Gambar: Google |
Data Buku:
Judul: Cala Ibi
Penulis: Nukila Amal
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tebal: 277 Halaman
Cetakan: Cover baru,
April 2015
ISBN:
978-602-03-1418-1
Persoalan
gila, atau siapa yang biasa-biasa saja, bukan menjadi urusan kita. Tapi saya
merasa perlu menempuh pelajaran itu untuk tahu kedalaman manusia. Hal-hal yang
terjadi dengan Maia seringkali di luar kendali akal sehat manusia. Belum
apa-apa, novel ini sudah dibuka dengan sesuatu yang menarik:
Lalu
bapakmu akan berkata, bintang tak pernah secantik tampaknya, tak sedekat yang
kita duga. Ia cuma penghias panas malam para pemimpi.
Tapi
aku mau terbang. Aku mau menyentuh bintang. Jika ujung jariku melepuh, akan
kubelah lima. Dan pulang dengan sepasang tangan berjari lima puluh.
Keindahan. Barangkali itu yang dapat saya tangkap dari
keinginan terdalam penulis dalam caranya menyampaikan gagasan. Kalimat-kalimat
mengalir seperti sungai. Sungai yang dipenuhi kata-kata menuju muara bernama
keindahan. Namun demikian, bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan
kalimat-kalimat indah, puitis, dan tampak rumit—memang kalimat-kalimat itu
menyerupai puisi yang panjang—akan merasa sedikit kelelahan dalam menyelami
rangkaian demi rangkaian susunan kalimatnya. Namun demikian, mampu membebaskan
imajinasi dengan gerak yang seliar-liarnya.
Pada dasarnya, sebuah karya ada terkadang tidak harus untuk
dimengerti. Cerita bermula ketika Ibu Maya bermimpi, Maya memakan bunga dan
tubuhnya dipenuhi tato berwarna hijau-biru. Tubuhnya dipenuhi gambar batu,awan,
pohon, burung seperti lanskap dunia baru yang hidup di permukaan kulitnya.
Keganjilan yang terjadi pada Maya, yang entah bagaimana
mulanya berubah manjadi Maia di dalam sebuah perjalanan panjang bernama mimpi,
Maia bertemu dengan seekor naga. Naga yang diberi nama Cala Ibi. Naga itu
semula adalah sebuah boneka yang diberikan oleh Laila untuk menghiburnya ketika
bersedih. Dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba boneka naga itu menjelma
seekor naga yang sebenar-benarnya naga. Kelak naga itu yang akan membawanya
terbang menuju tempat demi tempat yang juga ganjil. Bahkan pada suatu bagian,
ketika ia terbang dengan menunggang punggung naga dan segala yang di bawah
tampak seolah datar, ia terjatuh. Bukan ke bawah, tetapi ke atas.
Jika dimisalkan bahwa cerita di
dalam novel ini adalah sebuah kereta, ia berjalan tidak pada lajur rel yang
telah tersedia, dan hal itu merupakan sebuah kesengajaan. Kesengajaan yang
diciptakan untuk sebuah pemahaman lain, dari sudut pandang yang tidak biasa.
Adegan demi adegan bergantian antara yang mustahil dan yang nyata, tanpa batas
yang berarti, bahkan jika dicermati, di dalam novel ini jarang sekali
membubuhkan tanda petik pada setiap percakapannya, baik percakapan langsung
atau pun tidak langsung.
Pada mimpi yang lain, naga mewujud
seorang pria. Kemudian muncul laki-laki abu-abu bernama Ujung, dan perempuan merah
yang dipenjara bernama Tepi. Pencarian tidak berhenti, hingga akhirnya hutan
menyeret kaki mereka pada belantara yang dipenuhi kata-kata—hutan
kata-kata—yang kelak membawa pada pertanyaan: akhir ataukah justru awal
(permulaan).
Benda-benda hidup, menghidupi
dirinya sendiri, menyebutkan makna masing-masing melalui kalimat seperti puisi.
Seolah sedang berkata pada dirinya sendiri, padahal tidak. Mereka tengah
berbicara kepada Maia. Memperkenalkan diri seolah kamus istilah kata-kata sulit
yang penting untuk dipelajari untuk melindungi diri sendiri dari kesedihan yang
tak berkesudahan.
Pada
mulanya adalah Alif, awal semua huruf, sebuah garis lurus sederhana, yang lalu
memecah jadi huruf, kata, kalimat, cerita,. Huruf hidup pengakhir huruf mati
dalam namaku. Namaku atau namanya. Bagaimana kutahu, mana yang lebih nyata: aku
atau ia, mimpi atau kenyataan. Aku merasa tak perlu mempersoalkannya (hlm.
257).
Kenangan buruk masa lalu dialami Maya, konflik Maluku pada Juni 1999, dua kampung bertetangga di Halmahera berebut
sebuah tambang emas. Peristiwa yang hampir merenggut keluarganya, ia dan
kakaknya berpindah, sementara bapaknya tidak. Juga luka lain persoalan
kegagalan cerita cintanya, ia gagal menikah dengan lelaki yang sudah
bertunangan dengannya. Antara peristiwa, luka, mimpi (dan karakternya yang
menyukai dongeng tak masuk akal), dan pencarian yang saling berhubungan, seolah
mimpi itu ada sebab luka yang dimilikinya.
Sejak mula Nukila Amal telah memikat pembaca (saya) dengan
kalimat-kalimat yang mengagumkan. Kata demi kata yang tumpang tindih, meskipun
seandainya pada aturan penulisan kalimat yang sesuai aturan EyD bisa dikatakan
tidak ada hubungan, yang namanya kalimat (seolah)—atau memang benar—puisi, ia
akan tetap mengalir sebagai puisi. Dan itu menyenangkan. Seolah membuat saya
tenggelam di lautan kata-kata yang dipenuhi banyak warna dan gambar-gambar
hidup yang kadang-kadang berjalan tanpa perlu dipahami.
Menurutmu
pembaca mengerti? Ujung berkata pada Cala Ibi. Cala mengangkat bahu. Aku
menerangkan untuk Maia. Bukan untuk mereka, biarkan saja mereka dengan tafsiran
dan dugaan (hlm. 236).
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus