9 Februari 2014

Monster

 
 
Unsplash - Tomasz Sroka

Aku melihat monster yang bergerak-gerak di matanya. Suaranya pecah di udara serupa irama yang gagal menemu nada. Nyaris saja mulutnya menerkamku mentah-mentah. Terkadang aku heran, lalu berpikir mahluk apa ia hingga begitu berani membuka mulutnya lebar-lebar dengan deretan gigi yang sewaktu-waktu bisa saja memotong lidahnya sendiri.

Sudah berulang kali ia melakukan itu, bahkan sejak pertama kali aku datang menemuinya. Penampilannya aneh, rambutnya dibiarkan awut-awutan dengan pakaian yang tidak terlalu rapi.

Aku tak berani bicara banyak, meski ia kerap sekali memukul dadaku dengan suaranya yang melengking. Jika sudah begitu, aku tiba-tiba saja berubah menjadi sangat pendek. Bahkan mungkin lebih pendek dari batas mata kaki. Aku ingin berlari untuk menghindari matanya, juga suaranya. Tapi nyatanya tak bisa, aku masih saja mesti berada di dekatnya, bersamanya.

Ia kerap membuat lelucon garing yang sama sekali tak bisa menjadikanku kembali ke ukuran normal.
Ia pernah mengalami kecelakaan, kepalanya bocor dan mungkin itu yang membuatnya gila. Itu menurutku saja. Ia begitu manis menceritakan kebaikan-kebaikannya. Setiap pagi, saat aku datang aku dipaksa untuk mencium tangannya. Ah, sungguh ini bukan ide yang baik.

Aku membenci matanya yang seperti mata kucing yang menemukan mangsa. Aku membenci mulut manisnya yang begitu lihai meramu cerita. Aku membenci suaranya yang seperti lolongan anjing liar. Kau percaya tidak? Orang-orang di sekitarnya bahkan sangat setia menjadi pendengarnya. Memang itu bukan masalahku, tapi sungguh aku merasa sangat terganggu. Kalau saja aku punya suara yang melebihi suaranya aku tidak akan segan untuk menyumpal mulutnya rapat-rapat, lalu membuat matanya terbakar sehingga tak akan ada lagi monster yang bergerak-gerak di matanya.

***

Malam ini aku tak bisa tidur, Aku marah! Aku muak! Aku menemui salah seorang sahabatku.

“Apakah menurutmu aku sudah gila?”

“Tidak, kau hanya sedang berada di titik yang lebih rendah.Tapi baiknya tak usah kau hiraukan.”

“Membiarkan telingaku pura-pura tidak mendengarnya?”

“Ya,”

“Lalu?”

“Hanya itu.”

***

Ia adalah penjaga buku dan kesunyian. Namun ia sama sekali tak sunyi! Aku mencari-cari di mana sunyi berada, namun tak ada. Turun-naik, keluar-masuk ruangan aku habiskan dengan begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Aku mencari sunyi.

Aku duduk di sebuah ruang yang senyap; di pojok ruangan, dengan beberapa gelintir manusia di dalamnya. Aku menemui buku-buku yang berdiri tegak pada masing-masing barisannya. Tidak begitu rapi. Aku memandangnya, kemudian memaksa tanganku untuk meraihnya. Satu buku, dua buku ... kurasa cukup. Aku menemukan buku-buku, tapi aku belum bisa menemukan sunyi. Aku masih mancarinya.

Seseorang menghampiriku, seorang lelaki muda. Usianya delapan belas tahun. Aku tak bisa membantah, sunyi memang tak perlu dicari. Aku hanya butuh sesuatu yang bisa mengembalikan ukuran tubuhku seperti semula. Ia begitu bersemangat. Aku sedikit melengkungkan bibirku di hadapannya. Ia tak berkata apa-apa. Aku berdiri, kemudian duduk di sebuah kursi. Kami saling berhadapan. Ia memulai percakapan. Mungkin ini yang mestinya aku cari, bukan sunyi. Sunyi hanya diam yang beraturan.

Kembali lagi suara yang menakutkan itu kudengar. Matanya menyala penuh api.

“Ha ha ha ...”

Aku ketakutan. Berjalan mendekatinya, lalu diam. Aku tak berani memandang matanya, aku takut jika ...

Satu buku, dua buku ... aku menyelesaikannya. Ia sedang bisa menjaga mata dan suaranya. Aku mulai tenang. Kini ukuran tubuhku masih pendek, tapi hampir sepertiga dari ukuran semula. Pekerjaanku hampir beres.

***

Keesokan harinya aku datang menemuinya. Ia sedang duduk dengan gaya dimanis-maniskan. Kembali aku dipaksa untuk mencium tangannya. Ia masih diam untuk beberapa menit, lalu ia memulai ceritanya. Seperti biasa aku hanya berlagak menganggukkan kepala. Maka ia tak akan memanjangkan suaranya. Tubuhku sudah kembali seperti semula. Aku berharap ia tak lagi membuat tubuhku kecil dan pendek lagi seukuran batas mata kaki. Karena itu akan membuatku ingin sekali meninju mulutnya yang jarum itu.

Terkadang hari berjalan begitu mulus tanpa suaranya yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Ah, aku begitu muak jika mengingat apapun tentangnya.

Di jam istirahat, aku tak lagi memikirkan sunyi. Ia datang sendiri. Aku pun bercakap dengan diriku sendiri, tersenyum sendiri, dan tertawa sendiri. Aku sudah gila? Tidak. Aku tidak pernah merasa seperti itu. Aku baik-baik saja. Aku senang tidak ada yang menggangguku lagi. Aku telah membunuhnya, monster yang ada di matanya. Sebab aku khawatir suatu saat ia kembali menggangguku, membuat tubuhku menjadi kerdil, dan juga kehilangan suaraku. Aku tak mau lagi dipaksa mencium tangannya. Dan sekarang monster yang bergerak-gerak di matanya berpindah ke mataku. Aku mengikuti semua keinginannya.

2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar