percaya diri bisa menulis. Saya hanya tertarik untuk mengisi TTS yang tertera di halaman paling belakang majalah.

Saat kelas XI, saya mengenal seorang teman yang bisa dibilang pandai dalam hal tulis menulis. Puisi dan cerpennya sering termuat di majalah sekolah dan menjuarai lomba menulis cerpen kategori umum se-Kabupaten Kendal. Dia juga terhimpun dalam kelompok teater yang ada di sekolah, barangkali dia mengenal menulis pun dari sana, di dalam bimbingan Pak Aslam Kussatyo. Teman saya itu juga mau repot-repot memberikan salinan materi menulis dari Pak Sawali Tuhu Setya yang disertai dengan salinan puisi “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo" karya WS. Rendra kepada saya.

Lalu tiba-tiba saya begitu penasaran dengan hal-hal terkait menulis. Barangkali saya sedang beruntung, teman saya tidak keberatan untuk mengenalkan saya dengan majalah Horison yang kemudian saya baca puisi-puisinya. Ketika itu, puisi tampak lebih mudah dipahami daripada prosa, karena jumlah halamannya yang lebih sempit, meskipun pada akhirnya saya tahu anggapan saya itu keliru.

Saya mulai menulis puisi sangat pendek yang mungkin belum bisa disebut puisi untuk dikirim ke redaksi majalah sekolah. Tapi sungguhlah saya memang tidak cukup percaya diri untuk menulis dan tidak siap jika menjadi objek bullying *uhuk :v* sehingga menulisnya dengan nama pena. Blue_Ice. Sungguh nama yang sangat aneh, karena tidak tampak sebagai sebuah nama. Ketika itu saya merasa sangat keren karena bisa mengirim e-mail melalui HP Nokia 6070. Hahaha.

Kenaikan kelas artinya penerbitan majalah. Penuh rasa berdebar, saya membuka halaman demi halaman majalah, dan … ternyata ada puisi saya nyempil di sana. Bahagia? Jelas! Sayangnya saya tidak bisa pamer kepada siapa pun karena saya menggunakan nama pena. Hahaha.

Bagian ini boleh dipercaya atau tidak~ (jika kamu memilih untuk tidak mempercayainya bisa langsung dilewati)

Hari-hari setelah lulus adalah hari-hari yang penuh kebosanan dan kebosanan dan kebosanan. Begitulah suatu malam saya bermimpi mencari info tentang puisi melalui halaman FB. Ya, mimpi. Dan saya melakukan apa yang ada di mimpi untuk kemudian menemukan sebuah grup semacam kumpulan penyair FB. Saya tidak mengenal siapa-siapa dan cukup yakin, ketika itu saya hanya menulis sampah yang memenuhi kepala-kepala saya.

Di malam lain pada tahun-tahun selanjutnya, sekitar tahun 2012 saya kembali bermimpi dan mengikuti sebuah lomba menulis puisi dan nama saya tercatat sebagai pemenang. Dan begitulah pada akhirnya saya melakukan pencarian info lomba menulis puisi di FB, dan saya menemukannya dan rupa-rupanya, barangkali kebetulan atau memang saya sedang beruntung, puisi saya tercatat sebagai juara 2. Lomba itu yang pada akhirnya mengantarkan saya mengenal nama-nama penulis lain dan juga lomba-lomba dan komunitas yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.

Jika Kembali pada pertanyaan: Mengapa saya menulis?

Rasanya memang tidak ada jawaban yang benar-benar tepat, kecuali bahwa saya hanya ingin menulis. Begitu saja. Menumpahkan setiap yang memenuhi kepala saya. Ya, begitulah~

Kadang-kadang sesuatu terjadi tak selalu membutuhkan alasan, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar