19 Maret 2020

Potongan Kota

Ilustrator: Fina Lanahdiana


#Potongan 1

“Kota yang hening atau kah kita yang terlalu nyaring?”

Seorang lelaki itu Gus, duduk di sebuah angkringan pinggir jalan kepunyaan Damar, temannya. Menikmati seisi malam yang seringkali menghadirkan keremangan hingga gelap yang demikian lelap. Lampu-lampu, juga bayangan yang memanjang di belakangnya. Orang-orang berjalan seperti menampilkan gerakan tarian yang lembut. Seperti air yang bergelombang. Ia menyulut sebatang rokok hingga asapnya mengepul, menghembuskannya dengan pelan disertai desahan putus asa. Tidak lama, segelas kopi terhidang di hadapannya, menawarkan aroma kental yang harum. Lelaki itu menajamkan penciumannya sebentar, lantas meletakkan rokok di atas asbak. Menggantinya dengan segelas kopi yang terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja.

Sebuah becak melintas. Pengayuhnya seseorang yang terlampau tua, kelihatannya. Ia cukup terengah-engah hingga memutuskan untuk berhenti tidak jauh dari angkringan. Memutuskan untuk duduk di becaknya untuk kemudian kembali bangkit dan mondar-mandir seperti kebingungan.

Gus yang menyadari gerak-gerik si tukang becak, segera menghentikan gerakan meminum kopi dan mengalihkan perhatiannya.

“Sedang melihat apa?”

“Ssst. Itu. Lihatlah di sana.”

“Oh. Itu Pak Saman. Dia ditinggalkan anak-anaknya. Maksudku, dia memilih untuk tidak ingin merepotkan anak-anaknya sehingga tetap memilih bekerja.”

“Kamu kenal?”

“Tidak secara pribadi. Hanya cerita dari orang-orang sini. Yah, dia sering mangkal di situ.”

“Oh, kasihan ya.”

“Lebih kasihan mana dengan orang-orang yang secara fisik masih kuat tapi memilih jadi pengemis? Bukankah dia begitu miskin harapan?”

“Tapi tidakkah kamu lihat, orang itu maksudku Pak Saman gerakannya terlihat rapuh dan ... hei, tangannya bergetar!”

“Tremor. Maklum sudah tua.”

Seketika hening. Gus kehilangan kata-kata. Ia memilih untuk memalingkan wajahnya dan kembali sibuk bertanya. Bertanya pada dirinya sendiri, kenapa kadang-kadang kota ini demikian sepi. Padahal ia tahu, setiap hari jalanan macet sehingga melahirkan antrian kendaraan yang mengular. Berjam-jam. Sehingga harus datang terlambat ketika berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti orang-orang yang malas bergerak.

“Kamu mikirin apa sih? Kulihat belakangan ini mendadak jadi pendiam,” ucapan Damar menyadarkan lamunan Gus.

“Barangkali aku terlalu sering membaca puisi,”

Keduanya tertawa. Tawa yang datar. Tawa yang tampak dibuat-buat.

#Potongan 2

Malam itu hening sekali. Seli dibuat bosan oleh tugas-tugas kuliah. Ia memilih asyik dengan ponselnya. Bercit-cat ria dengan teman-temannya sehingga ia lupa atau sengaja lupa dengan tugas-tugas itu. Laptop itu ditutup dengan keras, hampir seperti sebuah bantingan. Maw terkejut. Ia seekor kucing gendut berwarna abu-abu yang dipungut di pinggir jalan. Kucing itu semula adalah korban tabrak lari oleh seseorang yang entah. Seli merasa iba dan membawa pulang ke rumahnya.

Di pintu, ia mengendap-endap. Takut ibunya marah karena ia membawa seekor kucing liar jelek yang terluka. Beruntung ia tak perlu terlalu cemas karena di rumah tidak ada siapa-siapa. Ibunya masih bekerja. Hingga di suatu sore ketika ibunya datang dan ia telah selesai mengobati luka kucing yang dibawanya, ibunya bertanya-tanya. Tapi tidak menolak kehadiran kucing itu.

“Kamu boleh merawatnya jika mau.”

Seli sangat gembira, ia sepeerti diizinkan berteman dengan seseorang. Ia bahkan mencium dan memeluk ibunya.

“Apa-apaan sih kamu? Geli tahu!”

“Tapi kan aku kangen Ibu ...”

Perempuan itu segera duduk, melepaskan sepatu beserta kaus kaki, dan masuk ke dalam untuk berganti baju.

Seli kembali bermain-main dengan kucing, bercakap-cakap seolah binatang itu mengerti bahasa manusia.

“Namamu Maw ya. Kamu harus mau ketika aku memanggilmu. Maw, maw. Bukankah itu sungguh lucu?”

Ibunya mengetuk pintu. Bertanya apakah perempuan itu sudah tidur.

“Belum, Bu. Aku masih mengerjakan tugas-tugas.”

Ia tahu sedang berbohong, tapi tidak dengan ibunya yang memilih percaya begitu saja. Langkah kakinya menjauh, menuruni tangga. Sehingga yang tersisa hanyalah suara plok-plok yang melayang-layang di udara.

Kucingnya mengeong dan mengendus-endus kaki. “Apakah kamu lapar, Maw? Tapi ini sudah malam. Lebih baik kamu tidur saja. Nanti tambah gemuk seperti aku!”

Kucing itu kembali mengeong.

“Bukankah ibu terlalu sibuk bekerja, Maw? Aku seperti hampir tidak mengenalinya. Ia terlalu dingin. Dingin sekali. Paadahal aku anaknya ...”

Wajahnya terlihat sedih dengan sepasang mata yang berkaca-kaca hampir pecah. Televisi menyala, mengoceh. Menampilkan orang-orang yang gemar sekali ribut mempersoalkan banyak hal. Harga-harga yang naik, partai-partai yang terlalu banyak janji, keributan para calon presiden, lelucon yang sesungguhnya tidak lucu, dan terlalu banyak keramaian yang sungguh tidak ramah untuk kesehatan ingatan dan kenangan-kenangan di dalamnya.

#Potongan 3

Talita, seorang anak berusia tiga tahun yang lucu. Ia mondar-mandir di depan kulkas. Bermain-main dengan pintu. Membuka-menutup-membuka-menutup lagi. Ia heran kenapa lampu menyala hanya ketika pintu terbuka. “Kenapa, Bu?”

“Tidak tahu, Sayang. Ayo minum susumu, lalu tidur.”

“Tidak mau, Bu.”

“Ayolah, Sayang. Ibu punya cerita baru. Apa kamu akan mendengarnya?”

“Mauuu!”

Anak itu segera lupa dengan kulkas dengan pintu yang membuka dan menutup, dengan lampu yang menyala hanya ketika pintu tertutup.

“Apa yang terjadi jika aku masuk ke dalam kulkas, Bu?”

“Di dalam kulkas akan dingin, dingin sekali. Kamu bisa membeku menjadi es batu.”

“Hihi. Apakah aku akan seperti manusia salju?”

“Ya, kamu akan seperti boneka salju. Tapi di sini tidak ada salju. Kamu akan menjadi manusia es.”

“Oh, begitu.”

“Ya, begitu.”

“Nah, berbaringlah. Ini susumu. Dengarkan baik-baik cerita ibu, ya?”

“Cerita apa?”

“Boneka salju.”

***
Malam itu hujan turun dengan tergesa-gesa. Orang-orang berlarian untuk menyelamatkan diri, “Air, air!”. Damar menurunkan terpal yang tergulung di atas angkringannya sehingga makanan di atas gerobaknya tidak basah. Gus masih tetap di sana. Berlama-lama. Jika sedang tak ada pekerjaan, Gus sering berada di angkringan hingga menjelang subuh, di jam-jam Damar memutuskan untuk menutup angkringannya. Di saat malam berubah biru dan melahirkan kabut. Ayam-ayam yang mulai bangun dan menimbulkan suara sedikit gaduh.

Seli bangkit dari tempat tidur, melongok kaca jendelanya yang kian buram oleh percikan hujan. Tangannya masih tidak lepas menggenggam ponsel. Ia menelepon seseorang.

“Hujan. Dingin sekali. Kamu sedang apa?”

“Sedang duduk-duduk dan mengobrol. Sedang memikirkan banyak hal. Kamu sedang apa?”

“Memeluk Maw.”

“Beruntung sekali jadi seekor kucing, ya?”

Seli tertawa-tawa. Kamu tidak boleh iri, katanya. Ia duduk, lalu membanting tubuhnya di kasur. Tangan kirinya menjangkau tubuh Maw yang berada tidak jauh darinya. Kucing itu bergelung, lalu merapatkan tubuhnya ke ketiak Seli. Barangkali ia merasa kedinginan.

“Kamu dingin, ya? Aku juga.” Bisiknya pada Maw.

Tapi mau tidak mau, seseorang di seberang juga ikut mendengar ucapannya.

“Iya, di sini dingin sekali. Juga hening.”

“Bukan kamu.”

“Siapa?”

“Maw.”

“Hei, lihat saja pembalasanku nanti, Maw!”

Seli kembali tertawa-tawa. Juga menertawakan dirinya sendiri. Ini malam yang dingin sekali, kan?

“Ayah di mana, Bu?” tanya Talita yang masih sibuk menyedot susu di dalam botol.

“Kan masih kerja,”

“Kenapa harus kerja?”

“Karena memang harus kerja.”

“Begitu, ya?”

“Iya, sayang. Buat beli susu, boneka, dan es krim kamu. Kamu suka es krim, kan?”

 Anak itu mengangguk-angguk.

“Katanya Ibu mau cerita?”

“Hampir saja lupa,”

Perempuan itu meraih sebuah buku bergambar di laci meja. Sampulnya adalah hamparan putih dengan beberapa boneka salju di atasnya. Juga rumah-rumahan yang terbuat dari balok-balok es. Seperti rumah-rumah orang eskimo. Iglo. Rumah-rumah kubah yang tampak seolah separuh lingkaran.

“Apakah rumah-rumah itu berhantu? Di sana sepi sekali.”

“Tidak, sayang. Tidak ada hantu.”

Terdengar suara petir beberapa kali. Anak itu menjerit-jerit.

“Takut, Bu!”

“Tidak apa-apa, Sayang. Ada Ibu di sini.”

Seisi ruangan gelap. Lampu-lampu mati. Di luar gaduh sekali. Keduanya saling memeluk, erat sekali.

Gus mematikan telepon dan tidak lagi peduli kalau pun pacarnya marah-marah. Itu hal yang harus dipikirkan besok atau besoknya atau besoknya lagi. Hujan membuat jaringan telepon mendadak buruk. Angin bergerak, menggoyang pohon sehingga menyerupai monster-monster raksasa. Listrik padam. Suasana yang sungguh tidak tepat untuk melarikan diri, tapi juga bukan saat yang baik untuk berdiam diri.

Warna langit kian pekat. Garis-garis hujan kian rapat. Seperti hendak menciptakan perangkap. Dalam dingin yang kian gigil, sekali lagi Gus menggumam, “Kota yang hening, atau kah kita yang terlalu nyaring?”
***

2 komentar: