Gambar oleh Tumisu dari Pixabay |
Bibir cangkir telah menjelma semut-semut merah gatal ketika Kusala menyadari betapa dirinya telah demikian panjang dimangsa kosong. Hujan masih belum reda, begitu juga dadanya yang dialiri badai.
Ia tidak membuang sisa kopi di hadapannya, tetapi memilih untuk memesan kembali menu yang sama: kental dan sedikit gula. Selanjutnya ia akan lebih hati-hati agar kopi itu tetap sama dan tak seorang atau sesuatu apa pun menyentuhnya, meski tentu saja tak sedikit pun penyesalan menjalari tiap-tiap aliran darah dan napasnya.
"Hari sudah bukan pagi, tetapi siang pun terlalu dini."
Ia melongok sebuah jam dinding bulat dengan warna dasar putih dan lingkaran biru langit di sekelilingnya dengan tergesa. Detak detik itu, baginya serupa sebuah tongkat yang berkali-kali memukul kepalanya dengan makian tak tahu diri. Seperti seseorang yang tengah membaca puisi tanpa dihadiri oleh siapa pun, kecuali hanya suara yang menggema, berubah banyak. Sehingga ia tak lagi kesepian.
"Baguslah kalau kalian suka. Aku jadi tidak perlu orang lain sekarang, tidak juga sendirian."
Tidak ada siapa-siapa—manusia—yang diajaknya bicara—kecuali ia berbicara pada dunia hampa, meskipun sesungguhnya tentu saja ia bercakap dengan binatang kecil pemangsa gula itu.
"Lagi pula hujan belum ingin pulang. Aku juga."
Di luar tampak redup dan berkabut. Meski sore belum ingin datang. Sesekali matanya berlari ke luar, mencari apa yang semestinya ada.
"Tak semestinya aku meninggalkannya sendirian. Padahal aku sudah hafal bahwa ia bukanlah seseorang dengan peta atau sensor GPS di kepalanya. Tentu saja ia tersesat. Bodoh sekali aku ini."
Demi seseorang yang ia anggap tersesat itu, ia telah mengunjungi tiga kantor polisi untuk meyakinkan diri bahwa ia bersungguh-sungguh merasa bersalah dan perlu untuk bertanggungjawab atas kehilangan yang dialaminya.
Ia membawa yang hilang untuk menemukannya. Dan tak seorang pun percaya akan kisah yang dituturkannya.
"Permisi, Pak. Apakah Bapak bisa menemukan kehilangan?"
Seorang pemuda yang tengah sibuk dengan layar komputer di hadapannya membalas tanpa menatap yang diajaknya bicara. "Ya, Bapak kehilangan apa? Motor? Mobil? Dompet?"
"Saya kehilangan Kehilangan."
Pemuda itu mendengus kesal. Merasa dipermainkan. "Bapak jangan bercanda."
"Memangnya siapa yang bercanda? Saya memang sedang butuh bantuan Pak Polisi. Bukankah di sini menyediakan layanan untuk melaporkan sesuatu yang hilang?"
"Ya. Maksudku, tidak untuk sesuatu yang tidak jelas seperti yang Anda cari. Kami menemukan sesuatu yang nyata, bukan hal tidak jelas yang hanya pantas hidup di dalam angan-angan."
"Tapi saya benar-benar membutuhkan bantuan."
"Silakan pergi ke kantor lain, dan saya yakin dengan sepenuhnya, seluruh dari mereka akan berpikir bahwa Anda sinting."
Kusala merasa terluka. Tapi akhirnya ia mengucapkan terima kasih. Pemuda itu masih sibuk dengan kabel USB untuk memindahkan data dari komputer server. Dan tak berkata apa-apa ketika Kusala berjalan pergi.
Punggung itu kian jauh dan hampir jatuh. Langkahnya terseok. Sesekali menengok ke belakang, berharap salah seorang dari polisi di kantor itu menghentikan langkahnya dan berniat membantu apa yang menjadi persoalannya.
Ia berhenti di sebuah tikungan jalan, menunggu bus melintas. Meskipun pada akhirnya ia hanya berdiri serupa patung yang sengaja dihilangkan dari gedung museum sebab terlalu usang dan tak lagi menyimpan kenangan. Bus-bus berlalu dengan klakson yang kian beradu di dalam telinganya, hingga kepala mampu merekamnya sebagai sesuatu yang bisa diputar ulang.
Sebuah klakson seperti bergerak ke arahnya menyerupai serangan. Ia terlonjak. Seorang perempuan turun dari motor, lantas menghampirinya. Ia berdiri membungkuk, berkali-kali mengucap maaf.
"Saya yang salah,"
"Bapak tidak salah, saya yang ceroboh. Terlalu terburu-buru dan ingin cepat sampai dan tidak hati-hati. Mestinya saya tahu bahwa di antara tikungan, ada rahasia yang tidak terlihat, seperti masa depan. Bapak sedang menunggu apa? Mau ke mana? Barangkali kita satu arah. Mungkin, ..."
Kalimat itu belum juga selesai, ketika Kusala memotongnya dengan tergesa. "Saya mencari sesuatu yang hilang,"
"Aduh, bagaimana ya. Saya sedang buru-buru. Bapak ada nomor telepon yang bisa dihubungi?"
"Tidak ada, ponsel saya sudah lama rusak."
"Aduh, bagaimana ya ..."
Perempuan itu tampak berpikir tapi tidak tuntas. Sebab ia sudah menukan apa yang diinginkan.
"Kartu nama? Saya punya kartu nama. Ini, Bapak simpan ya. Nanti mungkin lain waktu kita bertemu lagi. Disimpan saja. Oh, iya. Nama saya Rossana. Bapak siapa?"
"Kusala. Nama saya Kusala."
"Oh, iya, iya. Saya catat nama Bapak ya. Kalau tidak begitu, saya sering jadi pelupa. Hehe. Bapak mencari apa tadi?"
"Kehilangan."
Kepala perempuan itu mendadak pusing. Ia menduga, jangan-jangan ia sedang berbicara dengan orang gila. Lantas tiba-tiba entah dari mana datangnya, seperti ada sesuatu yang menariknya kuat-kuat agar ia segera pergi. Menganggap pertemuan itu tak pernah ada, berpura-pura meminjam kartu namanya sendiri, lalu berlari tanpa permisi. Tapi ia tidak bisa menjadi yang seperti itu. Ia tidak tega."
"Tapi, Pak Ku-sa-la, saya harus pergi ya. Maaf. Sekali lagi maaf. Nanti lain kali Bapak hubungi nomor saya."
Kusala tidak terlalu peduli, ia hanya menganggap pertemuan itu hanyalah sementara, maka ia tidak perlu mengingat nama perempuan yang telah menyrempetnya meskipun tak sampai tersungkur. Ia bersyukur tidak sedikit pun terluka. Juga perempuan itu. Seharusnya perempuan itu tidak perlu minta maaf, batinnya.
"Ia hanya perlu membantuku menemukan apa yang telah kubawa. Kehilangan."
Ia lantas berjalan, mengantongi kartu nama tanpa bermaksud untuk mengikuti saran perempuan tadi.
Di kantor polisi lainnya, ia pun tak memperoleh kepastian apa-apa. Bahkan jika hanya harapan belaka. Tidak ada. Yang ia dapatkan selalu makian dan cibiran.
"Lihat lelaki itu, dia aneh sekali. Mencari sesuatu yang ia bawa. Kau bayangkan saja, apakah sesuatu yang berada di tanganmu bisa disebut hilang?"
"Tentu saja tidak. Hilang ya hilang. Tidak ada. Kalau sesuatu itu ada, untuk apa ia mencarinya?"
"Makanya, tidak ada di antara orang-orang di sini yang menganggapnya waras."
***
Kusala terus berjalan meskipun tak tahu hendak ke mana. Kota ini memang tidak terlalu besar, dan juga ia telah hafal sebagiannya dalam ingatan. Tapi ia tidak. Seseorang yang tersesat itu tidak pernah menyimpan jalan-jalan ke dalam ingatannya. Tidak peduli tepatnya.
Tetapi ia ingat sesuatu. Sebuah kedai kopi sederhana yang sering ia—mereka—kunjungi. Langit tampak rendah dengan mega-mega yang menggumpal. Ia menyimpan firasat, bahwa sebentar lagi akan hujan. Meskipun tanda tak selalu bermaksud sama.
Pintu terbuka. Pelan. Menimbulkan decitan yang membikin ngilu. Ngeeeekkk! Seperti suara seseorang yang sedang menangis. Ngeeeekkk! Bunyi-bunyian yang berulang setiap pengunjung baru tiba dengan selamat di dalamnya.
Ingin sekali rasanya bertanya kepada seluruh pengunjung, bahkan setiap yang menetap sebagai barista, tukang masak, pelayan, dan seluruh komponen yang menyertainya. Tapi tidak. Ia ingat bagaimana orang-orang tertawa dan merasa paling normal ketika ia berkunjung ke kantor polisi.
Napasnya berembun. Kacamatanya kian buram. Ia hanya diam, ketika pada akhirnya seorang pelayan wanita menawarkan menu untuk ia pesan.
Kantong celana ia rogoh dengan terbata-bata. Berisi nama, alamat, serta nomor telepon yang bisa dihubungi dari perempuan yang menabraknya. Rossana.
Seseorang mengantarkan kopi pertamanya. Tiba-tiba ia memiliki ide untuk melakukan sesuatu. Tapi sepertinya bukan sekarang, pikirnya. Mulutnya hanya menganga, menahan yang gagal keluar sebagai suara. Tetapi sesuatu lain meluncur begitu saja, "Terima kasih."
Pemuda itu mengulangi tiap-tiap adegan dengan gerakan yang sama, meskipun waktu terus bergerak. Hari demi hari. Namun selalu ada hal-hal baru yang ia lakukan. Akhirnya ia memberanikan diri menghubungi Rossana. Entah untuk apa.
Mereka bertemu di kedai yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Akhirnya perempuan itu datang.
"Akhirnya Anda datang,"
"Saya senang bahwa akhirnya Bapak menghubungi saya. Semua bisa dimaafkan?"
"Tentu saja."
Di belakang, orang-orang ribut. Mengira Kusala hanyalah gelandangan yang tersesat.
"Aku selalu melihatnya seperti itu, sejak pertama kali ia berkunjung."
Seorang wanita mengibaskan sapu tangan berwarna biru pudar ke udara. Lantas menutup hidung yang tak henti-hentinya memancarkan bersin. Srooot! Hidungya berubah warna. Merah. Demikian juga wajahnya. Seperti marah.
"Jangan terlalu keras. Biarkan saja, bukankah yang penting ia selalu membayar pesanannya?"
"Tapi tak sekali pun ia menghabiskan tiap-tiap yang ia pesan. Bagaimana menurutmu?"
"Tentang?"
"Memesan sesuatu hanya untuk berakhir di tempat sampah,"
"Entah. Aku tidak pernah memikirkannya. Sudahlah, kita hanya perlu mengerjakan apa yang diinginkan pelanggan, 'kan?"
Seseorang di belakang memang tidak sepenuhnya salah meskipun telah membicarakan Kusala adalah sudah sebuah kesalahan. Laki-laki itu selalu mengenakan baju yang sama setiap kali mengunjungi kedai. Berharap seseorang yang tersesat segera menemukannya, sebab ia telah mencari dan bertanya, namun tetap tak ada seorang pun yang sudi menolongnya.
Kini Rossana, perempuan itu dengan pandangan yang serius, mendengarkan tiap-tiap kata yang Kusala ucap-lontarkan.
"Aku datang ke sini dengan harapan yang selalu sama, meskipun telah lelah dipeluk putus asa,"
"Harapan apa itu, Pak?"
"Jangan memanggil saya Pak. Mungkin usia kita tidak bertaut jauh."
"Lantas apa?"
"Kusala. Ku-sa-la. Kusala."
"Ah, oh. Baiklah, Pak. Maksud saya, Kusala. Ku-sa-la. Kusala."
"Ya, seperti itu."
"Tapi omong-omong, harapan seperti apa?"
"Menemukan Kehilangan. Seseorang yang tersesat. Saya selalu membawa serta yang mungkin pernah saya lupakan, sementara saya memerlukannya. Sesuatu di dalam diri saya. Saya berharap seseorang membantu saya. Apakah Anda bisa?[]
***
*Pernah dimuat di Tajug.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar