25 September 2012

Lentera



Pixabay - Michael Breiva

Lampu-lampu menyala dengan warna-warni yang begitu indah. Aku terkesiap, adakah di antara lampu-lampu itu yang merupakan bagian dariku? Sering aku membayangkannya, betapa aku akan menjadi manusia paling bahagia jika aku memiliki salah satu di antara mereka. Bukankah itu impian semua manusia?

Dulu aku pernah memilikinya, tapi entah ke mana kini ia. Dulu cahaya yang ia pancarkan sangat benderang, namun waktu barangkali yang membuatnya redup dan hampir mati, sehingga ia lari dariku. Katanya ia lebih suka membiarkan jarak mencintai kami. Maka aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku tak berhak memaksanya.

“Aku tak mungkin meneruskan ini, segalanya tak bisa dipaksakan. Biarkan jarak yang mencintai kita, lalu waktu yang akan menjawabnya,”

“Kenapa? Kau tak punya alasan yang kuat untuk membiarkan jarak masuk diantara kita. Dan waktu? Kenapa kau selalu menjadikannya seolah ia adalah superhero yang setiap saat ada di sampingmu?”

“Dengarkan aku!”

“Aku sudah mendengarmu,”

“Cahayaku sudah semakin redup,”

“Aku tak peduli,”

“Lalu bagaimana kau bisa berjalan jika cahayaku sudah tak bisa memapahmu berjalan,”

“Omong kosong. Aku tak pernah mempersoalkan itu. Walaupun kau redup dan hampir mati, setidaknya kau tetap memancarkan cahayamu sendiri. Tidak seperti bulan yang hanya bisa bercahaya jika mendapatkan pantulan cahaya dari matahari. Kau itu bintang! Untuk apa kau takut?”

“Kau tak tahu!”

“Karena kau tak memberi tahuku,”

Kemudian ia berlari dengan sangat cepat. Air matanya jatuh. Sungguh, aku tak pernah berniat membuatnya seperti itu. Aku diam dan memutar kepalaku berulangkali. Ya, aku hanya gelap yang hanya bisa menyusahkan ia saja. Dan kini aku sudah membuat matanya jatuh hingga air bercucuran dari kelopaknya. Matanya seperti kesakitan. Ah, aku telah melukainya. Aku begitu jahat terhadapnya. Setelah itu, aku tak pernah lagi memaksanya untuk menemuiku. Ponsel aku matikan, semua tentangnya aku kubur dalam-dalam.

Suatu sore aku berjalan di keramaian, di pinggir jalan raya. Aku menunggu malam, karena aku adalah gelap. Tetap saja, lampu-lampu berjajar di pinggir malam. Membuatku betah berlama-lama duduk di sana; di sebuah bangku halte yang kosong. Malam datang lalu ia membawa sebuah lilin di tangannya. Aku berdiri.

“Kau datang untukku?”

“Ya,”

“Kau tidak takut aku melukaimu seperti aku melukai cahaya?”

“Tidak. Aku tak sendiri, lihat apa yang kubawa,”

“Lilin? Untuk apa?”

“Kau gelap dan aku malam. Tentu saja kita tak bisa berjalan jika hanya kita sendiri yang memapahkan langkah. Karena kita sama-sama gelap,” Ia tersenyum.

Sejak saat itu aku tak bisa melupakannya; malam. Ia datang di saat yang tepat. Kami sama-sama membuka pintu, membiarkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi; masa depan. Ya, aku telah punya masa depan dengannya. Meski ia malam dan aku gelap, ia sudah berusaha membawa lilin, sehingga kami tak lagi kesepian. Ia adalah lentera, dan kelak kami akan melahirkan api harapan.

Kendal, 29 Juli 2012

20 September 2012

Memorabelia September yang Katamu Ceria

barangkali kita terlanjur berucap selamat datang
kepada september yang diam-diam larut dalam kenangan
yang kelak menerjemahkan keceriaan

lantas bibir kita terlalu lihai mengikat kata-kata
“bukankah segala mantan kelak akan kembali kepada kenang?”

membiarkan pepatah kosong diam-diam menelusup
kemudian memaksa untuk pura-pura adalah semacam lupa yang terlalu banyak menyimpan luka
bahwa tak setiap yang kita yakinkan patut untuk kita aminkan

sehari-hari kita barangkali memang terlalu cepat menyimpulkan riwayat
tentang detik jam yang berdetak, tentang lagu-lagu yang merelakan dirinya kepada telinga kita,
dan tentang anak bulan yang berputar terlalu cepat

itu semata-mata sebab kepala kita terlalu lumat memelihara penat
maka kemudian kita akan sampai kepada dahaga;
tertawa adalah cara kita mengetahui seberapa pandai diri kita dalam melupa.

Kendal, 2012

13 September 2012

Rindu

--aku jadi berpikir bahwasanya rindu
adalah alasan yang dibuat-buat untuk kita saling bertemu.

September 2013

22 Juli 2012

2 Puisi Komunikasi Sosial

YANG TELAH MENGAJARKAN SUARA*

:Alexander Graham Bell
1.
kepada kesunyianlah kepala kita mesti berputar—
menukar seberapa panjang suara yang bersuar
halnya kau, Bell
yang senantiasa mengajari hitungan bibir dan telinga
yang tak kuasa mengeluarkan kepercayaan
bahwa tak setiap diam tak bisa menerjemahkan

2.
kini kita telah sampai pada abad yang tak lagi memperdengarkan hal-hal purba
ataupun bagaimana cara menciptakan api pada batu yang saling membenturan diri;
seperti dongeng anak-anak sebelum tidur beranjak

telah lebih dahulu kau putarkan nyanyian-nyanyian
bagi kami,
adalah semacam pita suara yang sengaja kau rakit untuk mengobati rindu yang terlanjur sakit

3.
kemudian jarak mampu dilipat sedemikian singkat;
hanya butuh beberapa pulsa—
dan masing-masing bunyi berjalan sendiri
mencari kemana asal yang bernama sunyi

4.
maka menyalalah telinga yang memang sering memelihara pura-pura
sebab tak selalu dari kita mampu merawatnya
bahwasanya ia memang bukan satu-satunya
jalan menyelesaikan perkara.

Semarang, 27 Mei 2012


KACA JENDELA YANG MENJADIKAN KITA MELEBARKAN INDERA*

mata ini kian licin, meluncur bagitu saja
melompat dari kaca jendela yang nyala
bahwa telapak tangan ini sungguh lebih berpola; menggabarkan aneka rupa dan warna

pada kepala kita, kota-kota tumbuh begitu saja,
menandai peristiwa
bahwasanya memandang adalah yang paling lapang menghadirkn peluang

berdandanlah sedemikian riang
maka engkau akan melupakan segala macam pura-pura yang kian nyata

ada yang berhari-hari, di setiap pagi ia lebarkan lengan
demi membenamkan diri pada riuh redam;
pada jam-jam yang tak kunjung padam menayangkan perdagangan—
sementara ada pula yang segaja menggadaikan harga demi lapar yang tak kunjung terjual

di luar sana, di kaca jendela. aku melihat lady gaga tengah asik membuat gebrakan
membikin orang-orang kehilangan tangan;
sebab hal yang disebut senjang.

Semarang, 28 Mei 2012

*Judul puisi yang masuk 10 besar cipta puisi Hari Komunikasi Sosial ke-46

3 Desember 2011

Cara Kirim Naskah ke Penerbit Bentang Pustaka

1. Bagaimana cara mengirimkan naskah ke Bentang Pustaka?

Pengiriman naskah bisa dalam bentuk hard copy (via pos) atau soft copy (via email).
Naskah dikirim via pos ke alamat :


PT. BENTANG PUSTAKA
JL. Pandega Padma No.19
Yogyakarta 55284
Telp. 0274-517373

Atau via E-mail (dalam bentuk lampiran) ke alamat : bentangpustaka@yahoo.com
2. Apa kriteria naskah yang diterima Bentang Pustaka?
a. fiksi/ non-fiksi dengan tema menarik, up to date, dan unik
b. menceritakan kehidupan masa kini
c. tidak mengandung unsur pornografi
d. tidak berpotensi menimbulkan/memicu konflik SARA

3. Bagaimana format pengiriman naskah ke Bentang Pustaka?
Naskah diketik di kertas kuarto. Panjang naskah minimal 200 halaman spasi dua. Naskah dikirimkan beserta biografi lengkap penulis, sinopsis, dan nilai lebih karya.

4. Berapa lama penilaian karya untuk memberikan pemberian keputusan?

Idealnya keputusan diberikan maksimal 3 bulan. Tetapi, waktu tersebut tidak dapat menjamin karena begitu banyaknya naskah yang masuk ke redaksi Bentang Pustaka baik melalui e-mail maupun pos.

5. Bagaimana cara mengetahui apakah naskah diterima atau tidak?

Penulis dapat menghubungi pihak Bentang Pustata baik melalui e-mail atau telepon dengan menyebutkan judul naskah dan kapan naskah dikirim.

6. Bagaimana nasib naskah yang tidak diterima oleh Bentang Pustaka?

Apabila naskah berbentuk hardcopy, naskah akan dikembalikan ke alamat penulis beserta surat resmi dari Bentang Pustaka. Apabila naskah dikirim melalui e-mail, keputusan akan dikirim melalui e-mail.