9 Februari 2014

Menyeduh Kopi di Kepala

Cerpen Fina Lanahdiana

 
Pixabay - S. Hermann dan F. Ritcher

Wajahnya, wajah wanita itu, selalu hadir lebih pagi daripada bunyi jam weker yang selalu bising dan membuat kepalaku sedikit pening, hingga aku segera beranjak dari tempat tidurku.

“Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”

Begitulah yang kurasakan setiap pagi tepat setelah aku bangun dari jam tidur yang tak pernah genap. Ah, tidak. Bahkan itu hanya bagian dari halusinasi seperti yang orang-orang katakan pada diriku.

“Kau gila, Roney!” Begitulah mereka sering mengumpatku.

Aku sering melihat mereka saling mendekatkan mulut ke telinga satu sama lain saat mereka tengah bersantai di salah satu meja pada sebuah kafĂ© yang aku ada di dalamnya untuk sekedar menghangatkan diri dengan secangkir kopi atau sekedar berbincang-bincang—setiap pagi. Ya, tentu saja mereka mengenalku. Karena sebagian dari mereka adalah teman lama yang sering mengejekku saat aku masih duduk di bangku sekolah. Bukan karena aku tolol, tapi kupikir karena penampilanku yang saat itu masih cupu dan kutu buku—dengan kacamata tebal, kerah baju yang selalu terkancing, dan…emm, sudahlah. Itu saja sudah cukup, bukan?

“Hati-hati dengan orang itu!”

Mereka sering meneriakiku dengan jari telunjuk yang diarahkan ke wajahku. Ya, aku ingat betul itu. Kau pikir aku panik atau khawatir mengenai apa yang mereka lakukan padaku? Tidak, aku sama sekali tidak merasa keberatan. Dan ketika kuangkat wajahku, kemudian mulai membulatkan sepasang mata dengan kacamata minus yang selalu kusimpan di dalam saku baju, aku melihat kepala mereka yang tiba-tiba tertunduk tanpa kuperintahkan sedikitpun. Mungkin saja mereka merasa malu saat mereka mengetahui keberadaanku yang tengah asik mereka jadikan bahan perbincangan mereka. Entah sebagai lelucon, atau sengaja ingin mengejekku. Atau itu hanya perasaanku saja. Entahlah.

“Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”

Ah, kata-kata itu selalu muncul di kepala, setiap hari setelah aku bangun tidur. Tapi sekali lagi, aku tidak sedang satu atap dengan wanita itu, wanita yang tiba-tiba menyembul dari kepulan asap kopi atau dari cuaca yang mendadak lebih dingin dari hujan bulan Juni*. “Oh, derajat celcius ini bahkan terlampau banyak berhutang pada panas matahari, sayang.” Begitulah yang sering kuucapkan selanjutnya tanpa kau tahu--wanita yang gemar berjalan-jalan di gubuk-gubuk di dadaku--tentang apa yang kusaksikan setiap hari tentangmu, Aleya. Mungkin butuh beberapa waktu lamanya untukku belajar mencintai hal-hal yang kau suka. Seperti berjalan menggunakan tangan, mungkin. Ataupun hal-hal gila yang lain, aku rela. Dan demikian pula aku butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menghilangkan kenangan kita. Atau mungkin hanya kenanganku saja.

***

Beberapa hari belakangan ini aku sering mengingat kenangan kita, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah. Ah, dulu kau masih terlampau acuh tentang urusan cinta. Andai saja kau tahu, bahwa aku tak pernah hanya menganggapmu sekedar teman ngobrol atau sekedar teman bersenang-senang menghabiskan liburan, saat kita benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Saat ada waktu luang begitu, kau akan lebih senang mengajakku bertanding main game di rumahku. Lalu kau akan pulang dengan wajah yang dilipat-lipat, saat kau tahu bahwa kau harus menerima kekalahan dariku. Tapi tidak, sebelum kau pulang aku sering memberimu beberapa bungkus permen dari toples di meja kerja ayahku untuk mengembalikan senyum di bibir merahmu. Aku merasa geli jika harus mengingat hal itu, dan tak urung membuatku tertawa terbahak-bahak.

Namun rupanya kini aku justru harus menyimpan kenangan itu ke dalam koper di kepalaku rapat-rapat. Bahkan mungkin dibutuhkan beberapa kali lilitan borgol agar aku tidak kembali membukanya. Ah, bagaimana tidak jika aku masih mengahafal kalimat saat kau menemuiku beberapa waktu yang lalu, “Perkenalkan, Roney. Dia Leonel, kekasihku. Sebagai teman dekatku, kau tentu harus juga mengenalnya.”

Kau tahu, Aleya saat kau mengatakan kalimat itu dengan segenap kejujuranmu padaku mengenai lelaki yang menjadi kekasihmu itu, kepalaku mendadak panas dan benar-benar ingin meledak. Melebihi ledakan bom di Hiroshima, mungkin. Betapa dada ini mendebum terlampau keras, ingin sekali rasanya berteriak sekuat-kuatnya. Semata-mata agar kau tahu, Aleya. Betapa aku menunggu apa yang kau katakan tentang Leonel kekasihmu itu. Ya, tentu saja aku ingin menjadi kekasihmu, Aleya.

Aleya, betapa aku harus merelakan diriku pada kutipan omong kosong, “Cinta tak harus memiliki”. Aku benar-benar merasa bodoh sekaligus gila jika harus mempercayainya. Namun demikianlah adanya, aku memang harus mempercayainya. Sudah pasti sesal itu ada, kenapa dulu aku tak berterus terang kepadamu tentang segala perasaanku padamu meskipun pahit yang harus kuterima?. Dan kenapa kau harus bertemu Leonel? Bukankah kita telah sama-sama saling mengenal sebelum Leonel mengenalmu? Ah, memang tak ada gunanya aku menyalahkan sesal yang selalu datang belakangan. Namun aku benar-benar menyesal, mungkin kau harus tahu tentang ini.

Tanpa pernah diduga sebelumnya, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Aku berdiri persis di dekat jendela. Kutuliskan namamu pada kaca yang berembun akibat cipratan air hujan—Aleya. Wajahmu yang teduh, senyum yang mengembang dengan lesung di pipi yang begitu manis, serta perwatakanmu yang selalu ceria. Ah, betapa kau memang sangat susah untuk dihapus begitu saja. Aku bahkan tak mengerti, meski bagaimana lagi untuk bisa melupakanmu. Entah, apakah kemudian aku mampu membuka hati untuk wanita lain, atau aku akan terus mempertahankan rasa ini padamu. Namun rasanya sangat gila, bukan? Perlahan mataku mulai basah oleh genang air mata. Lagi-lagi aku menyesali perasaan ini. Aku menyesal mengenalmu? Rasanya tidak. Aku hanya menyesal kenapa mesti mencintaimu. Tapi jangan kau pikir aku lelaki yang lemah. Yang kualami ini bisa saja menimpa siapapun. Kau dengar? Siapapun. Termasuk juga lelaki sepertiku.

Perlahan kubuka lilitan borgol koper yang tersimpan rapi di kepalaku. Kukatakan, aku memang rindu! Betapa aku sangat kaget saat itu, satu per satu isi di dalamnya mengeluarkan diri dengan sendirinya, tanpa kuperintahkan sedikitpun. Lembaran album, buku harian, bermacam bungkusan kado, serta berbagai perangkat lainnya. Lalu mereka berjalan di depanku, mengelilingi tubuhku, menari-nari dengan indahnya, dan membawaku pada kenangan kesekian. Ah, lagi-lagi bersamamu, Aleya. Butuh beberapa waktu untuk mengingat semuanya. Namun tiba-tiba aku terbangun. Semua isi dari dalam koper itu terburai, lalu menghilang begitu saja. Ini masih pukul 02.35 dini hari, di kamarku yang kurancang sedemikian rupa agar aku merasa nyaman berada di dalamnya. Mengingat beberapa waktu belakangan ini aku sering merasa asing di dalam rumahku sendiri. Kata mereka yang sering menganggapku gila itu, aku sering melamun sendiri, berjalan sendiri, bercakap, tertawa, bakan menangis sendiri. Ya, itu benar. Namun itu kulakukan semata-mata agar aku mampu mengenal diriku yang dulu, setelah diriku terlalu banyak dimasuki wanita itu. Maka aku memang sedang ingin sendiri.

Di luar sana masih hujan. Aku sendirian di rumahku sendiri. Kau pasti bertanya di mana keluargaku, kakak, atau mungkin saja adikku? Baiklah, mereka baik-baik saja di rumah mereka sendiri. Kau berpikir aku egois karena membiarkan mereka tetap menempati rumah mereka sendiri? Kau salah, aku sudah membujuk mereka untuk ikut serta bersamaku. Menempati rumah yang kini kutempati sendiri ini. Namun rupanya mereka tak mudah dibujuk begitu saja, dengan alasan mereka tak mau merepotkanku. Kau dengar, mereka sangat peduli padaku. Oke, itu tak masalah. Aku tetap menyempatkan waktu untuk mengunjungi mereka, karena memang tak ada yang lebih menyenangkan daripada berkumpul bersama keluarga.

***

Someone Like You berulangkali mengalun dengan lembut. Lagu itu memang yang semestinya aku putar berulang kali dengan jarak yang tak terpaut jauh dari gendang telingaku. Memasangnya di ponsel saat ada yang tiba-tiba menelepon, mengatur sebagai nada alarm, atau mungkin sekedar lagu yang kustel saat aku tengah merampungkan pekerjaanku. Dengan begitu hatiku akan kembali menempatkan diri ke tempat yang semestinya.

Aku melihatmu, Aleya. Emm, bukan. Maksudku, aku melihat seseorang yang hampir sama sepertimu. Cara dia berjalan, senyum, makan, dan berbicara sangat mirip denganmu. Bahkan kalau aku tak salah ingat, dia begitu hafal makanan kesukaanku, jam tidurku, jam kerjaku, kebiasaanku setiap pagi, bahkan dia tahu betul tentang sesuatu yang belum pernah kutahu sebelumnya. Nanti kau pasti akan kaget bila kuceritakan siapa orang itu, orang yang mirip denganmu. Nanti dulu, hampir setiap hari ia menemaniku, kemanapun. Namun aku tak yakin kau kan menyukainya, bukan karena kau tak suka ada yang menyamaimu, tapi karena ternyata dia adalah kau yang kuciptakan dari diriku sendiri, lalu setiap pagi aku akan lebih gemar mengatakan pada diriku sendiri “Sudahkah kau mengisi lambungmu dengan secangkir kopi, sayang?”.

*Judul puisi Sapardi Djoko Damono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar