29 Januari 2021

Kuna


Pexels - Steve Johnson

 

Tidak seorang pun mengetahui bagaimana mulanya, hari itu Limia bercerita dengan menggebu-gebu bahwa ia kehilangan seekor entok miliknya. Entok yang tiga hari sebelumnya tuntas ia bayar seharga seratus lima puluh ribu rupiah dari Mun, tetangganya.

“Entok-entok milikku tentu kau tahu sudah lumayan banyak. Tapi milikmu, barangkali akan bagus dijadikan bibit unggul sebab ukurannya yang demikian besar dan terlihat tidak serupa entok pada umumnya.”

Pada mulanya ia tak berniat untuk membeli, begitu pula unggas itu tidak berniat untuk dijual pemiliknya.

“Kau boleh membawanya, Yu. Tak perlu membayar.”

Tetapi entah mengapa, tiba-tiba terbesit dalam pikirannya untuk membeli unggas itu. Untuk jaga-jaga. Dan benar saja, entah barangkali kebetulan atau memang nasib tergantung pada apa yang dipikirkan, unggas gemuk itu benar-benar hilang. Langkah pertama yang Limia lakukan tentu saja pergi ke rumah Mun untuk bertanya apakah entok yang telah sah menjadi miliknya itu kembali kepada pemilik sebelumnya.

“Aku tak melihatnya. Jika memang entok itu kembali ke rumahku, aku akan segera memberitahukanmu secepat yang aku bisa.”

Tentu saja entok itu tak ada. Di mana pun. Tidak di rumah Mun atau pun Limia. Binatang itu seolah raib begitu saja tanpa meninggalkan tanda-tanda.

Satu hal yang Limia sesali tentu saja karena ia telanjur membayar entok dengan harga yang cukup mahal.

Rupanya kabar kehilangan entok tidak cukup menjadi satu-satunya sumber kehilangan. Tiba-tiba saja cerita demi cerita mengalir dari mulut orang-orang bahwa mereka kehilangan uang. Jumlahnya bisa jutaan. Pada mulanya peristiwa itu membuat mereka berpikir bahwa mungkin saja ada tuyul yang berkeliaran di desanya. Tetapi entok? Tidak cukup masuk akal. 

***

Orang-orang di desa Ngampel telah sepakat untuk mengadakan syukuran dengan cara masak-memasak untuk kemudian dinikmati bersama-sama. Lurah Edo telah merelakan sebagian uangnya untuk pembiayaan syukuran dalam rangka HUT RI ke-74 itu. Sebuah pesta kecil yang mau tidak mau mengingatkan Limia pada seekor entok yang hilang miliknya.

“Apakah kau berpikir bahwa mungkin saja uang yang diberikan Lurah Edo masih kurang?”

“Apa maksudmu?”

“Barangkali saja seseorang mengambil entokku untuk dipotong karena dana logistik syukuran yang masih kurang,” ujar Limia dengan suara kecil, hampir menyerupai angin yang mendesis.

“Jangan sembarangan, ah!”

“Sttt, jangan keras-keras.”

“Kau kan tahu kita memasak di halaman dan tak seorang pun terlihat memotong atau memasak entok.”

“Ya, siapa yang tahu kan. Barangkali …”

“Sudah ah. Jangan berpikir macam-macam. Kemarin tuyul, sekarang kau pikir ada seorang maling yang memotong entokmu diam-diam untuk dijadikan santapan syukuran tujuh belasan.”

Sesungguhnya Limia tidak bermaksud menuduh siapa pun. Ia hanya menduga-duga untuk mencari akar permasalahan kehilangan demi kehilangan yang menimpa desa Ngampel. Tentu saja tidak ada lebih banyak hal lagi yang bisa dilakukannya selain hanya menduga-duga. Limia menghela napas dan memutuskan untuk tidak lagi banyak bicara.

“Sudahlah, Yu. Jika pun entok itu masih rezekimu ia akan kembali padamu. Mungkin saja ia tengah bosan dan memutuskan untuk pergi jalan-jalan sejenak. Sama seperti kita ketika bosan dengan rutinitas pekerjaan yang tidak ada habisnya, kan?”

“Ya. Kau benar. Mungkin saja.”

Kepala Limia tak berhenti untuk berpikir macam-macam, meskipun ia telah memutuskan untuk menerima nasihat dari Mun dengan rendah hati yang sebaik-baiknya.

***

Segalanya telah lesap bersama angin yang berembus, dingin yang beku, juga debu-debu yang berhamburan, sebelum seseorang mendatangi rumah Limia dengan langkah yang tergesa-gesa.

Perempuan itu mengetuk pintu berkali-kali dan telah hampir menyerah untuk pulang sampai pada akhirnya Limia membuka pintu pada ketukan pintu yang ke-tujuh.

“Maaf …”

Mata Limia menyipit dengan disertai kerutan dahi, gerangan apa yang membuat perempuan di hadapannya ini seolah habis berlari dikejar binatang buas. Perempuan itu tak biasanya berkunjung ke rumahnya. Ia belum selesai menduga-duga ketika perempuan di hadapannya kembali menyela dengan terburu-buru, “Sebelumnya maaf …”

“Duduklah dulu. Biar kuambilkan minum. Kau bisa bercerita dengan lebih baik ketika pikiran dan hatimu tenang.”

Perempuan itu mengangguk. Menerima permintaan Limia untuk duduk, lalu meminum segelas air putih yang telah terhidang di atas meja.

“Baiklah. Terima kasih.”

“Ada apa?”

“Aku menemukan entokmu di belakang rumahku.”

Limia tak menyangka bahwa kabar mengenai unggas miliknya yang hilang itu lekas menyebar ke rumah-rumah warga seolah wabah penyakit menular yang tak terhindarkan.

“Benarkah?”

Wajah Limia berubah segar. Terpancar rona kebahagiaan di sepasang matanya yang kini tampak lebih jernih, sementara bibirnya disertai lengkungan.
“Tapi …”

“Kenapa?”

“Percayalah, bukan aku yang mencurinya. Aku berani bersumpah!”

Nada suara perempuan itu mendadak tinggi, membuat Limia sedikit terkejut, tetapi tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati dan pikiran.

“Tidak. Tentu saja tidak. Aku tidak menuduhmu mencurinya. Jangan berpikir seperti itu. Meskipun aku berpikir mungkin saja seseorang mencurinya, tentu saja aku tidak berpikir itu kau. Atau siapa pun. Mungkin saja binatang itu sebatas ingin jalan-jalan keliling rumah-rumah warga. Atau tersesat. Tenangkanlah dirimu.”

“Sebenarnya aku ingin membawa unggas milikmu itu. Tapi aku takut akan memancing keributan warga lainnya. Kau bisa mengambilnya di rumahku. Aku sudah memasukkannya ke dalam kandang sehingga binatang itu tidak akan pergi ke mana pun. Kau tidak perlu khawatir.”

Perempuan itu berbicara dengan sangat terburu-buru seolah ia takut akan segera lupa jika tidak lekas-lekas menyelesaikan kalimatnya. Seperti kereta yang melintas.

“Baiklah. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Kau jadi begitu repot harus meluangkan waktu untukku. Sekali lagi, terima kasih.”

Perempuan itu hanya mengangguk, kembali mengucapkan terima kasih dan pergi. Memunculkan tanda tanya di kepala Limia.

***

“Aku ingin bercerita kepadamu tentang rahasia,”

“Rahasia apa?”

“Kuna. Kau mengenal Kuna?”

“Tentu saja. Ia bocah yang pendiam dan tidak banyak tingkah. Seingatku ia juga bocah yang penurut.”

“Ya, mungkin …”

“Mungkin?”

“Kita barangkali tak benar-benar mengenal orang lain seiring waktu karena tentu saja kita terbatas.”

“Lantas?”

“Kau ingat, ayahnya adalah seorang pelaut?”

“Dulu.”

“Ya, dulu.”

“Dan kau juga tahu bahwa kini ia hanya tinggal bersama ibunya.”

“Ya.”

“Di sini. Hanya berdua. Padahal kau tahu sebelumnya mereka hidup di Jakarta.”

“Ya.”

Limia bukannya sedang tidak berminat dengan cerita Mun. tetapi ia sedang mencoba menjadi pendengar yang baik, agar Mun lekas-lekas menuju cerita inti.

“Kemudian ayah dan ibunya bercerai karena suatu masalah yang entah.”

“Ya. Mungkin bosan. Atau ibunya tidak tahan terlalu lama ditinggalkan. Pelaut, kau tahu, pekerjaannya tidak cukup mengurus diri sendiri. Istri barangkali hal kesekian yang jadi prioritas. Tidak ada pilihan lain, lebih tepatnya. Ia akan terus berlayar dan berlayar mengunjungi tempat-tempat yang jauh, sementara istrinya hanya bisa menunggu dan menunggu tak habis menanggung rindu.”

“Padahal kupikir hidup mereka tentulah sudah mapan.”

“Mapan bukan penentu kebahagiaan.”

“Tapi miskin juga bisa memicu keributan.”

Keduanya tertawa. Lepas sekali. Tanpa beban. Meskipun tidak terlalu lama, mereka kembali terdiam. Berpikir. Cukup lama.

“Kau tadi ingin menceritakan rahasia, kan?”

Mun mengangguk.

“Apa?”

Limia sudah tak sabar mendengar cerita Mun yang berlipat-lipat.

“Kau tahu kan, Yu?”

“Tentu saja tidak. Kau belum mengatakan apa-apa.”

“Oh, ya. Hidup Kuna dan ibunya sekembali mereka dari Jakarta bisa dibilang pas-pasan. Bahkan bisa dikatakan kekurangan. Ibunya sering berutang di warung Namira, kadang-kadang berpindah ke toko Sona demi untuk mengurangi perasaan tidak enak terlalu sering berutang. Tetapi keprihatinan itu tidak tercermin pada diri Kuna. Bocah itu tidak terlalu peduli akan kesulitan-kesulitan yang menimpa ibunya. Ia terlanjur kerasan dengan hidup yang serba berkecukupan saat masih di Jakarta.”

“Kukira itu bukanlah rahasia,”

“Bersabarlah sedikit. Sore lusa ibunya memarahi bocah itu. Sangat marah. Perempuan itu mengacung-acungkan gagang sapu ke arah bocah itu sehingga ia berlari dan berlari, hampir tak mau berhenti. Jika saja gagang sapu itu tak mengenai kaki kiri Kuna sehingga bocah itu mengaduh kesakitan dan pada akhirnya terjatuh.”

“Benarkah?”

“Tak cukup sampai di sana. Kuna juga telah membuat ibunya menangis. Aku …”

“Kau menyaksikannya sendiri?”

“Tidak sendiri. Ada beberapa orang selain aku. Kami hanya bisa menghibur ibu Kuna tanpa benar-benar bisa membuatnya berhenti untuk bersedih dan kecewa sekaligus. Penghiburan pada orang-orang yang dilanda kesedihan tentu tak pernah tepat waktu. Tapi setidaknya kami berusaha membantu untuk tidak membuatnya berlarut-larut dalam kesedihan.”

“Usaha yang bagus.”

“Tetapi kau harus tahu satu hal.”

“Apa?”

“Apa kau tak mencurigai sesuatu bahwa tiba-tiba ibu Kuna mendatangi rumahmu dan mengatakan ia menemukan entokmu keesokan harinya?”

***

Yu: Sapaan untuk perempuan yang lebih tua (Jawa). 

Kendal, Agustus 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar