Oleh: An Hasibuan dan Fina Lanahdiana
Sumber: Detik.com |
Musim dingin yang rapuh. Seekor anjing berwarna abu-abu pekat mengantarkan Fuku tersesat dalam sebuah kerumitan badai salju di hutan Aokigahara—hutan yang dipercaya orang Jepang sebagai salah satu tempat keramat untuk bunuh diri. Jiro—nama anjing itu—tiba-tiba berlari seolah kuda pacu yang tengah berlaga, menembus labirin demi labirin yang membingungkan sebab segalanya telah berubah menjadi bukit landai berwarna putih. Fuku kehilangan jejak Jiro, sebab napasnya tak cukup kuat untuk bertanding lari dengan seekor anjing.
Malam kian pekat dan dingin seolah hantu yang
mengepung pori-pori kulit tubuhnya. Embusan angin menumpuk butir-butir salju hingga menyerupai puncak kecil di kedua kakinya. Langkahnya memberat serupa dijatuhi beban batu-batu sungai,
sementara ia mesti berjalan menanjak menuju arah entah yang semakin membuat
tulangnya hendak patah jadi sebuah kepayahan.
Ia semakin gusar. Matanya bagai ditunggangi
peri-peri tidur. Tubuhnya yang kian gigil memaksa untuk berhenti berjalan dan
segera menepi, sebab jika sesekali ia berhasil melepaskan kantuk, tubuhnya membentur
batang pohon yang hanya bisa terlihat dalam jarak satu meter dengan kondisi
mata yang segar dengan bantuan penerangan seadanya.
Di bawah sebatang pohon
besar, ia rebah.
Kedua telapak tangan yang dilingkupi kaus tangan ia kibaskan untuk menyingkirkan tiap butir es yang
menempel di
sekujur tubuhnya. Ia menahan diri dengan sepenuh kekuatan
agar tak benar-benar tidur, kecuali ia memilih mati tertimbun badai
salju yang semakin menjadi. Kepalanya terkantuk-kantuk mencium
dengkulnya sendiri, namun ia segera menyadari bahwa dirinya sedang berjuang
dari ancaman yang bernama kematian.
Ia memastikan matanya tak sedang menangkap adegan di
dalam mimpi tidurnya. Samar penglihatannya menangkap sesosok wanita
mengenakan kimono putih. Wajahnya tampak kontras dengan sedikit
bagian tertutup
oleh rambut yang tergerai. Benaknya mulai menduga-duga siapa gerangan wanita
yang tak lazim itu, tak lazim sebab sebagai laki-laki yang semestinya lebih
kuat dibandingkan wanita, ia hampir
merasakan sebuah kehancuran, sementara wanita itu seolah baik-baik saja meski
suhu kulit manusia pada umumya tidak tahan terhadap terpaan salju—sementara ia
tidak memakai baju tebal jenis apapun—yang meresap ke dalam tulang serupa
jarum-jarum kecil yang menyakitkan.
“Siapa?” teriak Fuku.
Wanita itu masih bungkam. Perlahan ia membalikkan
tubuhnya dan bergerak menjauh.
“Tu-tunggu! Oy!”
Fuku bangkit
dari duduknya dengan tergesa, lalu tersungkur akibat sepatu bot yang dipakainya menginjak
lapisan salju yang dalam. Ia berusaha bangkit sepenuh yang ia bisa lakukan. Sementara wanita
itu bergerak semakin menjauh dari tempatnya semula.
“Tunggu!” Ia kembali melepaskan suara. Kau tahu jalan keluar dari
sini? Tolong aku. Aku sedang mencari Jiro, anjingku
yang tiba-tiba berlari seperti sedang dirasuki roh halus, tapi aku tersesat.”
Langkahnya terseok-seok, sementara tangannya serupa hendak menggenggam udara.
Bagai seseorang yang kedua telinganya
terganggu—hingga tidak bisa menangkap suara apapun—wanita itu terus berjalan,
semakin menjauh dari jangkauan Fuku. Kaki wanita itu seperti tak menapak permukaan salju, dan ia
lekas menghilang ditelan dinding putih yang
seolah tanpa batas dan jalan keluar itu.
Badai mengamuk. Suara Fuku tak akan
bisa mencapai telinga wanita berkimono putih lagi. Bibirnya biru pucat
keunguan. Matanya kabur. Napasnya kian sesak, sehingga tubuh kurusnya roboh dan
tertimbun bola-bola salju yang menggelinding dari dataran yang lebih tinggi,
mulai dari ukuran segenggam tangan hingga ukuran yang lebih besar.
***
Matanya mengerjap, mencoba mengingat peristiwa yang
terjadi sebelumnya. Kini ia berada di sebuah tempat yang sangat minim cahaya.
Meski begitu, ia menangkap sosok wanita berkimono putih yang ia lihat
sebelumnya.
"Kau?" Fuku membenarkan posisi duduknya
bersandar pada dinding batu.
Wanita itu membalikkan badan. Bola matanya yang sayu
memberikan kesan ekspresi datar dan sama sekali tidak memberikan tanda-tanda
bahwa ia akan memulai sebuah perbincangan.
"Kau yang membawaku ke mari? Terima kasih."
Suara gemuruh halus dan hembusan kabut putih yang
terlihat di depan matanya menandakan bahwa ia masih belum lepas dari cengkraman
hutan rimba dan berada di antara badai salju.
"Kenapa hanya berdiri di sana? Namaku Fuku.
Kau?" Lanjutnya sambil bangkit dan mendekati wanita itu.
Wanita itu melangkah ke belakang.
Melihatnya demikian, Fuku mengurungkan
niat untuk mendekatinya. Mungkin
sangat tak sopan baginya untuk
melakukan sesuatu yang tak diinginkan wanita berkulit putih pucat itu—yang
bahkan terlalu pucat untuk ukuran manusia. Mungkinkah ia
wanita salju yang biasanya muncul untuk mengerjai para laki-laki? Bila benar,
seharusnya aku sudah mati saat ini. Pikir Fuku.
Bersin yang tiba-tiba menyadarkan Fuku bahwa udara dinngin semakin
menyergapnya. Ia
kembali menjatuhkan diri dan merapatkan kakinya dalam dekapan tangan. Sesekali
ia membuka kaus tangan—lalu mengembuskan napas dari mulut—untuk kemudian ia kenakan
kembali. Ia terlalu menikmati itu hingga hampir melupakan kehadiran wanita
berkimono putih yang masih memperhatikannya.
"Yuna. Namaku Yuna."
***
Tubuh Fuku sangat dekat
dengan tubuh Yuna, mereka duduk sejajar dan berhadapan, di depan tumpukan kayu-kayu kering yang
berantakan—yang direncanakan sebagai bahan menciptakan perapian—untuk menghalau
badan Fuku yang tampak sebagai tubuh seorang laki-laki pesakitan. Yuna mencoba
mengambil pemantik, dan mulutnya tetap tidak mengucapkan banyak kalimat yang
barangkali ia pikir akan sia-sia belaka.
"Sungguh tidak
pernah terpikir olehku …” Kalimat Fuku menggantung. Ragu.
“Aku tahu.”
“A-apa?”
"Kau pasti heran
dengan kedatanganku yang tiba-tiba, di sebuah tempat yang bahkan tidak
memungkinkan seseorang bertahan di dalamnya.”
“Ya. Apa lagi kau
seorang wanita.”
“Sudah kuduga.”
Sebuah rumah—jika
memang layak disebut demikian—yang hanya terbentuk dari tumpukan batu-batu
rapat menyerupai gua, namun lebih sempit dan terbuka—jika malam datang, kau bisa memandang bintang-bintang dengan leluasa sampai kau merasa
bosan—yang dinaungi pohon-pohon pinus persis seperti rumah kemah yang sengaja
dibangun untuk bermain anak-anak sehingga memungkinkan mereka untuk bermain
petak umpet.
Percakapan demi
percakapan berlangsung begitu khidmat. Dingin yang menjalar mulai berganti
dengan kehangatan. Fuku melepas sarung tangan yang membalut kedua telapak
tangannya, lalu menggerak-gerakkannya di atas api kecil yang sudah dibuat Yuna.
“Kau tidak takut hidup
sendirian? Atau kau mempunyai keluarga lain?”
Yuna menggeleng.
"Apakah kau
percaya jika aku ditakdirkan menjadi kekasihmu?”
Seolah tak ingin mempercayai
ucapan Yuna, bibirnya menggumamkan kata ‘mana mungkin begitu’, kemudian ia
tertawa. Tawa yang terdengar kering dan rapuh.
narukami no
sukoshii toyomite
sashi kumori
yuki mo furano ka?
kimi wo matteru?1
"Itu tanka2 tentang hujan. Sedikit
kuubah liriknya agar sesuai dengan nuansa bersalju seperti ini. Haha, kau pasti
tidak tahu jawabannya, kan?”
"Dan aku di sini
memang untuk menunggumu.”
Seperti hal-hal yang
seringkali terjadi pada seorang laki-laki yang disanjung oleh seorang
wanita—apa lagi baru dikenalnya—yang menyatakan cinta lebih dulu, Fuku merasa
takjub sebab jarang sekali wanita yang memiliki keberanian seperti itu.
Barangkali ada, namun sedikit sekali yang mampu mengesampingkan ego dan
perasaan gengsi yang berlebihan. Ia tersipu-sipu dan tiba-tiba merasakan
kekuatan yang dahsyat mengaliri tubuhnya, kekuatan yang meyakinkan bahwa Yuna
adalah wanita yang pantas dijadikan kekasih. Mengingat saat ini pun dirinya
tetap lajang di usia menjelang tiga puluh. Sementara Yuna merasakan kebahagiaan
sebab ia telah mencengkeram mangsa yang datang dengan sendirinya tanpa ia mesti
berpayah-payah.
"Benarkah? Aku
bahkan sulit sekali menemukan wanita yang pantas untuk kujadikan istri.”
"Karena aku
takdirmu yang sesungguhnya.”
Senyum Yuna begitu
memikat perhatian Fuku. Ia benar-benar merasakan kehangatan melebihi kehangatan
yang terpancar dari api-api kecil di atas kayu di hadapannya.
"Maukah kau
menunjukkan jalan keluar untukku dan kita pergi bersama? Ibuku pasti akan
sangat senang, anak laki-lakinya ini akhirnya menemukan seorang wanita cantik
yang memiliki cinta yang tulus.”
“Boleh saja. Tapi …”
“Kenapa?”
"Aku telah
menolongmu di tengah badai salju. Maukah kau menciumku?”
"Ah, itu bukan
sesuatu yang sulit. Aku akan sangat senang melakukannya. Kau semakin
meyakinkanku kalau ucapanmu benar.”
“Ucapan yang mana?”
"Bahwa aku adalah
takdirmu, dan kau adalah takdirku. Kau diciptakan untuk menungguku tersesat ke
dalam rimba salju yang tiada ujung ini.”
“Tapi kau akan mati.” Fuku tercekat.
Ia kembali mengulangi kalimat Yuna dalam kepalanya
yang terasa sesak. Wajahnya sedikit menunduk, matanya tampak sedang menimang
sesuatu.
“Kecuali terjadi sebuah
keajaiban.”
"Aku percaya
keajaiban itu ada. Maka, lakukanlah. Selanjutnya kita akan bahagia selamanya.”
“Tidak.”
"Kenapa? Bukankah
kau mengatakan bahwa aku adalah takdirmu?”
“Aku tidak tahu kapan
keajaiban pernah menyertai hidupku.”
"Ayolah, keajaiban
itu ada. Percayalah.”
Yuna merasakan cinta yang sesungguhnya, datang sebab memang sudah waktunya.
Tapi di sisi lain Fuku adalah mangsanya. Sebuah gejolak berlompatan di dalam
dadanya. Ia tidak pernah membayangkan sebuah perasaan jatuh cinta sebelumnya.
"Cinta adalah
sebuah kerelaan. Maka aku akan melakukannya.”
Keringat membanjiri
sekujur tubuh Fuku. Dingin. Lebih dingin dari apapun. Tiupan napas Yuna yang menyerupai asap putih telah
mengantarkannya pada kebebasan tanpa batas. Tubuhnya meregang sebentar, lalu
tampak sebuah kebahagiaan terpancar dari wajahnya yang semakin mayat. Sebuah kerelaan bernama cinta. Yuna
menjatuhkan tubuh Fuku dan memeluk sekuat-kuatnya.
narukami no
sukoshii toyomite
furazu to mo
warewa tomaramu
imoshi todomeba3
2014
Catatan:
1.
Sambaran
petir yang samar, langit mendung,
mungkin salju datang, bila demikian maukah kau tetap menungguku?
2.
Puisi
Jepang yang terdiri dari lima baris dan mengikuti suatu pola
3.
Sambaran
petir yang samar, bahkan bila salju tidak datang, aku akan tetap di sini
bersama denganmu.
4.
Puisi
(kutipan 1 dan 3) diambil dari Anime Kotonoha no Niwa dengan sedikit
perubahan.
Bisa juga dibaca di sini
Bisa juga dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar