25 September 2013

DI SEBUAH KILOMETER KE SEKIAN

:AQJ

ia memindahkan kota ke dalam kepalanya
yang berisi gagal usia merayakan peraturan lalu lintas
jalanan padat dipenuhi tumbang keinginan jarum jam

di sebuah mobil ia genggam tangannya sendiri yang lebih erat
dibandingkan perasaan percaya kepada kekasihnya

di rumah tidak ada siapa-siapa
orang-orang melupakan kebodohan-- ia merawat ketiadaan bagi orang-orang
kunang-kunang berhamburan ke matanya
tersebab dirinya jatuh dikalahkan putaran arah

baginya kini rumah sakit ialah jembatan yang pernah hilang
diantara sungai yang membentang: agar diperhatikan berpasang mata
sebagai keutuhan pandangan

di telinganya keinginan pulang menjadi semacam terowongan panjang
yang ditakuti lampu-lampu agar terus merasakan kesepian
yang juga mengangankan dirinya dihidupkan tabah perasaan bersalah

di pinggir jalan pohon-pohon menjadi rimbun silsilah
bagi kelokan jalan yang patah oleh kesedihan-kesedihan
lalu bukankah hidup adalah perihal mengumpulkan apapun yang dunia pilihkan
sebagai pecahan-pecahan?

September 2013

LUBANG



aku adalah seperangkat keinginan
yang lekas-lekas engkau lupakan sebagai jadwal percakapan setiap malam

di kotak pesan tanganku memanjang,
merangkul apa dan bagaimana segala kabar aku taklukkan

di luar sana, suara engkau lingkarkan di telinga;
memutar kejenuhan yang engkau rapalkan
menjadi panas matahari yang mendekat beberapa senti

jendela ini, apakah?
pintu ini sudahkah?

kita sama-sama membiarkannya selebar dada kita
saling mendebar
tapi tiba-tiba kau banting setiap yang pernah menjadi lembaran mata kita
yang terbuka oleh rupa-rupa cahaya

lantas kita semakin mengeras sebab terkuras
oleh jarak yang semakin padat lalu lintas—
membiarkan angin mengikis cadas batu-batu yang menepi di sepanjang tubuh kita
untuk tidak membangun lubang-lubang
yang di dalamnya kita umpamakan sebagai kenangan

Juli 2013

30 April 2013

Sebuah Puisi Fina Lanahdiana (C-magz, Ed. 16)

KAMERA DALAM AKUARIUM

kukatakan padamu, dik
di sana, ikan-ikan
tertangkap kamera
diam-diam menyimpan
pipi ranum buah tomat
mencintai adegan
menjadi kota kaya raya
jam weker menjadi
sarapan yang dilupakan
makan siang

/pagi/
di sebuah akuarium,
pagi-pagi adalah alarm
sekolah
dan permainan anak-
anak
tetapi tidak ada lompat
tali atau jamuran
yang dihapal halaman
rumah; halaman sekolah

/siang/
ada yang melompat
semacam ikat pinggang
yang ingin duduk di
sebuah sofa
dengan air mineral yang
menawarkan rasa pahit
ikatan-ikatan

/malam/
selimut masuk ke
dalam mata
ini dimana, ini dimana;
kamu siapa?

Maret 2013

26 Februari 2013

PUISI-PUISI PENDEK YANG LAHIR BULAN JANUARI


Pada Suatu Musim Hujan

udara masih dingin
kabut tebal tumbuh pada derajat celcius yang semakin subuh
aku bangun dari malam yang jaga;
beginilah, jam tidur sering menyala sia-sia
“lerailah rindu, mataku yang tiba-tiba menjadi kamu”

Januari 2013

Bayang Pertanyaan

orang-orang begitu haus;
perasaan yang begitu saja bertandang
seperti halnya mimpi panjang
yang dikejar-kejar pertanyaan
pada masing-masing buku pelajaran

ia menulis catatan-catatan;
di tangan kanannya menggenggam sebuah pensil yang ajaib
sementara di tangan kirinya begitu saja tumbuh penghapus

mesin foto kopi berterbangan di kepala
kamu, dia, yang mana?

Januari 2013

Telepon Genggam

dan diantara aku dan kamu ada semacam
sungai panjang yang mengular
kita terbiasa duduk memperbincangkan entah
yang membuat kita betah berlama-lama kehabisan pulsa

aku tak henti-hentinya mengucap selamat datang kepada ingatan
agar kelak tek perlu terlalu sering membeli isi ulang;
ini menjadi semacam dehidrasi ringan yang ternyata lebih panjang
daripada kebiasaan begadang

Januari 2013

Perjanjian Jari Manis

tersebab pertemuan menjadi semacam ikrar
pada masing-masing kita untuk tidak membesarkan ingkar
jari manis ini lonceng jam bagi bunyi;
yang dengannya jarak akan tunduk pada rindu yang berlabuh
seperti halnya perahu yang menepi untuk menunggu matahari
kembali meninggi esok hari
kemudian deretan panjang alasan yang dibuat-buat oleh angin
adalah rumah teduh bagi hujan yang dingin

Januari 2013

Virus

ia serupa perasaan tak enak badan yang begitu cepat mengalir
memasuki setiap gang tak berpalang
semakin kita melawan
maka ia akan semakin menang

Januari 2013

2 PUISI FINA LANAHDIANA DI BULETIN JEJAK (Ed. 20/ Nov 2012)


LELAKI YANG BERDIRI PADA KAKI SENDIRI

i.
kita tak pernah saling mengenal, ataukah kita memang sedang bermain
peran bahwa hidup ini terlalu jujur untuk diaminkan  sebagai pura-pura?
aku duduk, lalu kau dengan riangnya membiarkan bibirmu menjahit telingaku;

“hidup ini bukan soal seberapa sering kita mendapat perkara,
namun seberapa licin kita telah memberi peran pada jari-jari kita”

barangkali ada saat yang tepat dimana kita mesti saling menukar kacamata;
kau yang tiba-tiba membangunkan kepala menelusuri kaki jalanan ysng semakin kota
yang kerap membunyikan nada-nada tabah yang tak kunjung menjadi sampah

ii.
detik begitu payah menyalakan detak alarm
yang dengannya kau bisa melupakan khawatir
yang kian getir*

kota ini begitu geram;
hingga garam-garam bercucuran daru matamu yang lebam

iii.
tak ada yang mesti ditasbihkan dengan tafsir-tafsir yang musafir
selain emperan jalan yang lebih menyerupai comberan
gedung, lampu, serta deretan toko yang gemar menjajakan rasa lapar;
adalah semacam alpabet yang entah sampai kapan akan saling berebut bermacam perayaan
hingga meluangkan bunyi klakson ataupun kemacetan yang serupa peluit yang menjerit

kesunyian ini barangkali hendak bercerita tentangmu, tentang kita
bahwa semestinya kemana kaki hendak diayun-langkahkan
adalah pilihan yang mesti dipisah-pilahkan.

Kendal, Apr-Juli 2012



ANAK GUNUNG

pada sebuah dataran tinggi yang hening; pagi-pagi sekali
jam telah membangunkan bocah-bocah untuk menjual matahari
sebelum burung-burung turun untuk mengepakkan sayap lebih tinggi
“dan kami telah ditakdirkan untuk menjadi penunggu pagi”

kemudian mereka memanggul caping yang menjadi saksi
bahwa cadas tak mesti menjadikan mereka merawat rasa malas

seorang gadis merogoh uang di saku celananya,
 menawar berapa harga yang mesti ia tukar dengan caping di kepala mereka
yang penuh dengan peta; cita-cita

pada siang hari, sengaja tak ada ritual tidur siang yang merentangkan lengan
mereka lebih memilih untuk menyaksikan turis;
yang memindahkan diri mereka kedalam sebuah kotak kamera
sebagai catatan yang kami sebut sebagai perumpamaan dari kenangan.

pada malam hari, mereka menyerahkan sepenuhnya tenaga kepada dahaga
kemudian lelaplah rasa kantuk yang meluap-luap menjadi semacam angin yang terkutuk
untuk menyalakan jati diri esok hari; berulangkali.

Kendal, Juli 2012