Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita
1. Kunang-kunang Merah
yang hidup dari menghirup dendam kuku-kuku
orang-orang raib, penunggang aib atau penanggung alasan gaib—
kuku orang-orang yang pernah kita desak masuk
dan bertumpuk di lubang-lubang kubur sempit
dan kita yang tubuhnya semakin mayat
berharap tumbuh dan bisa mengalahkan nyali
atau mengalihkan nyala mereka menjadi kerlap-kerlip
lampu perayaan di taman kota atau kedap-kedip
genit di sepasang mata kita
tetapi dendam dengan apakah bisa lelap?
mereka memerahkan sekeliling kita yang gelap
dan di dalam tidur, kita menyaksikan warna merekah
jadi darah lalu mencair dari mata hingga ke mati
yang membunuh seorang pahlawan
—cita-cita yang bahkan tak bisa kita kenang
2. Manusia Tebing
yang membawa tebing di tubuh—berbatang-batang tebing.
wajahnya penuh lapisan-lapisan sedih yang maha menipu.
sama sekali tak ada waspada yang mengisi pengetahuan kita
lagi. tiba-tiba kita turut bersedih dan karena itulah mereka
bersedia jatuh ke dalam tebing, seolah mengorbankan diri
dan kita mengapung di permukaan jejak mereka yang mengepung
—di sini
kita berkesedihan, berkesedihan, berkesedihan tidak berkesudahan
terpaksa tersiksa merindukan dan mereka-reka kapan mereka
datang menipu kita sekali dan sekali lagi.
mereka butuh tubuh yang terjatuh ke dalam tebing sendiri
untuk hidup. berkali-kali. kita betah dan tabah menyadari
kesedihan hanya reda oleh kesedihan yang berulang kali.
sepanjang kala.
3. Airmata Mati
yang berjatuhan dan tak bisa kembali ke langit mereka:
airmata yang tiba-tiba mati dan tinggal dalam ingatan
berwaktu-waktu mengasuh dan mengasah diri
menunggu hingga alir airnya menggelombang
dan busa-busanya menggelembung
lalu kelak dengan mudah bisa menelan habis kita
dan kini apa yang mampu dielakkan
oleh kita kecuali kata-kata?
4. Jalan Melempang dan Melengang
tak ada lekuk liku dan yang menyimpang atau turun
dan mendaki yang bisa menyembunyikan kita
—pelangkah-pelangkah takut yang mencari suaka
jalan itu terus melebar ke mana-mana,
dan membawa kita tidak ke mana-mana
selain ke tempat berangkat—selalu ke semula
jalan itu tak menyimpan ujung dan tujuan
kita tersesat di kerataan yang maha lapang
menjadi kecil, lebih kecil dari yang lebih kecil dari debu,
di telapak tangannya
lalu kita telah menjadi yang paling panik dan renik
yang akan remuk dalam lengan-lengan lengangnya
memang kita belum mati,
hanya lebih tersiksa dari hidup
dan tersiksa mengharap tidak hidup
5. Kitab-Kitab Penyesat
memiliki warna-warni lembut dan sejuk
seperti bayang-bayang yang menghalau kemarau
dan orang terhindar dari terbunuh dahaga
kita memasuki halaman-halaman
dan mengetuk pintu-pintu mereka
bermimpi tidur di pelukan kata-kata
dan kalimat mereka—yang rupanya
muslihat
apa? dengan sakit kita mendatangi apotik
yang menjual rupa-rupa racun
o, kita sendiri yang mengetuk
untuk masuk mengambil kutuk!
6. Rimba Suara
kita dulu memang mencintai tumbuh-tumbuhan
nenek moyang kita paling petani. rahim subur
yang melahirkan kita ialah tanah-tanah gembur
namun apa yang ingin kita buat hijau kini?
lalu muncullah mereka, suara-suara itu,
yang mula-mula sembunyi di mulut kita sendiri
yang malu-malu menyebut diri kawan
tapi enggan pula menyebut diri lawan
kita tidak sedang membangun surga dengan rimba
lalu ada buah-buahan yang menyelamatkan
dan mengirimkan kita ke bumi yang kosong
dan kita mulai bisa menggarap hidup
rupanya kita menimbun diri sendiri di rimbun
suara-suara yang hutan itu—yang kuat
melampaui daya hantu tuhan-tuhan
7. Bayangan-Bayangan Kita
bukan bayangan yang hitam tanpa cahaya mata
bukan makhluk yang mati tanpa kita
mereka sekawanan yang menyerupai kita
dengan pikiran yang membolak-balik
pengetahuan kita
kita berpikir telah melahirkan mereka,
mereka berpikir kita anak-anak durhaka
yang meminta hukuman
medan perang adalah cermin
namun mereka lebih gesit bergerak
dan kita mengikutinya—kita menampar
wajah kita ketika mereka menampar wajah kita
kita menangisi diri kita
ketika mereka menertawai kita
8. Hari Pertimbangan
dia, yang menamai diri hari pertimbangan,
mengumpulkan kita dan mengundang
tebing itu, kunang-kunang itu, airmata itu,
jalan-jalan itu, kitab-kitab itu, hutan-hutan itu,
bayangan-bayangan itu
dia menyuguhi kita pertunjukan dan pesta
yang mengandung rasa penasaran
dia membiarkan kita mabuk dan bicara
memperkenalkan diri sebagai tokoh utama—
satu-satunya tokoh yang paling berdaya,
yang paling dianiaya
dia dan tamu-tamunya menertawai dan menghadiahi
kita senjata-senjata dan pilihan untuk bunuh diri
atau meninggalkan cerita ini dengan mengaku
kalah
dan kita melakukan kedua-duanya
1. Kunang-kunang Merah
yang hidup dari menghirup dendam kuku-kuku
orang-orang raib, penunggang aib atau penanggung alasan gaib—
kuku orang-orang yang pernah kita desak masuk
dan bertumpuk di lubang-lubang kubur sempit
dan kita yang tubuhnya semakin mayat
berharap tumbuh dan bisa mengalahkan nyali
atau mengalihkan nyala mereka menjadi kerlap-kerlip
lampu perayaan di taman kota atau kedap-kedip
genit di sepasang mata kita
tetapi dendam dengan apakah bisa lelap?
mereka memerahkan sekeliling kita yang gelap
dan di dalam tidur, kita menyaksikan warna merekah
jadi darah lalu mencair dari mata hingga ke mati
yang membunuh seorang pahlawan
—cita-cita yang bahkan tak bisa kita kenang
2. Manusia Tebing
yang membawa tebing di tubuh—berbatang-batang tebing.
wajahnya penuh lapisan-lapisan sedih yang maha menipu.
sama sekali tak ada waspada yang mengisi pengetahuan kita
lagi. tiba-tiba kita turut bersedih dan karena itulah mereka
bersedia jatuh ke dalam tebing, seolah mengorbankan diri
dan kita mengapung di permukaan jejak mereka yang mengepung
—di sini
kita berkesedihan, berkesedihan, berkesedihan tidak berkesudahan
terpaksa tersiksa merindukan dan mereka-reka kapan mereka
datang menipu kita sekali dan sekali lagi.
mereka butuh tubuh yang terjatuh ke dalam tebing sendiri
untuk hidup. berkali-kali. kita betah dan tabah menyadari
kesedihan hanya reda oleh kesedihan yang berulang kali.
sepanjang kala.
3. Airmata Mati
yang berjatuhan dan tak bisa kembali ke langit mereka:
airmata yang tiba-tiba mati dan tinggal dalam ingatan
berwaktu-waktu mengasuh dan mengasah diri
menunggu hingga alir airnya menggelombang
dan busa-busanya menggelembung
lalu kelak dengan mudah bisa menelan habis kita
dan kini apa yang mampu dielakkan
oleh kita kecuali kata-kata?
4. Jalan Melempang dan Melengang
tak ada lekuk liku dan yang menyimpang atau turun
dan mendaki yang bisa menyembunyikan kita
—pelangkah-pelangkah takut yang mencari suaka
jalan itu terus melebar ke mana-mana,
dan membawa kita tidak ke mana-mana
selain ke tempat berangkat—selalu ke semula
jalan itu tak menyimpan ujung dan tujuan
kita tersesat di kerataan yang maha lapang
menjadi kecil, lebih kecil dari yang lebih kecil dari debu,
di telapak tangannya
lalu kita telah menjadi yang paling panik dan renik
yang akan remuk dalam lengan-lengan lengangnya
memang kita belum mati,
hanya lebih tersiksa dari hidup
dan tersiksa mengharap tidak hidup
5. Kitab-Kitab Penyesat
memiliki warna-warni lembut dan sejuk
seperti bayang-bayang yang menghalau kemarau
dan orang terhindar dari terbunuh dahaga
kita memasuki halaman-halaman
dan mengetuk pintu-pintu mereka
bermimpi tidur di pelukan kata-kata
dan kalimat mereka—yang rupanya
muslihat
apa? dengan sakit kita mendatangi apotik
yang menjual rupa-rupa racun
o, kita sendiri yang mengetuk
untuk masuk mengambil kutuk!
6. Rimba Suara
kita dulu memang mencintai tumbuh-tumbuhan
nenek moyang kita paling petani. rahim subur
yang melahirkan kita ialah tanah-tanah gembur
namun apa yang ingin kita buat hijau kini?
lalu muncullah mereka, suara-suara itu,
yang mula-mula sembunyi di mulut kita sendiri
yang malu-malu menyebut diri kawan
tapi enggan pula menyebut diri lawan
kita tidak sedang membangun surga dengan rimba
lalu ada buah-buahan yang menyelamatkan
dan mengirimkan kita ke bumi yang kosong
dan kita mulai bisa menggarap hidup
rupanya kita menimbun diri sendiri di rimbun
suara-suara yang hutan itu—yang kuat
melampaui daya hantu tuhan-tuhan
7. Bayangan-Bayangan Kita
bukan bayangan yang hitam tanpa cahaya mata
bukan makhluk yang mati tanpa kita
mereka sekawanan yang menyerupai kita
dengan pikiran yang membolak-balik
pengetahuan kita
kita berpikir telah melahirkan mereka,
mereka berpikir kita anak-anak durhaka
yang meminta hukuman
medan perang adalah cermin
namun mereka lebih gesit bergerak
dan kita mengikutinya—kita menampar
wajah kita ketika mereka menampar wajah kita
kita menangisi diri kita
ketika mereka menertawai kita
8. Hari Pertimbangan
dia, yang menamai diri hari pertimbangan,
mengumpulkan kita dan mengundang
tebing itu, kunang-kunang itu, airmata itu,
jalan-jalan itu, kitab-kitab itu, hutan-hutan itu,
bayangan-bayangan itu
dia menyuguhi kita pertunjukan dan pesta
yang mengandung rasa penasaran
dia membiarkan kita mabuk dan bicara
memperkenalkan diri sebagai tokoh utama—
satu-satunya tokoh yang paling berdaya,
yang paling dianiaya
dia dan tamu-tamunya menertawai dan menghadiahi
kita senjata-senjata dan pilihan untuk bunuh diri
atau meninggalkan cerita ini dengan mengaku
kalah
dan kita melakukan kedua-duanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar