punggung kita, waktu yang lurus
dilupakan berjarak-jarak pintu
di mana sepasang sepatu tak lagi
menjadi lantai
bagi kedua mata kita untuk saling
menuntaskan rindu
melumasi kabar hantu yang
menghilangkan aku
ke dalam sibuk dunia kantor hingga
bertangga-tangga lamanya
aku berkeras menahan diri dari
hal-hal berbau air mata
ponselmu memberitahuku perihal
pesan apa yang mesti kukirim kepadamu,
cinta yang berkali-kali jatuh
menimpa pikiran aku yang landai
sebab kerap dijejaki kehilangan
yang terus memanjang serupa bayang-bayang
berisi perkiraan-perkiraan sunyi
seperti apa yang sedang menyamar jadi tubuhmu
tubuh yang ingin sekali aku genggam
sebagai rembulan di langit-langit kamar
bulat terang persis ribuan, bahkan
jutaan kunang-kunang
di sebuah bandara, aku berdiri
dengan dilingkupi kecemasan
sebuah pesawat terbang yang bersiap
hendak mendarat
pada penanda musim hujan yang
licin, sementara kau kini adalah matahari habis
ditelan muram langit pukul lima
sore--gagal menyisakan sinar kecil
meski sebatas menembus celah-celah
mata jendela kaca
kau datang dan lama-lama berubah
jadi hujan
aku membeku sebab jarum tubuhmu tak
lekas ingin melepaskan diri dari tubuhku
semakin keras kakiku ingin berlari,
semakin aku merasakan
ada yang berderap di belakang
punggung
menyamar menjadi seekor burung
pembawa nasib sepucuk surat
yang belum sampai kepada seseorang
ia--seseorang itu adalah aku yang
nelayan, penunggu jala didekati ikan-ikan
yang terkadang tak sabar menebarkan
umpan--bukan perihal waktu
melainkan sebab cinta tak
semestinya menumbuhkan pohon-pohon
dengan ranting yang peragu
Kendal,
November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar