(Solopos, 17 Januari 2016)
Sumber: Yuditeha |
Piling—bukan
nama sebenarnya—tampak begitu cemas ketika mendapati kedua matanya tidak bisa
memandang sesuatu dengan sama. Meskipun seandainya sebuah celana berwarna
cokelat tengah ia pandangi, di satu sisi akan terlihat cokelat tua dengan warna
sempurna, sementara di mata yang lain akan berwarna cokelat pudar serupa benda
yang telah usang dan tidak layak untuk
digunakan siapa saja pemiliknya.
Demikian ia ingin pergi ke kamar
mandi untuk mencuci muka. Barangkali hal itu terjadi sebab ia baru saja bangun
tidur dengan kepala yang masih berat dan rasa kantuk yang masih menggantung di
tiap-tiap matanya. Ia menyadari bahwa jam tidurnya teramat kurang sebab mesti
mengerjakan banyak hal di tengah-tengah waktu orang-orang tidak lagi beranjak
dari tempat tidur: mengerjakan laporan, membaca buku, menulis artikel, essai,
cerita pendek, novel, dan sebagainya.
Ia melipat selimut, menumpuk dua
bantal, guling, membersihkan seprai dengan sapu kasur, kemudian menatanya.
Kemudian memandangi meja kerja yang di atasnya berserak tumpukan kertas dan
beberapa buku.
Belum sempat ia pergi ke kamar mandi
untuk sekadar mencuci muka, seseorang di luar telah lebih dulu mengetuk pintu
rumahnya. Ingin sekali memaki orang tidak tahu diri itu, namun ia urungkan
karena pada dasarnya orang itu tidak tahu persoalanya, dan memang tidak penting
untuk diceritakan atau dijadikan alasan menolak tamu yang tengah berkunjung.
Akhirnya dengan sepenuh perasaan
terpaksa, ia membuka pintu, menyembulkan kepalanya dengan hanya separuh badan
yang tampak dari luar. Rambutnya masih sama berantakannya dengan meja yang
tidak sempat dibereskan.
“Mengganggu?”
“Oh, tidak.” Sebenarnya ia ingin
sekali berkata ‘ya’, namun rasanya tidak pantas sekali, meskipun sesungguhnya
ia memang ingin sekali marah-marah dan mengatai orang itu dengan umpatan tak
tahu diri pagi-pagi bertamu—tidak tahu waktu—dan kalimat-kalimat lain yang bisa
saja tidak berhubungan dengan kekesalannya.
“Aku sudah mengirim sebuah pesan
singkat kepadamu, tapi rasanya kau tidak akan membacanya, dan mungkin memang
belum.”
“Oh ya? Aku belum membuka ponsel.
Masuklah!”
Pintu yang semula hanya terbuka
separuh itu kini sudah terbuka sepenuhnya, dan dibiarkan seperti itu tanpa
menutupnya kembali.
Piling mengambil ponsel dan mengecek
kalau-kalau tamunya itu tengah berkata bohong mengenai sebuah pesan terkirim
yang dibuat-buat. Tapi ternyata memang benar, dan kini ia mengetahui maksud
orang itu mengapa pagi-pagi sekali sudah menemuinya.
“Baru bangun tidur? Wajahmu tidak
terlalu bagus. Rambutmu juga. Semuanya tampak seperti sebuah kampung yang baru
saja dicium badai.”
“Benar. Aku belum cuci muka. Maka
tunggulah sebentar.”
Seseorang itu menunggu,
memutar-mutar kunci motor di jari telunjuknya. Pandangannya manyapu seisi ruang
dengan asal-asalan. Tidak ada sesuatu yang baru, atau setidaknya sesuatu yang
menarik perhatiannya, kecuali ikan-ikan di sudut ruangan, di dalam akuariun.
Miniatur laut yang tampak pura-pura biru sebab gambar pemandangan di dinding
akuarium dan batu-batu buatan yang berwarna-warni.
“Seharusnya akuarium ini tampak
begitu indah. Tapi entahlah, aku tidak tahu benar rupa keindahan.” gumamnya.
Piling kembali dengan dua buah gelas
berisi kopi hitam yang aromanya menelusuri seluruh ruang.
“Terima kasih.”
“Tidak usah geer. Memangnya siapa
bilang kopi ini untukmu?”
Seketika wajah tamu itu meredup.
Barangkali malu bercampur kesal, seolah tengah berkata: kalau saja aku tidak
membutuhkan bantuanmu, aku tidak terima kau perlakukan seperti ini. Memangnya
kau siapa?
“Tidak usah dipikir. Minumlah. Tentu
saja aku temanmu.”
Lelaki tamu itu terkejut menyadari
Piling seperti pembaca pikiran yang andal.
“Jangan berpikir bahwa aku bisa
membaca pikiranmu. Aku bukan peramal. Aku hanya menebak gerak tubuhmu. Itu
tidak terlalu sulit.”
Percakapan antara tamu dengan tuan
rumah tercipta dengan semestinya. Sesungguhnya karakter laki-laki yang bertamu
itu terlalu pemalu dan kaku jika mengingat hubungannya dengan Piling sudah
berlangsung puluhan tahun. Bahkan sejak bayi, para orang tua mereka sudah
saling mempertemukan satu sama lain. Tentu saja masih banyak orang lain yang
dekat selayaknya mereka. Paling tidak ada delapan orang, dan seluruhnya
laki-laki.
“Aku bermimpi seseorang mencongkel
bola mataku,”
“Tapi itu cuma mimpi, ‘kan?
Syukurlah pagi ini kau datang masih dengan sepasang mata yang lengkap.”
“Tentu saja, ini bukan fiksi.”
“Lantas apa yang kau takutkan?”
“Mimpi itu terus berulang sehingga
aku sangat takut untuk tidur.”
“Maka tidurlah dengan mata terbuka.”
“Jangan bercanda.”
“Baiklah. Lalu apa yang bisa kubantu
untuk melepaskanmu dari mimpi buruk itu?”
“Aku ingin meminjam uang.”
Di antara mimpi buruk dan ingin
meminjam uang memang seperti tidak berhubungan, tapi tidak ada yang tidak
mungkin jika sesuatu hidup di dalam kepala manusia.
Amat—tamu itu—segera berbisik di
dekat telinga Piling. Reaksinya bisa diduga, Piling kaget dengan apa yang dikatakan
Amat. Barangkali nominal yang diminta terlalu besar, dan saat ini Piling tidak
banyak menyimpan tabungan.
“Nanti kuberi kabar,”
“Baiklah. Sekarang aku harus pergi.
Kau juga akan ke kantor, ‘kan?”
“Ya.”
Sepeninggal Amat, Piling masih terus
berpikir bagaimana cara untuk membantu temannya itu. Tentu saja ia merasa
kasihan, dan tidak ingin membiarkan temannya berlarut-larut dalam sebuah mimpi
buruk. Ia kembali ke kamar dan kembali tidur.
Pukul 11.23 WIB dan Piling baru
menyadari bahwa hari ini adalah Minggu. Ia melepas napas lega, karena
sebelumnya sudah sangat khawatir sebab ia sudah membolos kerja dan tidak bisa
membayangkan makian bosnya yang menyerupai monster raksasa.
Bahkan ia baru menyadari bahwa pagi
sebelumnya Amat datang mengetuk pintu rumahnya untuk meminjam uang. Ah, uang.
Lagi-lagi uang.
Ia memutuskan untuk menelpon Amat.
Beberapa kali panggilan tidak diangkat. Akhirnya ia putuskan mengirim sms: Aku
akan membantumu. Kita harus ketemu.
Tidak butuh waktu lama, Amat sudah
membalas pesan singkat itu: Baiklah. Di kedai kopi dekat balai desa.
Sore hari, mereka bertemu di kedai
kopi yang sudah disepakati. Tidak ada pembeli selain mereka, namun tetap saja
di antara mereka berbicara hampir tanpa suara.
“Kau tidak perlu meminjam uang.”
“Kenapa begitu?”
“Jangan khawatir, aku akan tetap
membantumu.”
“Bagaimana?”
“Rahasia.”
Begitulah mimpi-mimpi itu serupa
peluru yang dimuntahkan alam tidur. Tidak ada seorang pun yang bisa
mengendalikannya. Segalanya terjadi atas kehendak sang peri-peri mimpi. Tidak
bisa diatur hari ini atau besok hendak bermimpi apa seperti merencanakan sebuah
menu masakan atau sebuah masa depan—bahkan dalam merencanakan masa depan pun
terlalu banyak hal tidak terduga di dalamnya.
Tidak hanya Amat, Piling pun mulai
ditarik dalam sebuah mimpi yang berbahaya. Sebuah peperangan. Jika di antara
mereka berani keluar rumah dan berada di jalan-jalan, risikonya adalah mati.
Melakukan perlawanan atau tidak, sama saja jika tidak memiliki kekuatan yang
cukup untuk mengalahkan lawan.
“Mestinya aku tidak ikut-ikutan!”
Kemarahan Piling tidak terbendung
lagi.
“Aku kan tidak pernah mengajakmu.
Aku hanya ingin meminjam uang. Tapi kau yang menawarkan diri untuk masuk ke
dalam masalahku.”
Benar. Memang begitu kenyataan yang
harus diterima Piling. Amat tidak bersalah. Semakin hari, ia semakin
menyelahkan dirinya sendiri.
“Aku tidak punya uang!”
“Maka seharusnya kau tidak usah
pura-pura ingin membantu.”
Setiap pagi selepas bangun tidur,
Piling tidak lagi bergairah untuk menyentuh apapun. Kamarnya sudah melebihi
kapal pecah yang karam di lautan. Benda-benda berhamburan, tidak teratur dan
sangat terlihat buruk. Begitu juga wajahnya, rambutnya—ia jadi jarang sekali
mandi—tidak pernah dicuci, jarang ganti baju, dan kerjaannya hanya menyalahkan
diri sendiri.
Pandangan matanya juga semakin
buram, melebihi televisi berwarna berisi berita tidak penting soal pemerintahan
yang dirubung semut, atau kaca jendela yang ditumpahi hujan. Antara kiri dan
kenan semakin sama dan berkejaran. Jika semula bagian satu memandang cokelat
sempurna dan bagian lain cokelat pudar, kini ia hanya bisa memandangnya dengan
abu-abu, hitam, dan putih. Tidak ada warna-warna yang sudi memasuki sepasang
bola mata.
Tidak ada lagi yang bernama
keindahan di dalam pandangannya. Segalanya menjadi mendadak tidak menarik lagi
untuk disaksikan. Dunia serupa mainan anak-anak yang sejenak dan mudah
ditinggalkan. Ikan mas di sudut ruangan dalam akuarium pun hanya serupa
genangan lumpur dalam air. Sepasang bola matanya hampir rabun seperti juga yang
dialami Amat, sahabatnya.
Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar