selepas pertunjukan, ia mendandani diri
dengan ingatan lagu-lagu di sebuah ponsel
berharap kepalanya lekas membawa kardus-kardus di tangan
berisi kelingking yang gagal saling memeluk jam dinding
usai pagi dilipat matahari
kertas-kertas remuk dilahap kaca mata baca
yang lebih besar dari tebal cahaya
huruf-huruf jatuh di
atas meja
kursi-kursi diam, tidak meminjam suara siapa pun
sebab tak ada yang lebih penting berperan
sebagai riuh panggung yang dipenuhi memar cahaya lampu-lampu
kamera berjalan menandai tanjakan kalimat-kalimat
berubah menjadi getar suara seseorang
hendak belajar cara membenci kebodohan
yang bertahun-tahun ia rawat sebagai masa depan
di sebuah sudut, telinganya berdengung
mengantar kepada bagaimana cara melupakan
tanpa pelajaran bernama air mata
sebab di punggungnya yang keras
kesedihan terus menerus menguras hal-hal indah
Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar