25 Februari 2015

Cerpen Media Indonesia (4 Januari 2015)



Tokoh Cerita yang Menetas di Kepala Ibu*
Fina Lanahdiana

            “Jika kau tak cepat-cepat tidur, lalu tiba-tiba rumah menjadi gelap, seekor monster akan mendatangimu. Ia akan merebut paksa mainan-mainanmu. Tubuhnya besar dan hampir menyentuh atap dengan liur yang menetes-netes ke lantai. Ia juga akan mencuru buku-buku koleksimu.”
            Analis merasa ngeri dan segera menutup hampir seluruh tubuhnya, kecuali sedikit rambut ikal berwarna hitam yang masih terlihat.
            “Apakah itu kisah nyata?”
            Ibunya mengangguk, kemudian mencium keningnya yang dipenuhi negeri dongeng.
***
            Malam hari sebelum ibunya datang, Analis mengendap-endap di depan pintu. Kepalanya menyembul memeriksa sesuatu. Sepasang kaki mungilnya melangkah pelan, pelan sekali. Terdengar bunyi klik ketika handle pintu ditutup.
            Ia telah menyembunyikan mainan dan buku-buku koleksi kesayangannya. Sekarang ia sudah berbaring di tempat tidur, lengannya memeluk Cuki, boneka beruangnya.
            “Kau dengar, sebentar lagi ketika ibu datang dan tiba-tiba seisi rumah menjadi gelap, aku akan berubah menjadi sebuah lampu. Aku akan berdoa kepada Tuhan. Bukankah kata ibu tidak ada yang tidak mungkin dilakukan bagi Tuhan?” Suaranya terdengar seperti sebuah bisikan.
Sisi bibirnya tertarik ke kanan dan ke kiri memperlihatkan senyuman.
            “Kau tenang saja, Cuki. Jika aku sudah menjadi lampu, kau tak akan lagi berada di tempat yang gelap, karena kamarku akan berwarna terang seolah malam adalah siang yang meremang.”
            Ia membayangkan tubuhnya berpendar-pendar memancarkan cahaya putih, merah, kuning, hijau, biru. Ramai sekali, pikirnya. Selanjutnya laron-laron yang hidup dari segerombolan rayap yang melarikan diri dari lembap tanah musim hujan akan datang mengelilingi tubuhnya. Akan dilihatnya kepak sayap dari jarak yang teramat dekat. Semakin lama tubuhnya terasa geli karena laron-laron itu akan menempel pada permukaan kulitnya yang berwarna terang dan hangat.
            “Laron selalu mendekati cahaya karena ia menyukainya atau …”
            Ia memotong kalimat yang diucapkannya dan turun dari ranjang menuju ke arah rak kecil berukuran 2x3 meter, mengambil sebuah Ensiklopedi yang di dalamnya dipenuhi gambar-gambar dan uraian-uraian singkat. Meskipun usianya belum genap tujuh tahun, ia sudah lancar membaca. Ia membuka halaman demi halaman dan berhenti pada sebuah lembaran bertajuk laron dengan judul yang dicetak menggunakan huruf kapital.
            “Laron adalah serangga yang memiliki nama latin Macrotermes Gilvus. Laron berasal dari rayap yang sudah memasuki usia matang dan akan melakukan reproduksi membentuk koloni baru. Laron hidup mendekati cahaya kerena mempunyai kepekaan rangsangan gerak terhadap cahaya. Laron yang tidak menemukan pasangan akan mati dengan sendirinya.”
            Ia menganggukkan kepala, menutup buku dan mengembalikan ke tempat semula.
            “Kasihan ya laron-laron itu, ia hanya hidup dalam waktu singkat saja. Kenapa ya, kenapa. Hmm … kalau begitu aku tak ingin menjadi laron. Tentu saja, aku ingin menjadi lampu.”
            Ibunya belum juga datang, matanya yang berwarna hitam seperti bulatan kenyal agar-agar belum juga mengantuk.
            “Apakah ibu sudah mengetuk pintu? Aku belum mendengarnya. Ibu selalu sibuk dengan alasan pekerjaan. Huh!” Analis mendengus kesal. Ia meninju Cuki berkali-kali.
            Jarum jam terasa lambat sekali bergerak. Meskipun sudah bosan, ia masih saja ingin menunggu.
            Dua tahun yang lalu saat usianya belum genap lima tahun, ibunya mengenalkannya pada Mary, seorang guru home schooling. Maka setiap hari—kecuali hari Minggu—setelah jam delapan pagi, Mary akan datang ke rumahnya dengan membawa buku-buku tebal yang sebenarnya tidak sesuai dengan usianya. Berkali-kali Mary bercerita kepada ibunya bahwa Analis adalah gadis yang jenius. Ibunya percaya saja dengan apa yang dikatakan Mary, ia tampak takjub mendapati gadisnya tumbuh dengan waktu yang terlampau singkat.
            Hadiah demi hadiah diberikan Mary kepada Analis ketika ia berhasil menuntaskan tugasnya. Ia senang mendapat permen, cat air, buku cerita, kamus, pensil, karet penghapus, dan kotak musik berbentuk piano yang ketika dibuka akan terdengar alunan instrumen musik.
            “Terima kasih, aku suka sekali.”
            Saat ini di wajahnya yang bulat telur terpasang sebingkai kaca mata minus empat.
            Terkadang di dalam kepalanya berputar-putar sebuah pertanyaan yang selalu gagal untuk dituntaskan: Apakah setiap anak harus menjadi pintar dan selalu dibekali dengan buku-buku tebal? Ibu tidak pernah berkata begitu, tetapi Bu Mary mengatakannya.
            Di waktu yang lain ia kembali berpikir bahwa tidak jarang dirinya sangat lelah, kenapa bukan hanya gambar dan hitungan sederhana saja—seperti anak lain kebanyakan—yang di ajarkan Bu Mary.
            “Kenapa ibu selalu pulang larut malam sampai aku dan Cuki lelah menunggu?”
            “Karena ibumu bekerja.”
            “Bagaimana dengan ayah?”
            “Ayahmu juga.”
            Di luar hujan menderas, memukul-mukul atap rumah secara bersamaan. Kilatan-kilatan cahaya terang mengerjap-ngerjap seolah-olah sebuah kamera raksasa yang tengah dioperasikan seorang fotografer profesional.
            Ruangan gelap, Analis menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut, semakin dalam, kepalanya melorot dari bantal hingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang terlihat.
            Tidak ada keinginan untuk menjerit, meskipun ketakutan tumbuh serupa bayang-bayang.
            “Ssst, jangan khawatir, Cuki. Kita punya Tuhan, kita punya Tuhan. Kata Bu Mary Tuhan tak pernah tidur meskipun kita sedang tidur, dan tak pernah lupa kepada kita meskipun kita melupakannya.” Ia peluk bonekanya erat, semakin erat.
            Terdengar suara pintu berderit, debuman dan seretan langkah—yang suaranya kian mendekati telinga Analis—juga dentuman lonceng yang terombang-ambing oleh angin.
            Seorang pria mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru langit yang dilipat sebatas siku terengah-tengah. Tubuhnya kuyup, begitu juga perempuan di hadapannya.
“Aku tak suka kau pulang kerja selarut ini. Kau tega membiarkan anakmu sendirian, hah!”
            “Duduklah, aku perlu bicara.”
            Pria itu tampak menyesal menyadari kekesalan pada kalimat yang baru saja ia ucapkan.
            Keduanya lantas hanyut dalam keterdiaman. Mereka sama-sama kehabisan kata-kata.
            Air mata menggantung di pelupuk mata perempuan itu, namun ia segera menghapusnya.
            Pria itu melonggarkan dasi yang menggantung di leher kerah kemejanya. Ia hendak berdiri untuk mengganti baju ketika perempuan di hadapannya mencegahnya.
            “Biar aku saja.”
            Sebentar saja perempuan itu telah kembali ke ruang tamu, menyerahkan kaus kepada suaminya. Ia juga telah menyiapkan dua cangkir teh panas di atas meja.
***
            “Apakah kita boleh membakar foto seseorang yang tidak kita sukai, Bu?”
            “Kenapa kau berkata seperti itu?”
            “Aku melihatnya di televisi. Seorang pembawa acara wanita di televisi itu mengatakan mereka adalah mahasiswa. Mereka membakar foto Bapak Pejabat. Aku ingin ibu juga membakar foto Ayah.”
            “Tidak boleh seperti itu, Sayang.” Ibunya merengkuh tubuh Analis ke dalam dadanya.
            “Ayah jarang sekali pulang, Bu. Aku benci Ayah. Apakah ia masih sayang sama kita?”
            Ibunya tersenyum. “Tentu saja.” Senyum yang ranggas, seperti musim kemarau yang tak kunjung dihujani gerimis.
            Perempuan itu tersentak dari lamunannya. Ia baru saja menyadari sesuatu. Malam semakin pekat. Hujan sudah reda, menyisakan bunyi kecil lonceng yang tergantung di ujung tiang di teras rumahnya. Sesekali udara tiba-tiba dingin hingga sekujur tubuh merinding, membangunkan bulu-bulu halus di permukaan kulit.
            “Ya Tuhan, Analis. Ke mana dia? Aku benar-benar merasa berdosa. Maafkan aku. Aku jarang pulang, sementara kau …”
            “Sudahlah, lupakan. Kita pikirkan bagaimana cara memperbaiki semuanya. Analis gadis manis yang jenius. Ia sudah lancar membaca dan pandai berbahasa Inggris, mirip sekali denganmu.” Ia tersenyum. Mereka saling memeluk.
            Di depan pintu kamar Analis, ayah dan ibunya berdiri, melongok melalui celah kaca di bagian sisi pintu. Gelap. Tidak ada satu pun cahaya yang tersisa. Pintu didobrak paksa. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada di kolong ranjang, tidak ada di dalam lemari, tidak ada di kamar mandi, tidak ada di mana-mana.
            Di ujung ranjang, di dekat bantal, ada sebuah meja kecil tempat meletakkan jam beker, pigura, dan kotak musik pemberian Mary. Di sana foto ayahnya tergeletak begitu saja, sementara pigura kosong tidak menyimpan foto siapa-siapa. Yang ada hanyalah seekor kupu-kupu yang menempel di sudut pigura. Sayapnya mengepak-ngepak naik turun. Kupu-kupu yang indah, pikir ibunya. Memang tidak biasanya malam-malam buta begini ada seekor kupu-kupu.
            Mereka percaya jika ada seekor kupu-kupu di dalam rumah, maka di rumah itu akan didatangi oleh tamu. Tapi siapa?
            Sebelum ibunya datang dan badai menyerang, Analis mengubah doanya, “Tuhan, maafkan aku. Aku tidak ingin menjadi lampu. Ibu telah berbohong, monster itu tidak ada ketika seluruh ruangan dilahap kegelapan. Aku ingin menjadi tokoh dalam buku-buku cerita di kepala ibu.”

Kalirandugede, 2014

1 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus