22 Januari 2021

Tetapi Hujan Turun Lama Sekali

 

Pixabay - cocoparisienne

Hujan turun dengan wajah yang demikian resah, menyisakan langit kelabu pekat yang hampir tidak menyisakan tempat bagi warna-warna terang untuk singgah di antaranya. Seorang laki-laki muncul dengan tatapan heran, menenteng sebuah jas hujan yang tidak dipakainya meski pada akhirnya seluruh tubuh kuyup dipenuhi tumpahan air serupa banjir peluh yang meluap jatuh dari langit semesta.

Sesekali ia duduk di sebuah bangku, berdiri, berjalan kecil yang hampir seperti berlari tetapi akan kembali ke tempatnya semula, di sebuah halte yang tiang-tiangnya berwarna merah terang menyerupai warna darah.

Jika sedang memikirkan dirinya sendiri, ia seringkali membayangkan sebuah potret anak tangga buatan yang sebenarnya hanyalah sebuah lukisan tiga dimensi dengan bahan dasar pasir pantai. Betapa mata manusia siapa saja memang akan mudah sekali tertipu, seandainya mata-mata itu tidak pernah diberitahu perihal lukisan tiga dimensi yang demikian memukau namun semu, seperti fatamorgana.

Matanya melirik ke atas, sebentar-sebentar menunduk seolah-olah ia sedang menunggu matahari yang menggenggam sepenuh peluh perasaan yang sudah lama ditinggalkan.

“Tuhan, kota ini seperti mati.” Ia menggumam. “Tapi syukurlah, hujan datang.”

“Hanya itu?”

“Apa lagi?”

“Mungkin banyak hal yang perlu dan harus dilakukan demi membalas kebaikan hujan—kebaikan Tuhan,”

“Hujan tidak meminta balasan, terlebih Tuhan. Bahkan ketika aku merasa begitu berjarak dengan Tuhan, ia selalu ada bersamaku.”

“Hmm,”

“Begitulah.”

Perempuan di sampingnya melongok jam tangan di lengan kanannya, sebuah kebiasaan yang sedikit menyimpang dari kebiasaan orang-orang yang mengenakan jam tangan: mereka mengenakannya di lengan sebelah kiri.

“Jam berapa?”

“Sembilan.”

“Celaka, aku terlambat.”

“...”

“Sial!”

“Lho ...”

“Kenapa?”

“Katanya mau bersyukur ...”

“Lupa.”

“Takut dimarahi bos?”

“Tentu.”

“Tapi tidak takut dimarahi Tuhan?”

“Heh?”

Perempuan itu tertawa, kecil dan tertahan. Merasa lucu telah membuat lelaki di sampingnya keheranan.

Seorang laki-laki lain datang. Rambutnya panjang dengan sebuah tato di lengan kiri, sebuah lambang berbentuk yin-yang.

“Ssst!”

Laki-laki pembawa jas hujan melirik sekali lagi ke arah perempuan.

“Takut?” Goda laki-laki pembawa jas hujan.

Perempuan hanya menggeleng, sebentar kemudian merogoh saku celananya. Sebuah ponsel.”

Ckrekkk!

Laki-laki bertato menoleh, sementara si perempuan menyembunyikan ponselnya.

Telepon laki-laki pembawa jas hujan berdering.

“Halo, Bos ...”

“Baik. Maaf, saya terlambat.”

“Oh, tidak apa-apa, ya?”


WhatsApp:

Ada seorang laki-laki mencurigakan di dekatku. Di lengannya ada sebuah tato.


“Kau upload foto laki-laki itu?”

Perempuan itu menggeleng. 

“Aku tahu kau melakukannya,”

“Maaf ...”

“Tidak perlu.”

“Bajumu kuyup begitu. Apakah bosmu tidak akan marah?”

“Aku membawa baju ganti.”

“Kenapa begitu?”

“Rindu hujan.”

Laki-laki bertato berdehem.

“Mau kerja, Mas?”

“Eh, iya. Masnya sendiri?”

“Saya mau ke SD. Menjemput istri dan anak saya.”

“Lho, kan masih jam sembilan?”

“Iya, kami ada acara ...”

Perempuan mencubit lengan laki-laki pembawa jas hujan. Si laki-laki hanya ber-aw kemudian memutuskan untuk diam. Beberapa bus melintas, namun tidak membuat mereka bertiga—juga orang-orang di sekitar mereka—untuk lekas beranjak. Tentu saja, mereka tidak benar-benar butuh berangkat dengan bus. Siapa saja yang menyaksikannya pasti akan berpikir mereka tengah gila. Bagaimana tidak, memutuskan berhenti berkendara—bagi yang membawa sepeda motor seperti laki-laki pembawa jas hujan—atau yang berjalan kaki seperti laki-laki bertato yin-yang. Mereka tidak salah melakukan hal itu—memutuskan berhenti—sementara hujan tengah deras-derasnya dan badai tiba-tiba datang. Bahkan di beberapa titik telah diketahui pohon-pohon tumbang.

Laki-laki pembawa jas hujan pun sebenarnya bukan penyuka hujan yang taat, ia hanya laki-laki yang sesekali suka menikmati aroma kesedihan. Hujan memang seringkali dipasangkan oleh orang-orang, dituduh berhubungan dengan kesedihan.

Jika saat ini ia sedang ingin menjatuhkan pilihannya untuk membiarkan dirinya tidak berjarak dengan hujan, itu karena ia sedang ingin melakukannya.

“Tetapi hujan turun lama sekali, Samanta ...”

“Ya.”

“Apa kau dingin?”

“Sedikit.”

“Pakailah jaketku.”

“Kau bagaimana?”

“Aku sedang ingin menyatu dengan hujan.

***


“Halo, Ma. Bagaimana situasi di sekolah Satria?”

“Oh, baiklah. Syukurlah. Tunggu, ya. Aku masih menepi di sisi sebuah jalan. Oh, tidak, di sini segalanya baik-baik saja.”

Terdengar suara batuk yang tertahan, seolah-olah orang itu demikian khawatir suara batuknya akan mengganggu orang-orang di sekitarnya. Batuk itu semakin menjadi saja. Ia seorang pemuda yang kira-kira berusia 25 tahun. Ia hanya mengenakan kaus lengan pendek berkerah warna biru langit yang sepertinya seragam dari sebuah pabrik tempatnya bekerja.

“Saudara sakit?” tanya laki-laki bertato, yang ditanya hanya tersenyum tipis.

“Hanya sedikit flu, dan saya kira udara tidak akan sedingin saat ini.”

Laki-laki bertato berpikir sejenak, entah apa.

“Lain kali cobalah untuk memakai jaket. Setidak-tidaknya udara yang dingin begini tidak terlalu mengganggu tubuhmu. Sayang sekali saya tidak membawa obat flu atau balsem,”

“Tidak apa, terima kasih. Maaf telah mengganggu kenyamanan Anda.”

Suara itu tetap ada dan masih seperti sengaja untuk ditahan. Seakan-akan ada sesuatu yang berat di dalam dadanya.

Di sudut lain, seorang bocah berseragam SD berupaya memaksa orang tuanya untuk pulang.

“Sudah telat, Pa. Aku pasti dihukum Pak Guru seperti kemarin saat aku lupa membawa tugas rumah. Aku tidak mau, Papa. Malu. Cuma aku yang perempuan. Aku hampir saja menangis dan anak-anak lain tertawa mengejekku.”

“Tidak apa-apa, Sayang. Kali ini tidak hanya kau yang terlambat. Pasti banyak anak lain juga. Lihatlah di sana. Mereka sama sepertimu. Lagi pula, bukan kita yang menghendaki keadaan seperti ini, ‘kan?”

Bocah itu hanya mengangguk pelan. Terpaksa mengiyakan perkataan papanya.

“Lama sekali hujannya. Aku mengantuk dan ingin tidur. Tapi sekarang aku ingin papa bercerita.”

“Papa tahu kau sangat bosan harus seperti ini. Baiklah, papa akan bercerita.”

Sebuah pesan pendek masuk ke ponsel perempuan.

Hari ini sekolah diliburkan, Bu Samanta. Para siswa diminta pulang ke rumah masing-masing.

Perempuan itu melirik ke arah bocah berseragam putih-merah.

“Permisi, Pak.”

“Ya?”

“Mohon maaf, kita memang tidak saling mengenal sebelumnya. Tapi saya ingin memberitahukan bahwa sekolah diliburkan, lebih tepatnya para siswa dipulangkan lebih cepat.”

“Oh, ya?” Ayah dari si bocah terlihat bingung. Seolah-olah dipenuhi pertanyaan yang tidak terjelaskan.

“Namanya Samanta, Pak. Dia salah satu staf di SD Harapan Bangsa. Anak Bapak sekolah di sana, ‘kan?” Laki-laki pembawa jas hujan mengetahui dari seragam yang dikenakan, ada sebuah logo sekolah tempat Samanta bekerja di lengan kanannya. Selanjutnya diikuti anggukan ayah dari si bocah.

“Kau benar, Nak. Kita harus pulang. Tidak akan diperlukan lagi alasan terlambat masuk ke kelas. Kita akan pulang. Tetapi hujan turun lama sekali.”

“Ceritanya tidak batal, ‘kan?”

“Oh, ya ampun. Hampir saja lupa.”

Ayah dari si bocah mengisahkan tentang sebuah kota yang setiap harinya menyerupai waktu senja. Seolah-olah pagi, siang, dan sore memang terbuat dari unsur-unsur penyusun senja. Warna langit di kota itu sangat kuning bercahaya meskipun tanpa sinar matahari di dalamnya. Yang membedakan, di sana memiliki udara yang pekat sebab dipenuhi kabut asap, sehingga penduduk di kota itu satu per satu berjatuhan, diserang penyakit infeksi pernapasan. Oh, malang!

“Itu adalah racun. Kota telah dikuasai seorang monster. Monster itu selalu menyemprotkan asap-asap dengan tanpa peduli bahwa orang lain akan terganggu. Ia sedang belajar ilmu menghilang. Untuk bisa menghilang, ia harus berada pada suatu tempat yang aman. Maka ia berpikir tentang kabut asap yang kelak akan membantu melindungi dirinya dari musuh, untuk selanjutnya pergi menghilang tanpa seorang pun mengetahui keberadaannya.”

“Monster bukan orang, Papa.”

“Oh, kau benar. Monster tetaplah monster meskipun ia mengenakan baju ultraman. Iya, ‘kan?”

Si bocah mengangguk.

Laki-laki pembawa jas hujan berdiri dari posisi duduknya. Ada kesan ragu di antara wajah putihnya yang dipenuhi beberapa jerawat, dengan kumis tipis di bawah hidungnya.

“Rasanya aku harus pergi lebih dulu. Kau tahu, kan. Kantorku bukan sekolah milik anak-anak yang sewaktu-waktu bisa pulang cepat karena para guru mengadakan rapat atau cuti bersama yang juga sewaktu-waktu membiarkan mereka libur, seperti hari ini.”

“Jangan begitu.”

“Oh, aku lupa bahwa kau bekerja di lingkungan sekolah.”

“Baiklah. Kau segera ke kantor. Jangan lupa cepat kembali agar aku tidak terlalu mencemaskanmu.”

“Semua akan baik-baik saja.”

“Semoga.”

***


Pemuda yang terbatuk-batuk membuka ponsel, menemukan status di sosial media: Apakah semua orang diciptakan dengan bakat mencurigakan? Oh, bagaimana mungkin seseorang begitu leluasa terbatuk di tempat umum, sementara ia tidak menggunakan penutup hidung-mulut jenis apa pun.

Ponsel dimatikan. Pemuda itu melirik ke arah Samanta. Seolah ada yang hilang, seolah ada yang terlupakan, dan hujan belum juga reda. Pemuda itu merasa dadanya dilempari batu-batu yang tanpa tahu siapa pelakunya. Tetapi hujan turun lama sekali.[]

Kendal, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar