6 Februari 2023

Pengakuan untuk Menjadi Tidak Sempurna dalam Novel The Perfect World of Miwako Sumida

 

Novel The Perfect World of Miwako Sumida

Identitas Buku:

Judul: The Perfect World of Miwako Sumida
Penulis: Clarissa Goenawan
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 372 halaman
ISBN: 978-602-06-4225-3


Tidak ada sesuatu yang sederhana, sesederhana apa pun sesuatu itu; adalah sebuah garis panjang yang berhasil saya tarik dari sekian banyak titik yang dihadirkan oleh Clarissa Goenawan melalui The Perfect World of Miwako Sumida ini. Buku ini menerbitkan misteri atas kematian seorang mahasiswa Waseda bernama Miwako Sumida yang tiba-tiba pada suatu hari yang tidak pernah disangka-sangka oleh siapa pun orang-orang yang mengenalnya. Bunuh diri.

Siapa yang menyangka? Dia adalah seseorang yang bisa menghadirkan warna-warna bagi orang-orang terdekatnya, termasuk Ryusei. Seperti kisah cinta pada umumnya, pada mulanya pertemuan Miwako dan Ryusei hanyalah sebagian hal kecil dari keisengan yang direncanakan oleh salah seorang teman mereka, Toshi yang membuat sebuah kencan buta.

Pada suatu pertemuan itulah, Miwako tampak sebagai satu-satunya yang tak terlalu berminat dan memutuskan untuk pergi ke sebuah toko buku—Miwako penggemar novel-novel roman—yang akhirnya ditemani oleh Ryusei—selain karena tidak ingin membiarkan gadis itu pergi sendirian, dia juga memang ada urusan untuk pergi ke toko buku yang sama—dan sejak itulah, pertemuan demi pertemuan selanjutnya berlangsung.

Di antara hal yang kian mendekatkan hubungan mereka itu, salah satunya karena Miwako kemudian bekerja dengan Fumi-nee, kakak Ryusei mengurusi lukisan di sebuah gudang milik teman mereka yang tak pernah kembali, Kenji. Mereka memang hanya tinggal berdua karena kedua orang tua mereka meninggal karena sebuah kecelakaan saat mereka masih kecil. Sebelumnya mereka tinggal di panti asuhan yang mempertemukannya dengan Kenji, hingga akhirnya mereka dewasa dan bisa mandiri.

Tetapi rupanya terlalu banyak hal yang disembunyikan oleh Miwako Sumida, yang tidak banyak dimengerti oleh teman-temannya, hingga pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk pergi ke sebuah desa terpencil dan menjadi relawan di sana. Tidak banyak yang Miwako lakukan untuk berkomunikasi dengan teman-temannya itu, kecuali mengirim beberapa surat untuk Ryusei dan Chie, sahabat—atau sebenarnya hanya teman biasa yang kebetulan dekat—yang mengabarkan aktivitas yang dilakukannya di sana.

Namun rupanya hal itu tidak berlangsung terlalu lama, karena suatu hari yang ganjil, Miwako tidak lagi mengirim surat-surat kepada siapa pun, seolah jejaknya hilang begitu saja, dan begitu kabar itu tercium, jasadnya sudah ditemukan tergantung pada sebuah pohon di dalam hutan desa terpencil itu.

"Tinggallah di sini, agar kau terbebas. Kau tidak perlu lagi membawa beban ini." (h. 6)

Mengalir sebagai sebuah bisikan yang menyusup mengajak Chie untuk bergabung setelah pertanyaan Ryusei terlontar, “Menurutmu, di tempat ini Miwako gantung diri?” (h. 5)

Itu adalah awal dari setiap puzzle yang harus dilengkapi atas kematian Miwako Sumida, Ketika Ryusei dan Chie pada akhirnya melakukan pencarian jejak ke desa terpencil itu, untuk mendapatkan seluruh jawabannya sebagai upaya untuk melengkapi bagian-bagian yang hilang.

Kisah ini bukanlah cerita yang rumit untuk dicerna, dan itu cukup menyenangkan karena saya pun cukup menyelesaikan seluruh bagiannya hanya dengan sekali duduk, sekitar tiga jam. Barangkali waktu membaca yang cukup lambat, tapi saya pikir tidak terlalu buruk, dan tidak terlalu sia-sia. Tapi, omong-omong soal ‘sia-sia’, saya jadi ingat perkataan seorang teman, “Sastra hanyalah sebatas khayalan dan omong kosong,” dan lucunya dia adalah seorang guru yang mengatakan itu kepada murid-muridnya pada sebuah webinar yang sedang dipandunya—dengan tawa mengejek yang sungguh tidak lucu—dan menambahkan, “belajar Teknik Mesin tidak bisa seperti itu, yang hanya bisa berbusa-busa dengan teori tanpa bisa mempraktikkannya. Dan saya sungguh sedang tidak ingin berdebat ketika itu, tapi tidak bisa melupakannya begitu saja. Tapi meskipun demikian, saya tetap menganggap buku ini cukup penting untuk dibaca, dan sungguh tidak ada kesia-siaan apa pun di dalamnya.

Selain cerita yang berpusat pada kehidupan Miwako, rupanya ada hal besar yang dialami oleh Fumi, bagaimana dia yang semula adalah seorang laki-laki, kemudian memutuskan diri untuk bertingkah laku sebagai perempuan. Terus terang, bagian ini cukup mengejutkan saya, karena pada mulanya Fumi digambarkan sebagai sosok perempuan yang cukup sempurna. Tetapi, tentu saja tidak ada asap, jika tidak ada api. Bagaimana mulanya sehingga Fumi-nee, yang semula memiliki nama Fumio Yanagi mengubah nama serta penampilannya sebagai perempuan?

Fumio adalah putra pertama seorang pendeta, dan dia mewarisi kemampuan khusus dari leluhur yaitu bisa melihat arwah. Tidak hanya sebatas melihat, tetapi dia juga bisa berinteraksi dengan arwah-arwah itu. hal ini terbukti ketika suatu hari yang tanpa disadarinya, dia didatangi seorang arwah pemuda yang memaksa untuk diizinkan menginap di rumahnya dengan alasan bahwa pemuda itu adalah teman Kenji. Tidak ada yang mencurigakan dari penampilan pemuda itu, kecuali bahwa setelah berhari-hari dia menginap, Fumi-nee mendapati keganjilan, bahwa pemuda itu tidak makan, tidak minum, atau pun melakukan aktivitas lain yang normal dilakukan oleh manusia. Hal ini mengingatkannya dengan kisah masa kecilnya ketika dirinya masih menjadi seorang Fumio Yanagi.

Dia bertemu dengan seorang anak bernama Ruri, yang baginya adalah semacam keajaiban karena dirinya bukanlah seseorang yang mudah mendapatkan seorang teman di sekolah. Alih-alih, dia sering menjadi sasaran perundungan oleh teman-temannya. Tapi kemudian, keanehan terjadi ketika dia bercerita kepada ibunya bahwa dia memiliki seorang teman dan selalu menemaninya ketika dirinya sedang mengerjakan pekerjaan seperti menyapu dan mengepel, anak itu tidak pernah dilihat oleh ibunya, dan ketika Fumio membujuk anak itu untuk mendekat dan tidak takut, bocah itu justru berlari. menghindar. Selanjutnya bisa disimpulkan oleh ayahnya, bahwa bocah itu bukanlah manusia. Ia arwah, yang bagaimana pun, Fumio tidak berhak ikut campur atas apapun yang dialaminya, juga tidak boleh terlalu banyak bertanya.

Suatu kali, Fumi-nee mendapatkan sebuah undangan reuni SMA dan dia sungguh sangat berminat untuk menghadirinya. Tentu saja sebagai Fumi-nee dan bukannya Fumio Yanagi. Meskipun demikian, dia tidak perlu untuk merasa dirinya ganjil.

Di acara itu, dia bertemu dengan seorang perempuan--yang semasa kecil berhasil mangacak-acak jiwanya menjadi bangunan paling runtuh—mengakui alasan perbuatannya, “Dulu, aku suka seorang anak laki-laki. Dia menolakku, menyebutku kurus dan jelek, dan bahkan bilang anak lelaki seperti Yanagi jauh lebih cantik daripada aku,” dan pada akhirnya perempuan itu mengaku bersalah dan minta maaf.

Sampai titik ini, garisnya semakin jelas. Tetapi meskipun demikian, biarlah misteri Miwako Sumida tetaplah menjadi misteri sampai siapapun yang membaca tulisan ini berminat untuk membacanya. Yang pasti, ketika arwah Miwako Sumida menemui Fumi-nee, ia mengatakan, “Mestinya aku tidak membohongi diri sendiri, atau orang lain. Mestinya aku tidak berpura-pura segalanya sempurna.” (h. 352)

Begitulah, pada akhirnya copotan-copotan puzzle yang dibagi dalam tiga sudut pandang; Ryusei Yanagi, Chie Ohno, dan Fumi-nee berakhir dengan bahagia.[]
***

*Pernah dimuat di Tajug.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar