19 September 2021

Kampung Halaman dan Kenangan


Foto oleh Will Mu dari Pexels

Meskipun sebelumnya saya sudah pernah kepikiran untuk menulis perihal kampung halaman, jelasnya keinginan itu sudah lama mengendap dan kini kembali muncul ke permukaan setelah membaca tulisan Mbak Impian Nopitasari yang terbit di kolom detikNews (05/09), “Ke Mana Harus Pulang?”

Mbak Impian mengungkapkan, bahwa rumahnya di kampung itu hanya sebatas bangunan, dan bukannya merupakan tempat untuk pulang. Hal itu menjadikannya betah berlama-lama menjadi perantau di kota Solo. Pulang ke kampung halaman merupakan salah satu hal dari hal-hal lain yang cukup dihindarinya, itu terbukti dari pengakuannya melanjutkan kuliah pascasarjananya demi alasan untuk tidak berada di kampung halaman.

Kampung halaman memang seringkali erat dengan kenangan masa kecil di mana seseorang dilahirkan. Semacam poros dari segala jenis perputaran perjalanan yang dilalui seseorang. Saya termasuk yang membenarkan hal itu, meskipun kenangan yang saya alami jelas tidak selalu baik-baik saja, dan tak selalu menyenangkan. Meskipun pernah singgah di Semarang semasa kuliah, nyatanya saya termasuk yang tidak bisa, atau tidak mau untuk jauh-jauh dari kampung halaman dengan alasan kepraktisan, meskipun terkadang hidup di lingkungan pedesaan juga bukan berarti bebas dari segala jenis hambatan karena diakui atau tidak, tinggal di lingkungan pedesaan yang jarak satu rumah dengan rumah lainnya sangat dekat dengan budaya guyubnya, menjadikan apapun jenis informasi yang beredar seolah memiliki kecepatan cahaya. Tetangga sudah semacam CCTV yang selalu siap sedia untuk mengamati gerak-gerik siapapun yang ada di sekitarnya. Jika yang beredar adalah hal-hal positif tentu tidak masalah, tapi jika yang beredar adalah sesuatu yang negatif? Ya harus tabah-tabah menyiapkan hati dan telinga, atau pura-pura tidak mendengar sekalian.

Mengganggu? Jelas. Terkadang, menjadi manusia yang baik saja tidaklah cukup jika apa-apa yang menurut tetangga ada sesuatu yang salah, pencapaian yang sudah pernah diraih pun bisa tidak berarti apa-apa. The power of ceo-ceo-te-e tonggo. Haha.

Tiba-tiba saya ingat cerita seorang teman yang ingin sekali menetap di Yogya dan lekas-lekas pergi dari kota kelahirannya. Meskipun sebenarnya saya sudah memiliki gambaran umum, kenapa teman saya itu bersikeras ingin pindah, saya mencoba menanyakannya tanpa memaksa jika dia memang tidak berkenan menjawab. Saya paham, setiap keputusan yang dibuat seseorang, pasti memiliki latar belakang yang tak semua bisa diceritakan kepada orang lain. Setiap orang berhak memiliki rahasia.

Tanpa pernah saya duga sebelumnya, sebuah pertanyaan sesederhana “Kenapa ingin menetap di Yogya?” membuatnya bersedia membuka sebagian luka lama yang pernah dialaminya. Saya merasa tidak enak, tapi sekaligus lega ketika teman saya itu mengatakan bahwa dia menangis. Apakah itu artinya saya senang melihat kesedihan teman saya? Bukan. Tidak lain karena teman saya ini tipikal orang yang pandai menyembunyikan kesedihan. Bagi yang tidak benar-benar mengenalnya, pastilah mengira hidupnya selalu bahagia dan baik-baik saja karena dia memang senang sekali menghibur orang lain dengan leluconnya. Saya membayangkan dia adalah seseorang yang berwarna kuning, selalu cerah ceria dan pandai mencuri perhatian.

Ketika menjadikannya sebuah story di Whatsapp: Dalamnya hati siapa yang tahu yakan~ yang dilengkapi dengan potongan tangkapan layar percakapan saya dengan teman tadi, seorang teman lain menanggapi dengan sebuah lirik lagu dolanan anak Cublak-cublak Suweng, “sopo ngguyu ndelikake sir sirpong delik kopong sir sirpong delik kosong.”, dan meskipun saya familiar dengan lirik tersebut saya tidak benar-benar tahu artinya. Lalu teman saya tadi mengartikannya begini, “siapa yang tertawa, dia yang menyembunyikan sesuatu.” 
 
Lantas kenapa saat ini teman saya masih menetap di kampung halamannya? Tentu karena untuk bisa berpindah, seringkali seseorang membutuhkan alasan untuk menjadikannya lebih bernyali, meskipun dalam hal ini teman saya sudah memilikinya. Mungkin saja teman saya masih menunggu mendapat pekerjaan lain yang kelak membawanya ke Yogya, atau mungkin karena perpindahan membutuhkan persiapan yang matang, juga penyesuaian yang lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga. Mungkin saja teman saya masih memilih bertahan, karena pandemi membuat banyak hal menjadi sulit. Mungkin saja sebenarnya teman saya masih terikat oleh kenangan-kenangan masa kecil yang tidak benar-benar ingin dilupakannya. Mungkin saja ... Jelasnya, tidak semua orang yang bertahan di lingkungan yang membuatnya tidak nyaman serta merta menjadikan segala keputusan untuk berpindah menjadi lebih mudah.

Begitulah, kampung halaman bisa menjadi sesuatu yang manis semacam gulali yang menemani masa kecil, tapi juga tidak jarang menyimpan luka. Luka yang seringkali disangkal dan disangka telah hilang dengan sendirinya karena sebagian manusia percaya bahwa waktu akan dan selalu bisa menyembuhkannya, tetapi pada kenyataannya tidak. Ia hanya mengendap di dasar paling dalam, untuk muncul sewaktu-waktu kemudian. Waktu tidak pernah menyembuhkan apa-apa. Diri sendirilah yang bisa melakukannya.[]

1 komentar: