10 Maret 2015

Membincangkan Persoalan Dunia di Dalam Mata


Gambar: Google
 
Data Buku:
 
Judul : Dunia di Dalam Mata
Penulis : Agus Noor, dkk
Jumlah halaman : x + 282 halaman, 13 x 20,5 cm
Jenis : Kumpulan Cerpen dan Fiksimini
Penerbit : Motion Publishing
Cetakan : Pertama, Maret 2013, Cetakan Kedua
ISBN : 978-602-95360-5-8

Dewasa ini banyak sekali event kepenulisan yang diselenggarakan oleh banyak pihak, baik perorangan, penerbit, atau komunitas tertentu. Salah satu yang menjadi sasaran adalah cerpen, sehingga dunia cerpen semakin bertumbuh. Hal ini terbukti dengan banyaknya penulis yang membukukan karya dalam bentuk kumpulan cerpen. Salah satunya adalah kumpulan cerpen dan fiksi mini yang diberi judul Dunia di Dalam Mata ini.

Dunia fantasi yang didukung dengan segala ketidakmungkinan, barangkali itu yang bisa saya gambarkan dari cerpen Dunia di Dalam Mata ini. Ria Soraya berupaya menyuguhkan sebuah dunia yang tidak lazim, dunia yang dimiliki seorang gadis di dalam matanya. Gadis itu gemar sekali menatap cermin besar yang dibelikan ibunya untuk melihat dunia di dalam matanya. Sebuah kota dengan taman serta rumah-rumah yang tampak nyaman sehingga tidak hendak menjadikannya ingin keluar rumah. Ia ingin selalu memperhatikan kotanya tumbuh dan berkembang. Terkadang ia mencari-cari dunia yang sama di dalam mata ibunya, namun yang terlihat hanyalah kegelapan, seperti sebuah malam yang ditinggalkan bintang-bintang (hlm. 22). Neneknya pernah bercerita bahwa setiap orang memiliki dunia di dalam matanya, namun ia heran kenapa tidak ada apa-apa di dalam mata ibunya. Perkataan neneknya itulah yang kemudian membuat ia ingin menelusuri mata siapa saja. Sekali lagi, ketika ia memperhatikan mata seorang teman, tidak ia temukan apa-apa. Ia semakin heran.

Suatu hari ia gelisah, malam sudah larut dan ia tetap tidak bisa tidur. Kotanya berubah. Anak-anak di dalamnya menjadi dewasa, pasar tradisional menjadi pusat perbelanjaan, ayunan di taman menjadi rapuh dan kosong, dan satu per satu penduduk di dalamnya mati. Di malam yang lain, kota di dalam matanya terbakar. Manusia di dalamnya tidak ada yang peduli, bahkan melarikan diri. Ia ingin menangis untuk meredakan api yang berkobar. Api itu tetap ada, dan tiba-tiba ia mengingat mata ibunya.

Cerpen ini seolah hendak menggambarkan sebuah dunia anak-anak yang semakin lama semakin dihabisi persoalan rumit kehidupan, seolah hendak menegaskan bahwa kebahagiaan hanya dimiliki masa anak-anak.

Sementara Faisal Oddang dalam Perempuan Rantau menyuguhkan cerita bernuansa budaya lokal. Sennang, seorang perempuan Bugis yang telah bertunangan dengan Masse, namun kemudian ditinggalkan untuk pergi merantau. Perempuan rantau ini dimaksudkan sebagai perempuan penunggu waktu—yang masih belum jelas kapan Masse akan pulang kembali kepadanya.

“Tidak mungkin, anak kami sudah ipasisio (bertunangan).”

Kalimat itu menjadi sangat hambar di telinganya. Indo (ibu) serta ambo-nya (ayah) selalu menuturkan penolakan yang sama kepada setiap lelaki yang datang melamarnya. Ia sadar, betapa riskan menodai jalinan yang telah disakralkan adat (hlm. 64). Sennang diliputi ketakutan akan ketidakpastian dari Masse—dan tidak ingin menjadi perawan tua—yang entah datang entah tidak, namun orang tuanya berusaha meyakinkannya. Ia tidak akan bisa melawan jika ayahnya sudah meremasi leher daster lusuhnya lalu melayangkan telapak tangan di pipinya.

Setiap hari ia mengawasi tengah laut Makassar. Sebenarnya ia bosan menunggu, bosan berharap. Tapi, begitulah kesetiaan dan harga diri dipertaruhkan. Ia membiarkan waktu menua bersama keperihannya (hlm. 65). Selanjutnya mengenang percakapannya dengan Masse saat meniatkan diri untuk merantau.

“Besok aku akan merantau, menyusuri angin menyeret layarku.”
“Untuk apa, Daeng?”
“Untuk menegaskan kelaki-lakianku. Juga untuk menegaskan masa depan kita. Untuk do’i menre (mahar) (hlm. 66).

Suatu pagi yang belum genap, seorang laki-laki kembali melamarnya. Ia memang tidak ingin menjadi perawan tua, tapi juga tidak ingin menodai adat. Namun mahar yang ditawarkan laki-laki itu tidaklah main-main, sehektar empang, sepasang perahu, serta tujuh ekor kerbau. Senang terkejut mendengar ibunya mengiyakan lamaran laki-laki itu.

Cinta, Rumit Sekali oleh Fitrawan Umar berkisah tentang Dalle, seorang laki-laki yang selalu berdiri sendiri di depan pagar rumahnya saat menjelang magrib. Cerita ini menjadi unik sebab dikisahkan dari sudut pandang seekor kelelawar. Kelelawar yang selalu ditemui laki-laki itu setiap magrib menjelang sehingga ia—kelelawar—memisahkan diri dari kawanannya. Laki-laki itu percaya bahwa kelelawar yang selalu ditemuinya itu adalah kekasihnya yang telah tiada, yang kemudian menjelma menjadi seekor kelelawar.

Kematian kekasihnya terjadi tepat pada hari pernikahannya. Ketika setiap orang sibuk untuk menyiapkan segala hal untuk keperluan pesta, ia mendapat kabar bahwa keluarga calon istrinya mengalami kecelakaan sehingga dalam keadaan terpaksa, laki-laki itu mesti menikahi Cumma, perempuan lain yang mencintainya tapi tidak ia cintai.

Adapun cerpen-cerpen lainnya: Nyonya Fallacia (Agus Noor), bercerita tentang Nyonya Fallicia yang misterius dengan rumahnya yang dinilai angker serta puluhan kucing yang ia pelihara; Kupu-kupu (Dian Melinda) bercerita tentang sebuah rumah milik seorang lelaki yang dipenuhi ribuan kupu-kupu, dan jika seseorang masuk ke dalamnya ia tidak akan pernah kembali; Riwayat Tiga codet (M. Aan Mansyur) yang mengisahkan tiga orang laki-laki yang masing-masing memiliki codet dan ketiganya saling berhubungan. 

Selain judul-judul cerita tersebut, ada juga Koma, Sumbing, Siluman dan Mata Rembulan, Peri Bermata Biru, Baron, Nasar dan Embun Pagi, Semangkuk Sup Hari itu. Temani Dia di Busan, Bunga Kapas Pecah Terbang Terbawa Angin, Berbaring di Balkon, Laki-laki yang memancarkan Cahaya dari Matanya, Tiga Sudut Hujan Pada Suatu Malam, Mati, Hajrah, Langkahi Jenazah Suamimu, Wabah Rasa Takut, Peta Kematian, dan Penggali Kubur. Di dalam buku ini tidak hanya berisi cerpen, melainkan kumpulan fiksi mini dengan gaya khas ending yang mengejutkan, seperti fiksi mini berjudul Penjaga Kamar Mayat ini misalnya, 

Kemarin ia dipecat. Tadi pagi mati bunuh diri. Malam ini kulihat ia kembali masuk kerja. Duduk pucat terkantuk-kantuk di dekat pintu kamar mayat (hlm. 213).

Sebuah pepatah mengatakan, Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan buku berjenis kumpulan cerpen dan fiksi mini ini, saya merasakan ada sesuatu yang entah saat melihat cover yang dipilih penerbit. Kesan kreatif memanglah ada, sangat imajinatif malah, tapi sangat disayangkan karena bentuk simbol yang dipilih untuk visualisasi cerpen berjudul Dunia di Dalam Mata, sebagai anak yang dianggap memenuhi unsur sebagai judul yang mampu merangkum semua jenis naskah di dalamnya, justru menimbulkan kesan kaku dan tidak meleburkan diri dengan induknya (Cerpen Dunia di Dalam Mata).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar