11 Maret 2015

Pertanyaan Identitas dan Pencarian Atas Macam-macam Kehilangan



Gambar: Google

Data Buku:
 
Judul: Anonymous
Penulis: Nana Sastrawan
Penerbit: Nitisara Book
Terbit: Maret 2012
ISBN: 978-602-9149-76-0

“… aku terkadang heran ketika membuka pintu dan jendela. Sering kulihat orang tertawa sendiri, menangis, marah, bahkan membentur-benturkan tiang listrik dengan kepalanya sendiri. Luka pada jari-jari tangan dan kaki tak pernah dirasakan atau mungkin mereka sudah tak memiliki rasa sakit?” (hlm. 5)

Anonymous yang ditulis Nana Sastrawan ini bercerita tentang seseorang—atau sesuatu—yang sedang melakukan perjalanan panjang untuk sebuah pencapaian menemukan diri sendiri yang mungkin pernah hilang kemudian melahirkan dirinya sebagai sesuatu yang lain. Saya menduga sesuatu itu adalah puisi.

Seseorang itu—yang saya duga puisi—hidup sebagaimana layaknya manusia yang juga memiliki keluarga. Ia hidup di dalam banyak pertanyaan yang melayang di sekitarnya dan dilahirkan oleh seorang ibu yang memiliki gangguan kejiwaan—jika tidak bisa dikatakan gila.

“Ibuku selalu berjalan tanpa alas kaki, mendaki gunung, memotong kepala tetangga, mencuri, bahkan membakar rumah para pejabat. Ibuku sudah menjadi dewa …” (hlm. 7)

Keganjilan demi keganjilan hadir dan menarik perhatian saya. Ayahnya pergi meninggalkan ibunya saat hamil tua dan kandungannya berusia dua puluh lima tahun—bagaimana mungkin seorang perempuan hamil dalam waktu demikian lama—dan melahirkannya hanya dalam waktu lima menit saja. Ayahnya selalu meletakkan pisau di samping ibunya yang masih tidur. Pisau itu dimaksudkan untuk menjaga ibunya saat ayahnya pergi bekerja.

Ayahnya hilang dan ibunya menjadi gila. Ibunya suka sekali memandangi purnama dan selalu mengatakan di sana ada pabrik sandal jepit. Ia malu punya ibu yang gila, namun tetap merawatnya karena tidak ingin dianggap durhaka.

“Sebenarnya aku tak pernah menikah dengan ayahmu, tetapi aku mencintainya melebihi nyawaku. Kakekmu dan nenekmu melarangku karena ayahmu memiliki banyak wanita …”

Rumahnya terbakar dan ia pergi. Ibunya entah hilang ke mana.

Gaya bahasa puitik yang membuat larut dan hanyut, barangkali itulah yang menjadi keunggulan dari novel Anonymous ini, meskipun saya tidak sepenuhnya yakin bahwa setiap pembaca menyukai prosa yang berwujud demikian—seperti puisi. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa kalimat-kalimat puitik itu tidak dilahirkan tanpa tujuan, tentu saja. Begitu banyak pertanyaan yang terkadang gagal untuk dijawab dan tetap menjadi teka-teki dan pergulatan pikiran, demikianlah kira-kira yang bisa didapatkan di dalamnya. Seperti sebuah kamus pertanyaan yang begitu menyenangkan untuk diselami satu per satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar