Data Buku:
Novel Jas Putih
Judul: Jas Putih
Penulis: Ni Komang Ariani
Jenis: Novel
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 226 halaman
Cetakan: Pertama, 2014
ISBN: 978-602-02-5188-2
Barangkali setiap orang memimpikan sebuah kesempurnaan, seperti halnya Yama, seorang laki-laki 36 tahun yang menganggap kesempurnaan sebagai tujuan hidupnya. Ia adalah seorang dokter anak yang sedang naik daun. Benar-benar terlihat sempurna sebagai seorang suami idaman bagi Kay, wanita 33 tahun yang bekerja sebagai manajer LSM Act, sebuah lembaga internasional yang kemudian menggerakkan dirinya untuk membangun Rumah Hati, tempat untuk menampung anak-anak jalanan dan terlantar untuk mendapatkan fasilitas hidup yang layak. Hubungan lima tahun yang telah dibangun Yama dan Kay tak lantas membuat Kay untuk segera menyetujui permintaan Yama saat mengajaknya menikah. Apa yang terjadi?
Ia dan Yama duduk santai di ruang tamu. Ia dan Yama pada sebuah pagi yang sibuk. Yama berlari menenteng tas kerjanya sambil mengibaskan jas putihnya yang beraroma wangi. Sementara Kay masih sibuk dengan maskaranya, sekilas ia melirik bayinya yang tertidur dalam boks bayi (hlm. 13). Kehidupan seperti itukah yang diinginkannya? Keraguan demi keraguan melingkupi pikirannya.
Berbekal saran dari Melly, sahabatnya, ia melakukan sidak diam-diam ke rumah sakit tempat Yama bekerja. Tidak ada yang aneh, meskipun akhirnya Yama tampak kaget saat mendapati Kay sudah berada di bangku depan ruang praktiknya. Kay ingin mengetahui dokter seperti apa Yama, apakah ia dokter yang baik? Ketika kebimbangan itu runtuh, dan Kay begitu yakin bahwa Yama memang laki-laki yang tepat untuknya, yang membuatnya membayangkan sebuah rumah hangat impiannya, Kay dihadapkan pada kenyataan pahit tentang Yama. Lebih dari separuh hidup Yama disembunyikan dari Kay. Kay memang mengenal Yama, tapi ia tak benar-benar tahu kepribadian Yama yang sesungguhnya. Kenangan masa kecil yang buruk membuat Yama mengutuk orang miskin yang ia anggap malas, tidak bisa memperbaiki keadaan, tidak mau berusaha mengubah diri, tidak seperti dirinya yang sudah mati-matian berjuang demi gelar seorang dokter. Kematian seorang pasien menyebabkan Yama dituduh melakukan mal praktik yang mau tidak mau menjebloskannya ke penjara. Ia dengan sengaja mengabaikan pasien yang seharusnya butuh penanganan segera.
Kay terpuruk setengah tidak percaya, bahwa Yama, seseorang yang pernah sangat dekat dengannya begitu buas seperti monster, sementara Melly menjatuhkan keputusan untuk bercerai dengan Kevo dengan alasan tidak bisa terikat. Melly memang lebih tegas dalam mengambil keputusan daripada Kay. Merasa membutuhkan penyegaran, Melly dan Kay mencoba berlibur ke Puhe, sebuah desa yang terletak antara Ubud dengan Kintamani. Desa itu bukanlah desa pariwisata. Di desa itu, Kay dan Melly bertemu dengan Sunu, pemuda lulusan sarjana pertanian yang lebih memilih menjadi petani dan menciptakan inovasi untuk kemakmuran para petani di desanya. Dari sanalah, Kay seolah mendapati angin segar yang melumpuhkan segala luka yang disebabkan oleh Yama.
Karakter masing-masing tokoh yang kuat, menjadikan novel ini terasa hidup. Saya benar-benar dibuat jengkel oleh seorang Yama, dibuat adem ayem oleh Sunu, dibuat takjub oleh Melly, yang meskipun masalah yang menimpanya tidak main-main, namun ia serupa pohon besar yang tak goyah dihantam angin, dan ia adalah sahabat yang baik, sementara karakter Kay yang paling manusiawi menurut saya. Selain karakter tokoh, saya menandai kutipan-kutipan berikut:
--Jika kamu tidak ambil kesempatan itu sekarang, mungkin kamu tidak akan pernah memiliki kesempatan--hlm. 17
--Dari dulu aku memang tidak percaya bahwa pernikahan adalah lembaga yang melahirkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu ada di hatimu sendiri--Melly, hlm. 22
--Jika kau begitu jenuh dengan kota, kau akan begitu mudah jatuh cinta pada alam--hlm.165
--Apa yang lebih buruk selain ketika kau kehilangan kepercayaan dari dirimu?--hlm. 163
--Aku melihat banyak orang modern yang tidak bahagia. Gampang terlihat dari orang Jakarta yang menghabiskan akhir pekannya ke Bali. Apa memang kebahagiaan memang harus diraih dengan biaya semahal itu? Apa di Jakarta tidak tersedia cukup kebahagiaan untuk dinikmati--Sunu, hlm. 156,
Dan masih banyak yang lain :p
Oh ya, novel garapan Ni Komang Ariani ini sebelumnya pernah terbit di Majalah Femina sebagai cerita bersambung.
Ni Komang Ariani, lahir di Bali, 19 Mei 1978. Pada tahun 2008, ia menjuarai Lomba Menulis Cerita Bersambung Femina melalui noveletnya Nyanyi Sunyi Celah Tebing. Cerpennya, Senja di Pelupuk Mata dan Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara masuk dalam Cerpen Kompas Pilihan 2008 dan 2010. Bukunya, Lidah (2008), Senjakala (2010), dan Bukan Permaisuri (2012). Pada tahun 2010, ia diundang sebagai pembicara di Ubud Writers and Readers Festival.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar