Daun Pintu
Fina
Lanahdiana
Pintu itu adalah sebuah batas yang
hanya segaris kabut tipis tak berdinding. Siapa pun yang menyentuhnya bisa
melampaui, meskipun ia sebatas melangkahkan satu kaki atau pun sentuhan sebuah
jari telunjuk.
Cahaya
mengerucut biru, memanjang dan terhampar memantulkan bayang-bayang sebuah pintu
berukuran raksasa yang berdiri tegak, teramat pongah bagai seorang raja yang
gemar menepuk dan membusungkan dada di hadapan rakyat-rakyatnya yang jelata.
Zaid
bermuka masam. Langkahnya ling-lung dan gusar. Perangainya seolah bocah yang
tersesat di dalam belantara hutan tanpa ada seorang pun yang mengetahui
keberadaannya. Matanya menyisir keadaan sekitar, gelap dan senyap, kecuali
cahaya di hadapannya yang menyerupai lorong menuju entah.
“Apakah
aku bermimpi?”
“Tidak,
Zaid. Kau tidak sedang bermimpi.”
“Siapa
kau?”
“Pintu.”
Kaki
Zaid melangkah mundur. Telapak tangannya bereaksi spontan hendak menutup mulut
dan wajahnya, dan kembali cemas. Tubuhnya berkeliling, mencari sesuatu yang
barangkali adalah jalan keluar menuju rumah atau kantornya.
“Aku
... aku harus mengajar murid-muridku. Ini jam berapa?”
“Kau
tak butuh mengajar, dan juga tak butuh jam. Diamlah bersamaku di sini.”
“Tapi
untuk apa?”
“Bersabarlah
sebentar.”
“Kumohon,
jangan permainkan aku.”
“Tak
ada permainan di sini. Segalanya berlangsung dengan serius dan sungguh-sungguh.”
Kabut
itu, yang terkena sorotan cahaya biru, segera menghilang. Wajah Zaid berwarna
cerah. Cemasnya segera berganti air muka yang berseri-seri.
Di
hadapannya yang jauh tapi masih terjangkau, pepohonan hijau, bukit-bukit, serta
bunga-bunga menghampar—berwarna-warni—melambangkan bahagia yang abadi. Seketika
ia ingin lari menyerupai kuda pacu yang mengenakan kaca mata kuda hingga tak
bisa ia lihat pemandangan di sebelah kanan dan kirinya.
“Tunggu!”
Kaget.
Kakinya berhenti. Pintu yang hanya berjarak sejengkal itu terasa sangat jauh
dalam upaya-upaya yang ia lakukan. Tangannya seolah menjadi pendek, sangat
pendek hingga ia hanya bisa menggapai-gapai udara kosong.
Tak
ingin hirau, kakinya dipaksa dengan seretan yang berat hingga menghasilkan
suara sruk-sruk. Namun yang terjadi bahwa kakinya tak beranjak dari
tempatnya semula. Lantas terasa kaku, mengeras seperti patung yang tak henti
dipahat pengrajinnya. Tubuhnya semakin berat dan berat. Kadang-kadang ia
membayangkan dirinya sebuah pion catur yang sedang dilakonkan seseorang.
Zaid
merasakan sebuah sengatan. Tidak terlalu dahsyat, namun cukup membuat dadanya
terlonjak dan tubuhnya terpental. Herannya semakin menjadi. Ia ingin memaksa
langkah, lagi dan lagi.
“Apa
ini?”
***
“Ustaz,
apakah surga itu ada? Seperti apa rupanya?” tanya salah seorang murid Zaid di
kelasnya pada saat jam pelajaran Agama.
“Tentu,
tentu. Allah telah menjanjikannya bagi siapa saja yang mengamalkan kebaikan
serta menjauhi larangannya.”
Murid
tersebut—yang merupakan salah satu murid yang diperhitungkan kepandaiannya—mengangguk
lantas menggoreskan sesuatu di permukaan buku catatannya. Terlihat sangat
serius bagi seorang bocah kelas 4 Sekolah Dasar.
“Kalau
begitu aku ingin menjadi seperti Ustaz saja. Biar bisa bermanfaat bagi banyak
orang. Ayah dan ibuku pasti sangat bahagia.”
“Bagus,
Nak. Cita-cita yang mulia.”
Jam
pelajaran habis, dan keduanya terpisah.
Aktivitas
harian Zaid begitu padat. Ia tak cukup mengajar pada satu sekolah, belum lagi
mengajar mengaji di rumah—setiap hari pada malam hari selepas magrib—belum lagi
diundang sebagai penceramah pada acara keagamaan semisal peringatan Isra'
Mi'raj, Maulid Nabi, atau acara-acara lain yang sejenis. Terkadang ia sendiri
lupa makan, lupa minum, lupa tidur, dan lupa menjaga kesehatannya sendiri.
Pokoknya ia rela melakukan apa saja demi berbagi ilmu kepada orang lain.
Begitu
banyak yang mengelu-elukan kehadirannya menguraikan barang satu atau dua potong
ayat Al-Quran atau Hadits yang kata orang-orang begitu menentramkan.
Kadang-kadang di sela ceramahnya ia menyelipkan senandung atau shalawat
yang begitu merdu, begitu sejuk di dalam dada orang-orang serupa tetesan embun
yang turun, membasahi rumput dan daun-daun—luruh.
Oleh
sebab karakternya yang berkharisma itulah, para jamaahnya begitu segan saat
berhadapan dengannya. Di antara mereka tak jarang yang mencium tangan: sungkem,
bahkan berjalan membungkuk yang kadang-kadang mengesankan sikap patuh yang
berlebihan.
Namun
ia begitu nyaman menikmati segala puji dan puja yang ditimpakan kepadanya
sebagai kebahagiaan—bahkan kebanggaan—meskipun dengan alasan mengajarkan amar
ma'ruf nahi mungkar.
Ia
memiliki dua orang anak yang masih berusia tiga dan lima tahun, yang begitu ia
sayangi, ia cintai, dan ia beri perhatian penuh. Demikian pula ia perlakukan
istrinya sebagai perhiasan yang akan dengan sangat hati-hati ia sentuh agar tak
mudah terurai dan patah.
Siapa
saja yang menyaksikan keharmonisan keluarganya akan merasa takjub dan
penasaran, bagaimana cara-cara yang tepat untuk menjaga hubungan agar selalu
berisi tawa dan bahagia.
***
“Senang
sekali ya sepertinya jika menjadi istri Ustaz Zaid. Ia begitu hati-hati menjaga
diri dari perempuan lain. Dan anak-anaknya pun ia turuti segala keinginan dan
kebutuhannya. Mereka beruntung sekali ya.”
“Kamu
benar. Beruntung sekali mereka.”
“Kalau
kamu dipinang jadi istrinya mau?”
“Hussy.
Ngomong apa sih kamu. Nggak baik bilang begitu.”
“Kan
hanya misal saja. Tanggapanmu serius sekali. Atau jangan-jangan ...” Surti
menggoda Ida, temannya di perkumpulan ibu-ibu PKK.
***
Demikianlah
cara orang-orang mengenang kebaikan Zaid. Ia yang hidup dan dikenal sebagai
ustaz. Terlalu banyak di antara mereka yang merasa beruntung telah mendengarkan
tausiyahnya, bahkan menyimpan video rekaman dan mengunggahnya ke situs you
tube atau hanya sekadar dokumentasi pribadi. Sama-sama melahirkan kesan
mendalam.
Tak
ada seorang pun yang tidak terkejut ketika speaker masjid menggaungkan kabar
duka. Menyebut-nyebut nama Zaid sebanyak tiga kali. Suara yang demikian runcing
dan ganjil dan hening. Sebab beberapa jam sebelumnya, ia masih begitu sehat dan
sempat menghadiri sebuah pengajian menyambut tahun baru Hijriyah.
Jantung.
Penyakit itulah yang tersiar sebagai penyebab meninggalnya Zaid yang tiba-tiba
hingga memunculkan spekulasi yang beragam tapi seragam. Rata-rata di antara
mereka menyebut Zaid sebagai penghuni surga seolah ia hidup tanpa memiliki
celah keburukan. Orang-orang menangisi rasa kehilangan mereka. Menyesali tubuh
Zaid yang direnggut serangan jantung.
***
Masih
dengan napas payah, Zaid bangkit dan menguasai diri.
“Ada
apa gerangan? Kenapa tubuhku selalu gagal melintasi garis tipis yang serupa
kabut itu? Serupa aku adalah barang najis yang sepantasnya dibuang. Tidakkah
kau tahu amalan-amalan baikku? Tidakkah kau tahu betapa banyak
pengikutku?"
“Benar.
Kamu telah melalukan amalan-amalan baik dan kamu luruskan mereka yang tersesat
kembali ke jalan yang diridhoi Allah.”
“Lantas?”
Diam.
Zaid
kembali merasa dipermainkan.
Tiba-tiba
Zaid mengenali seorang perempuan yang berjalan dengan sangat ringan. Bagai
tiada beban yang memberatkan langkahnya. Padahal Zaid tahu perempuan itu melakukan
dosa yang besar: menyiksa dan mencoba membunuh anak-anaknya.
Zaid
mengetahui itu ketika pada sebuah siang yang terik, perempuan itu datang
menghadap ke rumahnya. Ia meminta cara-cara agar terbebas dari dosa, sebab
telah menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak akan pernah mengembalikan
suaminya yang telah meninggal. Demikianlah, alasan perempuan itu selalu
berupaya untuk membunuh anak-anaknya karena keadaan ekonomi keluarganya yang
semakin payah, sebab pekerjaannya hanyalah seorang buruh cuci langganan
tetangga-tetangganya. Namun jika ditanya alasannya menganiaya anak-anaknya, ia
selalu menjawab bahwa di dalam mimpinya ada seseorang yang meminta agar ia
membunuh anak-anaknya. Tentu saja itu alasan yang dibuat-buat. Lalu saat itulah
ia berjanji hendak menata diri dan memilih menitipkan anak-anaknya pada eyangnya.
Itu barangkali cara yang lebih baik. Maka pada saat ia membuat pengakuan, ia
meminta agar tidak dilaporkan kepada siapa pun, termasuk Pak RT atau pihak
kepolisian.
Mata
Zaid membola bagai hendak jatuh dari kelopaknya.
“Kau
mengenal perempuan itu?”
“Aku
mengenalnya.”
“Ia
bertobat, mendengarkan segala ajaranmu
dan mengamalkannya. Memohon ampun hingga ajalnya. Sementara kau terlalu sibuk
menuding orang lain sebagai penghuni neraka, menyalahkan apa saja yang
berseberangan dengan ajaranmu, dan kau sendiri lupa dengan segala hal yang
keluar dari ucapan-ucapanmu.”
Lemas,
sesak. Zaid kehilangan daya, kehilangan tenaga, kehilangan segalanya.
Kendal, Desember 2014
Komentar ah ..., eh ini kalo komen alamat blogku ketinggalan di sini ga, Jeung? :v
BalasHapusYaeleh, pak. Kirain apaan :v tauk nggak ada kayaknya, yang muncul akun gmail-nya :v
HapusAku mau komen juga. Biar keliatan akunnya. :v
BalasHapusHalo, salam kenal :v #kabooor
Hapus