Aku menyebutnya
salah satu karena memang kucingku ada empat. Hanya satu yang benar-benar
peranakan dari kucingku yang sebelumnya—sudah mati—yang lain adalah hasil
memungut dan mengadopsi dari tetangga. Yang pertama adalah Ancil, kucingku yang
berwarna oranye, dia sangat galak, namun manja. Yang ke-dua kucing betina berwarna
abu-kehitaman—yang kutemukan di belakang rumah saat bulan puasa. Kucing itu
tiba-tiba mendekatiku dan terus menggersekkan tubuhnya ke kakiku. Aku merasa
haru dan tiba-tiba saja ingin merawatnya. Seisi rumah tidak ada yang
menyukainya karena ia kucing betina. Aku tetap bersikeras merawatnya. Kucing itu
sangat menggemaskan, berlari, mengguling, menggigit benda-benda, dan lain-lain.
Akhirnya lambat laun orang rumah luluh juga. Kami memberi nama Awu.
Kucing yang
ke-tiga berwarna oranye, masih kecil. Namanya puyi. Dan kucing yang ke-empat
bernama piyu, berwarna putih bercampur dengan abu-kehitaman. Kedua kucing itu
didapat Ibu dari meminta anak kucing
tetangga dengan maksud agar Awu memiliki teman bermain. Seiring berjalannya
waktu, mereka bertiga tampak akrab. Aku terkejut ketika Awu dengan sikap
keibuannya mau menyusui kedua kucing yang masih kecil tersebut. Kami tertawa
setiap menyaksikan itu. Bagaimana tidak, mereka bahkan bukan saudara kandung.
Aku mulai merasa
sedih ketika pada suatu pagi, Bapak berteriak—memanggil namaku—karena telah
menemukan Awu dalam keadaan mati. Cukup kasihan jika melihatnya. Dia keracunan
tikus yang sudah mati karena keracunan juga. Kemungkinan ada yang sengaja
meracuni tikus tersebut agar tidak mengganggu. Awu kucing betina yang menyukai
tikus—aku juga heran. Sebelum kematian Awu, kami seisi rumah sempat
tertawa-tawa karena Ancil mengejar-ngejar Awu—sepertinya mereka saling jatuh
cinta—hari sudah malam, berisik sekali rasanya mendengar suara kucing yang
berkali-kali mengeong. Akhirnya aku berpikir untuk mengeluarkan Ancil. Namun seperti
yang kubilang sebelumnya, sepertinya mereka saling jatuh cinta, Awu berlari
memutar melewati dapur, mencari jalan agar bisa keluar rumah untuk mengejar
Ancil. Rasanya belum juga bisa percaya, itu adalah hari terakhirnya. Rasanya ingin
menangis.
Sore hari
setelah kematian Awu, aku mendapati kedua kucing kecilku seperti sedang
memelihara kesedihan. Aku bingung karena keduanya tidak ingin makan, meskipun
aku memberinya ikan. Aku jadi berpikir, apakah ini yang dinamakan sebuah
ikatan? Sampai sekarang kemurungan itu masih ada. Ancil masih sering berputar
mengelilingi rumah, masuk ke kamarku—mungkin mencari Awu—aku tidak tahu. Oh ya,
aku lupa. Sebelum kehadiran dua kucing kecil kami, salah satu kucing kami juga
mati. Itulah sebab yang lain kenapa Ibu ingin memelihara kucing tetangga.
Kembali bercerita
mengenai memelihara kesedihan, saat kucing kami yang bernama Putih mati, Awu
adalah salah satu kucing yang terlihat linglung. Dia tidak banyak bergerak,
juga tidak ingin makan. Rasanya butuh waktu cukup lama untuk bisa menyaksikan
Awu kembali seperti semula. Jadi, ini kebetulankah? Apakah menurutmu kucing
juga memelihara kesedihan?
Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar