6 Desember 2013

Di Luar Jendela (Suara Merdeka, 1 Desember 2013)

Cerpen Fina Lanahdiana (Suara Merdeka, 1 Desember 2013)


Epaper - Suara Merdeka

Aku terdampar. Kepalaku terjepit--terbenam ke dalam sebuah benda. Benda ini tipis, keras dan memiliki daya hisap yang sangat kuat. Bagaimana tidak, kepala saja bisa terperangkap dengan mudahnya. Sial! Mulutku mengumpat.
Aku jadi mengingat mesin penghisap debu yang biasa digunakan pembantuku untuk membersihkan rumah. Ya, tentu saja aku mempunyai pembantu. Anak-anakku ada tiga, sementara istriku sibuk dengan jamnya sendiri.
Dulu sekali , sekitar lima belas tahun yang lalu aku menikah dengan seorang perempuan penyuka aroma kopi. Aku tak tahu benar apa yang membuatnya tergila-gila dengan kopi. Tapi dia pernah sedikit bercerita kepadaku, bahwa harum kopi yang asapnya masih mengepul itu bisa membawanya ringan, melayang-layang, terbang bebas seperti kapas yang diterbangkan angin. Bebas. Begitulah mungkin yang menyebabkannya lebvih suka menikmati dunianya sendiri.
Tidak lama, tiga bulan kemudian istriku hamil dan melahirkan anak pertama. Berjarak dua tahun saja kami kembali dianugerahi dua anak sekaligus yang juga kembar. Lalu kami kebingungan, istriku menyarankan untuk mencari pembantu.
“Kita hanya perlu membayar mereka, Pa. semuanya akan beres,” katanya di sela percakapan kami.
“Tapi …”
“Aku sudah membeli alat penghisap debu yang mahal dan berkualitas baik. Tenang, semua akan baik-baik saja. Rumah kita akan selalu bersih.”
Kembali lagi ke cerita awal. Pelan-pelan seluruh tubuhku terhisap, bergerak dengan cepat seperti meteor yang melintasi bumi.
Kautahu debu, kan? Ia hanya sekumpulan partikel kecil yang mengganggu. Memang sudah sepantasnya dituntaskan. Tapi aku? Ah, entahlah tapi aku bukan debu. Aku terhisap ke dalam sebuah buku.
***
Aku berjalan di sebuah jam dinding. Hei, aku berada di sebuah ruangan yang dipenuhi cahaya. Disana ada sepasang meja kursi yang tampak begitu sibuk. Seseorang sedang serius memegangi kepalanya dengan tangan kiri. Tangan kanannya menjepit pulpen diantara jari-jari. Aku terkesiap.
Aku melihatnya. Dia yang pernah aku kenal, dia yang ada di beberapa koleksi perpustakaan pribadiku. Aku masih berdiri dan terus memandanginya, sementara pria itu belum juga menyadari kehadiranku yang tiba-tiba.
“Permisi, Pak.”
“Hei, Mario. Masuklah! Kau akan banyak menghabiskan energimu jika tetap berdiri disana.”
Kau dengar, kan. Pria itu mengetahui namaku. Ah, mungkin saja telingaku salah.
“Bolehkah aku bertanya?”
“Tentu saja, bertanyalah!”
“Ini tempat apa? Aku dimana?”
Pria yang tampak sudah tidak lagi berusia muda itu malah tertawa, aku semakin bingung.
“Kau kenapa? Apa yang terjadi?”
Aku merasa bodoh dan lucu mendengar pertanyaannya.
“Tentu saja aku ada di … mana?” aku mengulanginya sekali lagi dengan tergesa.
“Kau benar-benar lupa?”
“Ya, mungkin. Dan kau, aku seperti pernah mengenalmu, tapi tidak disini.”
Pria itu tertawa sekali lagi.
“Tentu saja kau mengenalku, Mario,” Ia menyebut namaku sekali lagi, “duduklah dulu!” ia masih saja mencoret-coret kertas yang ada di hadapannya. Lumayan menumpuk.
Aku menyeret kakiku ke arahnya, kemudian duduk di salah satu kursi kosong yang ada di hadapannya. Pria itu berulang membetulkan dasi kupu-kupunya.
“Sudah ingat?” aku hanya menggelengkan kepala.
“Kau Thomas Alva Edison. Aku mengoleksi banyak buku tentangmu. Tapi bagaimana kau bisa tahu namaku? Dan bukankah Anda sudah …”
“Bagaimana hasil ujianmu?” ia tidak menjawab pertanyaanku.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini konyol sekali. Aku yakin ini pasti mimpi. Kutampar pipiku, dan ini sakit. Tidak seperti mimpi.  Aku seperti orang gila yang belum sembuh dari amnesia dipenuhi dengan tanda tanya besar melebihi ukuran kepalaku.
Suasana hening. Mataku berputar mengelilingi ruangan. Ini terlihat seperti sebuah laboratorium kimia dengan segala perlengkapannya.
“Tiga hari berada di perpustakaan membuatmu melupakan banyak hal. Ajaib, betapa buku-buku itu penuh dngan kekuatan magis,” timpalnya.
“Pak …” ia sedikit meluruskan pandangannya ke arahku. Matanya tampak seperti tengah menyelidik, “bagaimana mungkin aku ada di perpustakaan? Sebelum ini aku ada di rumah, dan tiba-tiba aku sudah ada di tempat ini. Aku terhisap ke dalam buku.”
“Kau mendapat hukuman untuk mencari referensi di perpustakaan karena kau tertangkap sedang menyontek saat ujian bersama beberapa temanmu.”
Aku tidak terlalu yakin menyimpulkan bahwa diriku adalah muridnya. Bahkan aku tak pernah tahu ia pernah menjadi guru, dosen, ataupun tenaga pengajar lain di buku sejarah biografi tentangnya. Atau mungkin aku yang lupa. Ah!.
“Lalu istri dan anak-anakku?”
 Pria itu menghentikan tangannya menulis pada helai-helai kertas di atas meja kerjanya.
“Kau pemimpi.”
“Mimpi apa?”
“Memiliki istri dan anak.”
“Tidak, aku sungguh-sungguh. Tadi aku di rumah, menyaksikan istriku berangkat kerja, juga anak-anakku pergi ke sekolah.”
“Kau penghayal yang baik,” pria itu tergelak sekali lagi.
“Aku tidak bohong!”
“Ah, sudahlah. Kerjakan tugasmu. Sampaikan juga pada teman-temanmu. Aku tunggu sampai besok,”
“Baiklah. Sekarang aku sudah boleh keluar?”
“Silakan.”
***
            Aku berjalan ke arah pintu masih dalam keadaan bingung. Seseorang hampir saja menabrakku. Ia seorang wanita bertubuh tinggi dan kurus. Matanya agak sipit, rambutnya cokelat sebahu dengan belahan sebelah kiri. Dari gaya dia bicara, kami seperti sudah akrab.
            “Bagaimana, Mario?”
            “Apa?”
            “Tugas.”
           “Membaca dan merangkumnya. Setelah itu kau diminta merancang sesuatu untuk sebuah percobaan.”
            “Hanya itu?”
            “Kau bilang hanya?”
        “Haha. Aku tidak sungguh-sungguh. Itu bahkan tugas yang rumit untuk mahasiswa tahun pertama seperti kita.”
            “Sudah?”
            “Mau kemana?”
            “Entahlah.”
            “Kau bodoh sekali.”
            Wanita itu tertawa seperti yang dilakukan pria yang kukira mirip ilmuwan dalam beberapa buku koleksiku, Thomas Alva Edison.
            “June …”
            Wanita itu memanjangkan lehernya ke depan—ke arahku. Matanya bulat, hanya beberapa inci dari wajahku. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menyebut kata itu. Nama wanita itu June.
            “Kau mencintaiku?” June seperti sedang meledekku.
            “Tidak. Aku sudah punya anak dan istri,”
            “Kau gila.”
            Aku hanya mengedikkan bahu kemudian berlalu meninggalkan wanita—yang mulutku memanggilnya June— tiba-tiba suaranya kencang sekali memekikkan telingaku.
            “Nanti kita bertemu di kereta!”
            Aku masih memacu langkah tanpa benar-benar tahu apa yang dikatakan June. Hei, kereta? Untuk apa?
***
            Setengah jam berlalu, aku berjalan menyusuri lorong-lorong gedung ini. Gedung yang tampak raksasa jika dibandingkan dengan rumahku yang biasa-biasa saja; hanya memiliki halaman seluas 144 meter persegi dengan sedikit pepohonan dan bangku hingga berbentuk menyerupai taman. Tidak ada siapa-siapa di koridor panjang gedung ini. Suara sepatu seperti melayang-layang di belakang telinga.
            Tiba di stasiun, mataku berjalan ke segala arah. Aku menunggu seseorang. Ya, seorang wanita yang kupanggil June.
            Di depan pintu sebuah kereta, aku melihat June melambaikan tangannya. Kepalanya menyembul, tangannya yang lain menggantung di langit-langit gerbong.
            Aku telah berada di atas kereta yang kini sedang berjalan dari Port Huron ke Detroit, duduk berhadapan dengan June.
            “Untuk apa kau membawaku kesini?”
            “Nanti kau akan tahu,”
“Kau tidak sedang ingin memaksaku untuk menikah, kan?” aku meledek June.
            June memukul kepalaku menggunakan gulungan kertas tugasnya. Kemudian ia menyerahkan tumpukan surat kabar Week Herald ke tanganku.
            “Kita akan menjual ini,”
            “Di kereta?”
            “Iya.”
       Tiba-tiba terdengar suara ledakan sangat keras. Jantungku seperti hendak melompat keluar dari tubuhku.
            “Kau dengar itu, June?”
            “Ya, sesuatu pasti sedang terjadi.”
          Kami menelusuri gerbong, mencari arah suara ledakan yang mengerikan itu. Kami bertemu dengan seorang kondektur, ia mengabarkan ada seorang pria yang terlempar dari kereta, tepat di Smiths Creek, Michigan ini karena gagal melakukan percobaan kimianya. Kondektur itu juga menambahkan, pria itu tidak boleh lagi melakukan eksperimen dalam kereta. Dan kukira pria yang malang itu pasti sudah mati.
***
            Sepersekian detik berikutnya aku terjatuh begitu saja di ruang tengah—menerobos sebuah jendela. Istriku kaget dan segera menghampiriku. Hebatnya tubuhku tidak terluka sedikitpun, padahal kaca jendela berserakan di lantai.
            “Darimana saja tiga hari ini, Pa?”
            “Kau bercanda, sayang. Aku tidak kemana-mana.”
            Aku bangkit dari posisi tubuh yang tersungkur, kemudian bergabung bersama istri dan anak-anakku menyantap sarapan di meja makan dengan menu omelet bertabur keju, roti tawar dengan olesan selai kacang, dan segelas susu segar hangat yang disiapkan oleh pembantuku—tanpa mandi terlebih dahulu.
            Terdengar ketukan pintu, istriku berjalan keluar untuk mengetahui tamu yang berkunjung sepagi ini. Pembantuku masih sibuk.
            “Saya ingin bertemu Mario.”
            Suara serak seorang pria tua menyapa dengan sopan. Ia melongokkan kepala dari seberang sebuah jendela tanpa kaca.
            Istriku segera membuka pintu dan menyuruhku untuk menemuinya.
            “Seperti yang kubilang, kau penghayal yang baik, Mario.”
        Mulutku membentuk lingkaran menyerupai huruf ’o’—pria yang kukira sudah mati itu kini sedang berkunjung ke rumahku.


Oktober, 2013

14 November 2013

Obituari

 
Pixabay - Gerd Altmann

 
 –siapa yang tahu waktu, apakah ia akan tetap berputar dua puluh empat jam ke depan?
 
Berikut adalah puisi yang saya tulis untuk mengenang salah seorang teman. Saya belum pernah bertemu dengannya. Tapi entah, saya ingin sekali menulis untuknya.

RANTAU
:Kus Calvin

barangkali kepergian adalah rantau paling angin;
lesap seperti tajam hujan yang mengetuk-ngetuk  jendela kamar
lalu senyap menyisakan jejak-jejak dari masa lampau,
berputar melingkari segala penjuru arah—yang dinamakan cita-cinta
lantas tidak ada apa-apa yang tersisa

kini kakimu telah jauh melewati batas
dari segala macam kapal-kapal yang berlayar

laut mengental serupa kabut yang menggantung di langit-langit
bagi sebuah bising yang tiba-tiba asing
keriuhan yang tidak ada alasan untuk membantahnya

angin lupa mengemas hari untuk masa depan
meski hanya sebatas putaran dua puluh empat jam saja
ketiadaan ini bukankah memang begitu pendiam,?

Kendal, 12.11.13

5 November 2013

Puisi M Aan Mansyur

Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita

1. Kunang-kunang Merah

yang hidup dari menghirup dendam kuku-kuku
orang-orang raib, penunggang aib atau penanggung alasan gaib—
kuku orang-orang yang pernah kita desak masuk
dan bertumpuk di lubang-lubang kubur sempit

dan kita yang tubuhnya semakin mayat
berharap tumbuh dan bisa mengalahkan nyali
atau mengalihkan nyala mereka menjadi kerlap-kerlip
lampu perayaan di taman kota atau kedap-kedip
genit di sepasang mata kita

tetapi dendam dengan apakah bisa lelap?

mereka memerahkan sekeliling kita yang gelap
dan di dalam tidur, kita menyaksikan warna merekah
jadi darah lalu mencair dari mata hingga ke mati
yang membunuh seorang pahlawan
—cita-cita yang bahkan tak bisa kita kenang


2. Manusia Tebing

yang membawa tebing di tubuh—berbatang-batang tebing.
wajahnya penuh lapisan-lapisan sedih yang maha menipu.
sama sekali tak ada waspada yang mengisi pengetahuan kita
lagi. tiba-tiba kita turut bersedih dan karena itulah mereka
bersedia jatuh ke dalam tebing, seolah mengorbankan diri

dan kita mengapung di permukaan jejak mereka yang mengepung
—di sini

kita berkesedihan, berkesedihan, berkesedihan tidak berkesudahan
terpaksa tersiksa merindukan dan mereka-reka kapan mereka
datang menipu kita sekali dan sekali lagi.

mereka butuh tubuh yang terjatuh ke dalam tebing sendiri
untuk hidup. berkali-kali. kita betah dan tabah menyadari
kesedihan hanya reda oleh kesedihan yang berulang kali.

sepanjang kala.


3. Airmata Mati

yang berjatuhan dan tak bisa kembali ke langit mereka:
airmata yang tiba-tiba mati dan tinggal dalam ingatan

berwaktu-waktu mengasuh dan mengasah diri
menunggu hingga alir airnya menggelombang
dan busa-busanya menggelembung

lalu kelak dengan mudah bisa menelan habis kita

dan kini apa yang mampu dielakkan
oleh kita kecuali kata-kata?


4. Jalan Melempang dan Melengang

tak ada lekuk liku dan yang menyimpang atau turun
dan mendaki yang bisa menyembunyikan kita
—pelangkah-pelangkah takut yang mencari suaka

jalan itu terus melebar ke mana-mana,
dan membawa kita tidak ke mana-mana
selain ke tempat berangkat—selalu ke semula

jalan itu tak menyimpan ujung dan tujuan
kita tersesat di kerataan yang maha lapang
menjadi kecil, lebih kecil dari yang lebih kecil dari debu,
di telapak tangannya

lalu kita telah menjadi yang paling panik dan renik
yang akan remuk dalam lengan-lengan lengangnya

memang kita belum mati,
hanya lebih tersiksa dari hidup
dan tersiksa mengharap tidak hidup


5. Kitab-Kitab Penyesat

memiliki warna-warni lembut dan sejuk
seperti bayang-bayang yang menghalau kemarau
dan orang terhindar dari terbunuh dahaga

kita memasuki halaman-halaman
dan mengetuk pintu-pintu mereka

bermimpi tidur di pelukan kata-kata
dan kalimat mereka—yang rupanya
muslihat

apa? dengan sakit kita mendatangi apotik
yang menjual rupa-rupa racun

o, kita sendiri yang mengetuk
untuk masuk mengambil kutuk!


6. Rimba Suara

kita dulu memang mencintai tumbuh-tumbuhan
nenek moyang kita paling petani. rahim subur
yang melahirkan kita ialah tanah-tanah gembur

namun apa yang ingin kita buat hijau kini?

lalu muncullah mereka, suara-suara itu,
yang mula-mula sembunyi di mulut kita sendiri
yang malu-malu menyebut diri kawan
tapi enggan pula menyebut diri lawan

kita tidak sedang membangun surga dengan rimba
lalu ada buah-buahan yang menyelamatkan
dan mengirimkan kita ke bumi yang kosong
dan kita mulai bisa menggarap hidup

rupanya kita menimbun diri sendiri di rimbun
suara-suara yang hutan itu—yang kuat
melampaui daya hantu tuhan-tuhan


7. Bayangan-Bayangan Kita

bukan bayangan yang hitam tanpa cahaya mata
bukan makhluk yang mati tanpa kita

mereka sekawanan yang menyerupai kita
dengan pikiran yang membolak-balik
pengetahuan kita

kita berpikir telah melahirkan mereka,
mereka berpikir kita anak-anak durhaka
yang meminta hukuman

medan perang adalah cermin
namun mereka lebih gesit bergerak
dan kita mengikutinya—kita menampar
wajah kita ketika mereka menampar wajah kita

kita menangisi diri kita
ketika mereka menertawai kita


8. Hari Pertimbangan

dia, yang menamai diri hari pertimbangan,
mengumpulkan kita dan mengundang
tebing itu, kunang-kunang itu, airmata itu,
jalan-jalan itu, kitab-kitab itu, hutan-hutan itu,
bayangan-bayangan itu

dia menyuguhi kita pertunjukan dan pesta
yang mengandung rasa penasaran

dia membiarkan kita mabuk dan bicara
memperkenalkan diri sebagai tokoh utama—
satu-satunya tokoh yang paling berdaya,
yang paling dianiaya

dia dan tamu-tamunya menertawai dan menghadiahi
kita senjata-senjata dan pilihan untuk bunuh diri
atau meninggalkan cerita ini dengan mengaku
kalah

dan kita melakukan kedua-duanya

Sumber: Kompas

Sepotong Senja untuk Pacarku

 Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Unsplash -Johanes Plenio

Alina tercinta,

Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya. Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.

Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,

Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.

Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

(Cerpen Pililihan Kompas 1993)
Sumber: Dunia Sukab








29 September 2013

Puisi-puisi Fina Lanahdiana (Radar Seni, 28 September 2013)



LUBANG 

PADA SUATU MUSIM HUJAN

udara masih dingin
kabut tebal tumbuh pada derajat celcius yang semakin subuh
aku bangun dari malam yang jaga;
beginilah, jam tidur sering menyala sia-sia
“lerailah rindu, mataku yang tiba-tiba menjadi kamu”

Januari 2013


VIRUS

ia serupa perasaan tak enak badan yang begitu cepat mengalir
memasuki setiap gang tak berpalang
semakin kita melawan
maka ia akan semakin menang

Januari 2013



PERJANJIAN JARI MANIS

tersebab pertemuan menjadi semacam ikrar
pada masing-masing kita untuk tidak membesarkan ingkar
jari manis ini lonceng jam bagi bunyi;
yang dengannya jarak akan tunduk pada rindu yang berlabuh
seperti halnya perahu yang menepi untuk menunggu matahari
kembali meninggi esok hari
kemudian deretan panjang alasan yang dibuat-buat oleh angin
adalah rumah teduh bagi hujan yang dingin

Januari 2013


TELEVISI

i
setiap hari tidak ada lagi anak-anak memenuhi seisi halaman rumah; bermain kelereng, congklak, ataupun panggalan. tidak juga ada mereka yang berkumpul pada suatu pagi kecuali  hari minggu yang tanggal merah; mencatat acara televisi pada pasrah nilai rupiah. semakin lurus saja tayangan-tayangan itu—haus pada pintu ajaib dan baling-baling bambu.

ii
selepas pulang sekolah, mereka melepas buku pelajaran pada permainan di komputer yang katanya bisa membikin mereka pandai tanpa mesti mengabdi pada catatan-catatan.  di dalam tas hanya ada alasan-alasan yang mereka buat untuk meletakkan tas punggung yang berat sebelah, juga sepatu tanpa kaos kaki yang tidak dicuci berhari-hari.

iii
aku memegang kepala televisi. barangkali ia sedang mengidap sakit demam dan tak pernah mandi meski sekedar mengusir kecemasan gerah di sepanjang kaki-kaki lengan.

iv
malam harinya, televisi kembali menjadi air mata yang penuh dengan rekayasa membanting pintu lalu pergi tanpa menyisakan apa-apa. ibu berlari meninggalkan bumbu dapur dan kompor yang masih menyala. sementara adik asik menukar pastel warna dengan bunyi kring sebuah ponsel. wajah siapa di luar jendela membunyikan irama cinta?. ini semacam teka-teki yang diciptakan tanpa bisa dituntaskan.

Februari 2013

28 September 2013

Sepi

--aku tidak tahu
apakah sepi
juga pernah menyimpan luka
lalu
tiba-tiba
ingin sekali ditelan
keinginan hilang ingatan.

September, 2013

SEBUAH PUISI FINA LANAHDIANA (www.unsa27.net Ed. September 2013))

ORANG-ORANG DAN HAL-HAL YANG DITUHANKAN

lupa lupa lupa, atau apa yang entah
alasan yang semestinya sadar bagi pura-pura; sabar bagi luka kita
sebab kepala-mata yang ditidurkan peristiwa pada benda-benda,

:TELEVISI
di kepala ini telah tumbuh tunas yang sampah; sia-sia
begitu riang memandikan air mata yang tumpah
dari keypad handphone, blackberry, dan ipad yang dengannya kita bisa menerka seberapa besar kita mesti membuang muka kepada siapa-siapa saja;
yang mengajarkan seragam sekolah yang masih memeluk pensil itu untuk tiba-tiba mencintai rautan yang runcing

:KENDARAAN
tubuh ini yang tak ingin dilukai cidera seringkali membunyikan knalpot di sepanjang kaki-kaki kita;

hijau yang tidak lagi sebagai paru-paru menjadikan kita
semakin kemarau dengan dada yang penuh dengan keributan hutan
yang semakin kota; yang semakin kita

:ALAT-ALAT KECANTIKAN
seringkali kita tak ingin cermin terlampau jujur pada usia;
pada uban-uban yang mulai tumbuh di kepala kita; di wajah kita
yang menjadikan kita rela pada obat-obat dan bahan kimia

dan tak ingin lagi disebut sebagai bedak tabur yang mati-matian bertarung melawan sejarah
ataupun poles bibir yang tak ingin mengatakan dirinya sebagai pendusta yang paling bisa.

Kendal, Desember 2012