8 Mei 2015

Tersesat dalam Ruang-ruang Kesedihan yang Tak Berkesudahan



Gambar: Google
 
 Data Buku:
 
Judul: Kereta Tidur
Penulis: Avianti Armand
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 136
Cetakan: I, Juni 2011
ISBN: 9789792270983

Di pohon-pohon yang berbuah air mata
Ia menangis.
Bagaimana kita tahu bahwa
Tuhan bukanlah
Matahari? (hlm. 9)

Buku ini berisi sepuluh cerita pendek karya Avianti Armand. Pada "Matahari", Avianti menghadirkan seorang tokoh yang dipandang berbeda dengan banyak pertanyaan tak lazim. Jika manusia pada umumnya dihadapkan pada loket karcis stasiun kereta, maka ia akan bertanya perihal berapa harga satu karcis kereta eksekutif, sementara tokoh itu akan berpikir: kenapa kita "pergi"? Apakah "pergi" dan apakah "pulang"? Apakah "tempat" yang membuat kita selalu berpindah?

Cerita ini belum dan tidak akan selesai jika tidak dibaca seluruhnya, barangkali bisa disebut kelebihan? Atau malah kekurangan karena dinilai sebagai cerita yang tak utuh? Namun bisa juga dikatakan sebaliknya, katakanlah Avianti sebagai penulis berhasil menyeret-nyeret kaki saya untuk terus masuk ke dalam pintu menuju ruang-ruang yang telah ia bangun. Saya menyebutnya ruang karena memang demikian adanya, benar-benar ruang yang memiliki sudut seperti berada pada sebuah gedung besar dengan sekat yan membatasi masing-masing ruang. Entah apakah hal ini hadir secara tidak langsung terpengaruh oleh pekerjaan Avianti sebagai seorang arsitek, saya tidak tahu.

Permainan metafora jelas sekali saya rasakan pada cerpen-cerpen di dalam buku ini, termasuk cerpen "Kupu-kupu" yang dibuka kalimat seperti ini: Di langit kadang kau temukan kranehan. Selarik putih yang bukan awan, bukan sinar. Seperti garis lintas, yang tak jelas ujung dan asalnya. Ada dan hilang ...(hlm. 69)

Sementara "Perempuan Tua dalam Kepala" berkisah mengenai seseorang (yang merasa) bahwa di dalam kepalanya hidup seorang perempuan tua yang sering membuat keributan.

Dan di antara banyak cerpen yang ada, "Tentang Tak Ada" adalah salah satu yang mencuri perhatian saya. Avianti berhasil menghadirkan fragmen di dalamnya dengan tidak mengabaikan kesatuan isi cerita, yang menghadirkan detil-detil kecil yang apik. Saya termasuk pembaca yang tidak terlalu suka dengan kerumitan detil cerita, dan seringkali jika teramat membosankan, saya memilih melompatinya, namun ternyata saya dikalahkan oleh penggarapan detil pada cerita ini.

Perempuan Pertama, Dongeng dari Gibraltar, Requiem, Sempurna, Tiket ke Tangier, dan Kereta Tidur juga turut melengkapi peristiwa-peristiwa di dalamnya.

Hal-hal yang tidak saya suka adalah kenyataan bahwa Avianti Armand sudah jarang sekali mempublish cerita-cerita barunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar