27 Desember 2014

Di Sebuah Bandara yang Menyimpan Punggung Kita

punggung kita, waktu yang lurus dilupakan berjarak-jarak pintu
di mana sepasang sepatu tak lagi menjadi lantai
bagi kedua mata kita untuk saling menuntaskan rindu
melumasi kabar hantu yang menghilangkan aku
ke dalam sibuk dunia kantor hingga bertangga-tangga lamanya
aku berkeras menahan diri dari hal-hal berbau air mata

ponselmu memberitahuku perihal pesan apa yang mesti kukirim kepadamu,
cinta yang berkali-kali jatuh menimpa pikiran aku yang landai
sebab kerap dijejaki kehilangan yang terus memanjang serupa bayang-bayang
berisi perkiraan-perkiraan sunyi seperti apa yang sedang menyamar jadi tubuhmu
tubuh yang ingin sekali aku genggam sebagai rembulan di langit-langit kamar
bulat terang persis ribuan, bahkan jutaan kunang-kunang

di sebuah bandara, aku berdiri dengan dilingkupi kecemasan
sebuah pesawat terbang yang bersiap hendak mendarat
pada penanda musim hujan yang licin, sementara kau kini adalah matahari habis
ditelan muram langit pukul lima sore--gagal menyisakan sinar kecil
meski sebatas menembus celah-celah mata jendela kaca

kau datang dan lama-lama berubah jadi hujan
aku membeku sebab jarum tubuhmu tak lekas ingin melepaskan diri dari tubuhku
semakin keras kakiku ingin berlari, semakin aku merasakan
ada yang berderap di belakang punggung
menyamar menjadi seekor burung pembawa nasib sepucuk surat
yang belum sampai kepada seseorang

ia--seseorang itu adalah aku yang nelayan, penunggu jala didekati ikan-ikan
yang terkadang tak sabar menebarkan umpan--bukan perihal waktu
melainkan sebab cinta tak semestinya menumbuhkan pohon-pohon
dengan ranting yang peragu

Kendal, November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar