13 Agustus 2015

Pendakian Kupu-kupu

 (Suara NTB, 1 Agustus 2015)


Sumber: Grup Sastra Minggu

"Apakah kau punya cita-cita?"

"Tentu saja. Pertanyaanmu aneh sekali."

" Kukira tidak. Kadang-kadang kau seperti tidak sedang melakukan upaya apa-apa, tidak seperti orang yang memendam cita-cita di dalam dirinya."

"Apakah aku harus selalu menulis laporan setiap hari kepadamu bahwa aku sedang mati-matian menghidupi diriku dengan upaya-upaya itu?"


"Tidak juga."

"Sudahlah, minum dulu kopimu. Sudah pukul 01.15."

"Memangnya kenapa?"

"Dingin sekali. Mungkin kita bisa segera masuk ke dalam tenda dan membenamkan tubuh kita dalam kantung tidur yang serupa kepompong itu."

"Hei, kau mengingatkanku pada sebuah iklan di televisi.

Benarkah?"

" Ya. Sebuah iklan permen. Diperankan oleh seorang pemuda yang memiliki kebiasaan mengantuk ketika berada pada sebuah kendaraan, semisal kereta atau bus. Aku tidak terlalu ingat."

" Lalu?"

"Pemuda itu merasa mesti menciptakan cara agar dia bisa tidur dengan tenang tanpa mesti diganggu orang-orang. Dan di dalam iklan itu dia mendapatkan ide untuk membuat kantung tidur setelah mengonsumsi permen. Dan yang aku suka, kantung tidur itu menggantung di langit-langit bus--atau mungkin kereta--seolah kepompong yang sedang menggantungkan nasib pada semesta di mana kelak di tubuhnya akan tumbuh sepasang sayap anggun dengan warna menyerupai pelangi, kadang-kadang dengan sedikit motif titik atau garis hitam putih atau bercak-bercak tidak teratur."

"Soal permen yang mendatangkan ide itu cuma omong kosong. Kau tetap bisa mendapatkan ide apa pun tanpa mesti menjadi korban pembodohan iklan. Baik, kita lupakan saja soal iklan yang konyol itu. Dan soal kupu-kupu yang berwarna pelangi itu, barangkali sudah tidak ada. Mereka sudah punah, dan yang tersisa hanyalah spesies kupu-kupu berwarna gelap. Mungkin kau bisa menemukan kupu-kupu dengan warna cerah di dalam museum atau tempat penangkaran kupu-kupu. Tapi di antara mereka jarang sekali yang masih hidup."

"Maksudmu?"

"Ya. Kupu-kupu itu serupa patung yang berjajar di dalam kotak-kotak kaca dengan label menempel di permukaannya. Label-label itu biasanya berisi keterangan jenis spesies dan nama ilmiah yang kadang-kadang kepalaku susah sekali menghafal."

"Tidak heran. Kau kan memang pelupa. Dan kau paling suka kupu-kupu jenis apa?"

"Blue Morpho, memiliki lebar sayap hingga 8 inchi, jenis ini bisa ditemukan di daerah Amerika Tengah dan Selatan serta di Meksiko. Kau juga pasti akan langsung jatuh cinta. Seluruh permukaan sayapnya memiliki warna dasar biru metalik. Cantik seperti sayap peri."

"Benarkah? Aku ingin sekali melihatnya."

"Dan mungkin sepertimu juga ..."

"Kau tidak pernah bercerita bahwa kau pernah bertemu dengan peri. Hei, apa kau bilang? Sepertiku?"

"Aku melihatnya di buku-buku dongeng bergambar dan film-film. Aku beruntung punya ayah yang pernah menjadi seorang sutradara dan ibu seorang penjaga perpustakaan, kurasa."

"Dan kau memilih menjadi seorang fotografer."

"Aku menyukainya persis ketika kau menggilai biola, gitar, piano, dan ..."

"Segala jenis musik, termasuk suara hujan."

"Ya, ya, ya. Baiklah. Kau belum ingin tidur?"

"Tidakkah kau ingin melanjutkan cerita kupu-kupu?"

"Sudah terlalu larut. Kasihan mata dan tubuhmu yang sudah melakukan pendakian yang melelahkan."

"Bintang itu terlalu indah untuk dilupakan. Tidur?. Mana mungkin aku ingin menyia-nyiakan kesempatan indah ini. Aku ingin memotretnya. Bolehkah aku meminjam kameramu? Atau kalau tidak, potretkan bintang-bintang itu untukku. Dan kau lupa bahwa kita tidak melakukan pendakian. Dan tubuhku baik-baik saja. Mungkin kau yang sudah lelah."

"Dona ..."

"Ya."

"Minumlah kopimu, lalu kita masuk ke tenda. Merapatkan tubuh pada kantung tidur yang katamu menyerupai kepompong yang menggantung itu. Hanya saja saat ini kantung tidur kita tidak butuh digantung. Mungkin lebih menyerupai ulat."

"Pergilah. Aku menyusul. Lagi pula kopi ini sudah dingin. Mungkin aku perlu sekali lagi menjerang air."

"Tidak perlu. Aku telah mengisi penuh termos kita dengan air panas. Mungkin kau hanya perlu menyeduhnya sekali lagi."

"Ah, sama saja."


***

"Kau tidak tidur? Matamu sudah begitu merah."

"Tidak tanpamu."

"Hmm."

"Embun sudah turun. Rumput-rumput itu bagai habis disiram air oleh seorang tukang kebun yang rajin. Dan tentu saja tenda kita tidak cukup hangat untuk tempat kita beristirahat."

"Dan aku akan tetap di sini. Lagi pula sisa api unggun ini masih cukup menghangatkan."

"Kau butuh tidur."

"Tidak untuk saat ini."

"Aku ...,"

"Kapan kau berangkat ke Moskow?"

"Entahlah. Mungkin tidak dalam waktu dekat. Kau mau aku membawa sesuatu?"

"Tidak ... Ah, mungkin saja ya. Kupikirkan dulu."

"Itu lebih baik."

"Ehm, mungkin bisa kau bawakan aku dua set Matryoshka?"

"Dua?"

"Satu untukku, dan satu untukmu."

"Ide yang bagus. Sekarang tidurlah."

"Berapa kali mesti kukatakan bahwa aku tidak ingin tidur? Kau bahkan sudah tahu, dua gelas kopi tandas di lidahku. Terima kasih kau tidak melarangku minum kopi seperti hari-hari yang lalu."

"Tentu saja. Itu bukan hal yang sulit, 'kan?"

"Meskipun aku tidak yakin kau benar-benar mengizinkan."

"Tentu saja aku mengizinkan ..."

"Tidak jika ..."

"Sudahlah, kita bahas hal lain saja."

"Baiklah. Apakah menurutmu aku seseorang yang sempurna?"

"Tentu saja. Bukankah sebelum ini aku sudah bilang bahwa kau serupa peri?"

"Aku tidak punya sepasang sayap. Apalagi yang berwarna indah seperti blue mor ... mor ... ehm ..."

"Blue Morpho."

"Benar. Itu maksudku."

"Kau gadis yang manis. Kau begitu sempurna di hadapanku. Kau punya pesona aura positif yang melingkupi tubuhmu. Kau telah lahir dari macam-macam keadaan sesak dan mendesak seperti halnya kupu-kupu yang berasal dari ulat, kempompong—yang hanya bisa diam menggantung pada ranting-ranting pohon, namun di dalam dirinya tumbuh macam-macam mesin bergerak yang kelak membuatnya menjadi hidup, karena diam tidak berarti mati—lalu menjadi seekor kupu-kupu."

"Sok tahu."

"Aku sungguh-sungguh."

"Tidak jika aku ada di belakangmu?"

"Bukan seperti itu maksudku."

"Kau lucu sekali. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mempercayai segala ucapanmu."

"Apakah sebelumnya tidak begitu?"

"Biar kupikirkan."

"Dasar kau seorang pemikir. Kenapa tidak tertarik menjadi seorang filsuf?"

"Tidak. Aku lebih suka menikmati pikiran-pikiranku sendiri. Anggap saja sebagai upaya untuk merenung, upaya untuk melakukan hal-hal yang membuatku tidak ingin berhenti menyelam pada sebuah kedalaman. Dan kadang-kadang aku menyulapnya menjadi bait-bait lagu."

"Atau puisi."

"Aku bukan penyair."

"Tapi kau suka puisi. Disebut apakah seseorang yang membuat puisi jika seseorang yang suka menulis disebut penulis?"

"Kupu-kupu."

"Jawabanmu meleset jauh sekali. Kau akan selalu gagal ujian jika selalu seperti itu, dan tidak akan kululuskan jika aku adalah gurumu di sekolah."

"Pukul berapa sekarang?"

"02.26."

"Sebentar lagi bintang-bintang itu akan hilang. Bisakah kau memotretkannya untukku?"

"Akan kulakukan."

"Terima kasih."

"Aku suka bibirmu saat tersenyum seperti itu."

"Apakah senyumku sudah sempurna?"

"Ya. Semakin sempurna dengan lesung di kedua pipimu."

"Aku ingin sekali memeluk dan menciummu."

"Apa? Lihat ini. Bintang-bintang itu kini sudah tertangkap dan berpindah ke dalam lensa mata kamera."

"Bagus."

"Sekarang tidurlah. Jangan lagi berkata tidak."

"Hmm, apa cita-cita terbesarmu?"

"Melihatmu selalu tersenyum. Sekarang tidurlah, jangan lagi berkata tidak."

"Hmm, apa kata dokter tentang perkembangan kesehatanku?"

"Baik."

"Hanya itu?"

"Tidak, maksudku ya."

"Aku melihat rahasia di dalam matamu."

"Rahasia itu tidak ada."

"Karena Tuhan mengetahui segala rahasia? Maksudku, karena Dia mengetahui segala hal?"

"Ya."

"Baiklah, bawa aku ke dalam rumah. Perkemahan sederhana ini cukup membuatku merasakan kenangan masa-masa Pramuka di sekolah—masa sulit dan tidak ingin kulupakan begitu saja, meskipun seandainya kepalaku menghilangkan sebagian dari semesta ingatan yang terekam sepanjang usia--ini terlalu konyol—dan terima kasih untuk cerita kupu-kupu, kopi dan foto bintang-bintang untuk hari ini. Bahagia sekali rasanya."

"Aku senang melakukannya."

"Bolehkah aku memelukmu sekali lagi, Yah?"

"Dengan senang hati."


Semarang, 2014

2 komentar: